Bersiap atas Pengadilan Publik yang Sadis

Gejala sosial dalam bentuk tekanan sosial, di mana komunitas merasa memiliki kuasa untuk menghukum pihak yang dianggap bersalah

Daftar Isi

Baru-baru ini, Indonesia digaduhkan dengan masalah sepele, tapi bikin heboh seluruh negeri. Masalah tumbler atau botol minum seharga Rp300.000 yang hilang di gerbong kereta, ternyata bisa membikin publik menghabiskan waktu di sosial media untuk sekadar membaca komentar, atau malah beradu argumen terkait kelakuan seorang wanita yang mengeluh kehilangan tumblernya.

Akibat aduan via daring itu, seorang pegawai di PT KAI kabarnya kena pecat, memicu protes ratusan warga di intenet. Mereka ramai-ramai mengecam PT KAI dan sang wanita pengadu. Tenaga pun tambah terbuang percuma ketika didapati fakta, tumbler itu tidak hilang.

Kemarahan semakin intens, merembet ke mana-mana. Sebagai antisipasi, perusahaan tempat sang wanita itu bekerja pun memecat sang karyawan yang dianggap memicu kegaduhan dan berpotensi merusak nama perusahaan. Cerita pun berakhir pilu bagi sang wanita pengadu. Ia mendapati dirinya terhempas, hancur. Dan tak hanya dirinya, pasangannya juga mendapat kecaman warga.

Begitulah fenomena publik modern yang kini lebih banyak melakukan interaksi melalui sosial media. Interaksi yang masif dan sangat cepat, juga sadis itu, kini berfungsi sebagai pengadilan publik yang bisa berdampak fatal ketika ada individu yang menjadi musuh bersama. Begitulah fenomena cancel culture berkelindan di kehidupan kita.

Ia merupakan gejala sosial dalam bentuk tekanan sosial, di mana komunitas merasa memiliki kuasa untuk menghukum pihak yang dianggap bersalah. Masyarakat yang semakin peka terhadap isu moral, sosial, dan etika saat bertemu dengan tindakan yang dianggap diskriminatif, tidak etis, atau merugikan lingkungan makan publik akan bereaksi keras, bahkan bisa di luar kewajaran bila diukur dari interaksi di dunia nyata.

Seperti kasus wanita pengadu tadi, cancel culture ini dapat merusak reputasi perusahaan secara cepat di era digital. Dampaknya bisa berupa boikot, penurunan kepercayaan publik, hingga kerugian finansial.

Dari sudut pandang filsafat kebebasan, fenomena ini menimbulkan pertanyaan, sejauh mana masyarakat berhak membatasi ekspresi individu. Pemikir berpengaruh dan filsuf asal Inggris, John Stuart Mill, menekankan pentingnya kebebasan berpendapat sebagai syarat berkembangnya kebenaran. Namun cancel culture bisa dianggap menghambat proses ini, jika ia berubah menjadi alat untuk membungkam.

Di satu sisi, cancel culture dapat dilihat sebagai bentuk kontrol sosial masyarakat menggunakan tekanan kolektif untuk menegakkan norma. Dalam perspektif Michel Foucault, filsuf dari Prancis, ini mencerminkan bagaimana kekuasaan bekerja melalui wacana publik, bukan hanya melalui institusi formal. Cancel culture menjadi mekanisme disiplin yang mengatur perilaku.

Cancel culture juga mencerminkan krisis filsafat modern antara relativisme moral - siapa yang menentukan benar atau salah, dan komunitarianisme, hak komunitas menjaga nilai bersama. Ia juga menyingkap paradoks, masyarakat menuntut akuntabilitas, tetapi sekaligus bisa menciptakan ketakutan untuk berpikir bebas.

Maka, cancel culture dalam tinjauan filosofis adalah arena perdebatan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Ia bisa menjadi sarana koreksi moral, tetapi juga berpotensi menjadi bentuk represi baru.

Bagi perusahaan yang punya karyawan terkena cancel culture bisa melakukan mitigasi melalui strategi komunikasi yang transparan, responsif, dan etis. Segera memberikan klarifikasi yang jujur dan terbuka untuk meredakan spekulasi. Juga mengakui kesalahan, meminta maaf, dan menunjukkan komitmen perbaikan lebih efektif daripada defensif.

Di masa depan, dengan terus meluasnya publik dalam penggunaan sosial media yang bisa memicu kecepatan dalam pembentukan opini, perusahaan, khususnya yang berinteraksi dengan komunitas, perlu membentuk tim khusus untuk menangani isu reputasi dan komunikasi publik.

Juga perlu melatih karyawan tentang etika komunikasi, keberagaman, dan sensitivitas sosial agar tidak memicu kontroversi. Perlu juga ada hubungan yang kuat dengan komunitas dan konsumen sehingga perusahaan memiliki modal sosial untuk menghadapi krisis.

Lalu bila bencana tak bisa dihindarkan, jangan tergesa bertindak. Pelajari apa yang terjadi, cari celah-celah yang bisa mengebalikan kepercayaan publik. Beri hukuman yang pas kepada yang dianggap terkena cancel culture karena kelakuannya.

Jadi, kita  tidak bisa menghindari sepenuhnya bila terjadi cancel culture, tetapi bisa mengelola dampaknya dengan komunikasi yang cepat, jujur, dan etis. Lebih dari sekadar bertahan, pihak yang mampu belajar dari krisis ini, justru bisa memperkuat reputasi dan kepercayaan publik.