Demi menggenjot perekonomian yang lesu dan mengejar angka pertumbuhan 5%, pemerintah menyiapkan sejumlah insentif. Insentif ini dinanti dunia usaha yang membutuhkan suntikan tenaga agar bisa mendorong perekonomian.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, guna menggenjot perekonomian sehingga mendekati pertumbuhan yang ditargetkan 5%, pemerintah menyiapkan sejumlah insentif.
Beberapa program padat karya menjadi salah satu andalan, khususnya di sektor perhubungan dan pekerjaan umum.
"Ya pertama terkait dengan apa yang bisa mendorong pertumbuhan lebih tinggi di semester kedua. Nah, tentu beberapa program seperti program padat karya di perhubungan, program padat karya di pekerjaan umum. Kemudian juga itu didorong untuk implementasi lebih baik," ujar Airlangga usai menghadiri Rapat Koordinasi Terbatas di Kemenko Perekonomian, Jumat (26/7/2025).
Selain itu, pemerintah juga membahas pemberian diskon menjelang periode Natal dan Tahun Baru. "Kita berharap nanti bisa diumumkan lebih awal," tambahnya.
Insentif pajak properti
Salah satu kebijakan penting yang diputuskan pemerintah adalah mempertahankan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPNDTP) untuk pembelian rumah hingga 100% di semester kedua. Sebelumnya, besaran stimulus direncanakan turun menjadi 50%.
"Jadi nanti teknis-teknisnya kita bahas detail," kata Airlangga.
Langkah ini dinilai dapat mendorong daya beli kelas menengah dan mendukung sektor properti yang menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi. Data Kementerian PUPR mencatat, sektor konstruksi dan real estat masih tumbuh positif sebesar 4,5% (yoy) pada kuartal I–2025.
Padat karya dan penyerapan tenaga kerja
Selain sektor properti, program padat karya di bidang infrastruktur – seperti pembangunan jalan, jembatan, dan sarana transportasi publik – juga menjadi prioritas. Pemerintah juga meminta proyek industri seperti MBG memprioritaskan rekrutmen tenaga kerja baru dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah (Desil 1 dan Desil 2).
“Kita ingin dampaknya langsung terasa ke masyarakat, terutama untuk penurunan kemiskinan ekstrem,” ujar Airlangga.
Pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan ekstrem turun hingga kisaran 0%–6,5% di akhir tahun. BPS sebelumnya mencatat per Maret 2025, tingkat kemiskinan nasional berada di angka 8,47%, turun tipis 0,1% poin dibanding dengan September 2024.
Insentif dan bantuan sosial
Dalam kesempatan yang sama, Airlangga menjelaskan beberapa program bantuan sosial, seperti Banduan Subsidi Upah (BSU), juga tetap dijalankan. Namun, tidak semua sektor mendapatkan insentif. Misalnya, untuk listrik diputuskan tidak diberikan insentif tambahan, berbeda dengan sektor transportasi seperti pesawat, jalan tol, dan terutama kereta api yang akan tetap didorong.
"Kapan diumumkan? Ya bulan September," kata Airlangga.

Antisipasi kredit bermasalah
Meski demikian, pemerintah masih menghadapi tantangan. Salah satunya tingginya rasio kredit bermasalah (NPL) pada KUR UMKM sektor konstruksi yang tercatat mencapai 10%. Airlangga memastikan, upaya perbaikan terus dilakukan sambil tetap mendorong penyaluran kredit ke UMKM sesuai jalur.
“KUR UMKM tetap sesuai dengan track-nya,” ujarnya.
Pemerintah berharap rangkaian program dan insentif ini mampu menjaga momentum pemulihan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional lebih kuat hingga akhir tahun.
Stimulus moneter
Dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) juga mendorong laju perekonomian dengan menurunkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poins menjadi 5,25% pada Rapat Dewan Gubernur Juli 2025.
“Di samping menjaga stabilitas, kebijakan Bank Indonesia juga diarahkan untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penurunan BI-Rate, pelonggaran likuiditas, serta peningkatan insentif makroprudensial kepada perbankan guna mendorong kredit/pembiayaan ke sektor-sektor prioritas,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo.
“Ke depan, pertumbuhan ekonomi semester II 2025 diprakirakan membaik dan secara keseluruhan tahun 2025 diprakirakan berada dalam kisaran 4,6%–5,4%,” ujar Perry
Baca juga: Pangkas Suku Bunga, BI Beri Sinyal Dorong Pertumbuhan Ekonomi
Dunia usaha butuh insentif
Analisis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani sempat menyatakan kekhawatirannya berkaitan dengan penurunan pertumbuhan ekonomi di kuartal I–2025 dibanding periode sama tahun sebelumnya sebesar 2,4%. Padahal kuartal pertama biasanya ditopang siklus konsumsi Lebaran yang meningkatkan perputaran uang. Jika tidak ada intervensi lanjutan, potensi pertumbuhan ekonomi di 2025 bahkan bisa turun lebih rendah lagi.
“Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I memang cukup mengkhawatirkan, yang hanya di kisaran 4,87%, kalau kita bandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2024 yang sebesar 5,11%,” ujarnya dalam keterangan tertulis di siaran pers.
