Sudah bertahun-tahun anggaran daerah bergantung pada kucuran dana dari pusat. Kini, dengan berkurangnya alokasi dana transfer ke daerah (TKD) yang signifikan pada RAPBN 2026 malah bisa menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk mewujudkan kemandirian fiskal.
Dalam RAPBN 2026 yang disampaikan pemerintah, Jumat pekan lalu (15/8/2025), alokasi transfer ke daerah (TKD) turun sekitar 29% dibandingkan dengan APBN 2025, menjadi Rp 650 triliun. Hal ini menjadi tantangan bagi banyak pemerintah daerah yang selama ini sangat bergantung pada dana pusat. Namun, penurunan ini juga dapat dimaknai sebagai momentum bagi daerah untuk memperkuat kemandirian fiskalnya.
Penurunan TKD merupakan bagian dari pergeseran kebijakan pemerintah pusat untuk lebih mengefisienkan belanja negara. Dana yang sebelumnya disalurkan melalui TKD kini dialihkan menjadi belanja pemerintah pusat yang langsung ditujukan untuk program-program prioritas di daerah. Sebutlah anggaran untuk program-program Sekolah Rakyat, Koperasi Desa Merah Putih, ketahanan pangan nasional, hingga Makan Bergizi Gratis (MBG).
Untuk mengurangi ketergantungan pada dana dari pusat, daerah perlu mengoptimalkan pendapatan dari sumber-sumber internal. Salah satu indikator utama kemandirian keuangan suatu daerah dapat dilihat dari pendapatan asli daerah (PAD). Selama ini, sebagian besar daerah di Indonesia sangat bergantung pada transfer pusat. PAD hanya berkontribusi sekitar 28,7% dari pendapatan daerah (2024).
Sebetulnya, dari laporan Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi 2023–2024 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tergambar optimisme pemerintah provinsi akan mampu meningkatkan kemandirian daerah. Hal ini terlihat melalui kontribusi PAD yang meningkat jadi Rp 233 triliun atau 56,60% dari pendapatan daerah. Sebagian besar pendapatan itu disumbang dari pajak daerah (2024). Sedangkan transfer dari pusat menjadi penyumbang pendapatan daerah terbesar kedua (42,71%).
Penurunan TKD tidak hanya memberi kesempatan bagi pemerintah daerah untuk menggali potensi daerahnya demi PAD. Tetapi juga menambah nilai pendapatan dari pengelolaan kekayaan daerah lewat BUMD maupun UMKM. Kesempatan ini menjadi pendorong daerah membangun kapasitas fiskal yang lebih kuat dan menciptakan model ekonomi lokal yang lebih tangguh serta berkelanjutan.