APINDO menerangkan, kondisi pelemahan ini disebabkan setidaknya oleh empat faktor:
Penurunan konsumsi masyarakat akibat gelombang PHK yang mencapai lebih dari 70.000 orang di kuartal I, dan peningkatan angka kemiskinan yang menurut standar World Bank menempatkan 60,3% penduduk Indonesia dalam kategori miskin pada 2024.
Pola belanja pemerintah yang melambat. Penerimaan pajak kuartal I hanya 14,7% dari target, lebih rendah dari idealnya 20%, sehingga diikuti program efisiensi belanja yang memberi sentimen negatif pada perekonomian.
Tekanan eksternal, terutama dampak kebijakan tarif Trump yang menurunkan permintaan barang dari Amerika Serikat sejak April 2025 dan memengaruhi neraca transaksi.
Investasi yang masih dominan di sektor padat modal. Dampaknya, multiplier effect ke serapan tenaga kerja semakin kecil: jika tahun 2014 setiap Rp 1 triliun investasi mampu menyerap 4.000 tenaga kerja, kini hanya sekitar 1.000 tenaga kerja.
Dalam kondisi ini, APINDO menilai pentingnya orientasi jangka pendek pada semester II–2025, terutama melalui program stimulus seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk meningkatkan konsumsi masyarakat.
“Harapannya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal kedua 2025 bisa lebih tinggi, atau minimal bertahan dibandingkan kuartal pertama,” katanya.
Pemerintah juga diharapkan mengoptimalkan belanja negara sebagai stimulus utama, dengan prinsip spending better, belanja yang lebih tepat sasaran dan berdampak langsung ke penciptaan lapangan kerja, ketahanan pangan, dan energi.
“Pemerintah harus fokus dengan pro job creation, ketahanan pangan dan energi. Hal ini sejalan dengan program Asta Cita Presiden Parbowo Subianto, yaitu meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas,”tutupnya.
Ajib menilai langkah-langkah yang sudah disiapkan pemerintah, seperti padat karya, stimulus properti, dan insentif transportasi, dinilai sejalan untuk menjaga target pertumbuhan minimal 5% di 2025. Menurutnya, ini menjadi pondasi penting menyongsong 2026, ketika pemerintah mematok proyeksi pertumbuhan lebih tinggi di kisaran 5,2–5,8%, sesuai Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026.
Baca juga: Secercah Harapan di Triwulan Ketiga
Antisipasi perlambatan
Berbeda dengan narasi optimistis pemerintah yang masih menargetkan pertumbuhan di atas 5%, riset terbaru lembaga riset Center of Reform on Economics (CORE) dalam laporan CORE Mid-Year Economic Review 2025 yang diterbitkan Jumat (25/07/2025). CORE memperingatkan serangkaian sinyal perlambatan yang perlu diantisipasi dengan kebijakan nyata, bukan sekadar retorika.
CORE memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 hanya akan mencapai kisaran 4,7%–4,8%, sedikit turun dibanding kuartal I yang tercatat 4,87%. Bahkan, sepanjang tahun ini, ekonomi diprediksi tetap bergerak di level 4,6%–4,8%, jauh dari ambisi pemerintah untuk mempertahankan laju minimal 5%.
Di balik angka itu, ada sederet tantangan yang menekan ekonomi domestik. Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal menyoroti bahwa konsumsi rumah tangga, motor utama ekonomi, sedang melemah.
Indeks Penjualan Riil hanya tumbuh 1,2%, setengah dari kuartal sebelumnya. Indeks Keyakinan Konsumen terkontraksi -5,1%, dan proporsi tabungan rumah tangga menyusut dari 16,6% menjadi 14,6%. Kenaikan jumlah PHK hingga 27,7% membuat banyak keluarga harus menggerus tabungan demi memenuhi kebutuhan pokok.
Menurut Faisal, Indonesia juga terbebani risiko eksternal. Kebijakan tarif resiprokal AS sebesar 19% memang disebut pemerintah sebagai hasil “exceptional struggle”, tetapi konsekuensinya tak kecil: Indonesia harus memenuhi komitmen komersial senilai Rp368 triliun, termasuk pembelian 50 pesawat Boeing. Volume ekspor Indonesia ke pasar dunia juga diproyeksi berkurang 2,65%, membuat daya saing kita tertinggal dari negara seperti Vietnam.
“Momentum pemulihan ekonomi kini bertumpu pada keberanian pemerintah mengambil langkah-langkah terobosan. Jika pemerintah tetap business as usual, risiko ekonomi Indonesia terperosok lebih dalam di enam bulan mendatang bukanlah skenario yang mustahil,” ujar Faisal.
CORE memberi beberapa saran kebijakan dalam jangka pendek untuk menengahi masalah-masalah tersebut: mulai dari memperluas stimulus untuk rumah tangga (misalnya bantuan tunai langsung dan diskon tarif listrik), membuka insentif pajak bagi perusahaan yang tak melakukan PHK, mempercepat belanja strategis pemerintah, hingga memperkuat hilirisasi komoditas dan penyerapan produk lokal.
“Melindungi industri domestik dari serbuan impor ilegal yang murah melalui pengetatan verifikasi impor yang lebih ketat dan subsidi untuk industri strategis seperti makanan-minuman, petrokimia, logam dasar, hingga elektronik,” ujar Faisal.