Special Economic Leverage Zones (1)

The performance of special economic zones in Indonesia has experienced positive developments. Attention is needed regarding the supporting ecosystem for optimal SEZ performance.

Special Economic Leverage Zones (1)
Foto udara kawasan pergudangan Safe and Lock Halal Industrial Park di Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (12/9/2025) ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Table of Contents

Sudah beberapa tahun belakangan ini, Daniel Alexander, Direktur Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Kelayang, Belitung, berharap tentang kepastian jadwal penerbangan langsung dari Singapura ke Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Dulu, sekitar tahun 2018, sempat ada penerbangan langsung dari Singapura ke Bandara HAS Hanandjoeddin. Namun, hantaman pandemi Covid-19 membuat kunjungan ke wilayah ini surut. Penerbangan pun berkurang signifikan. Sebelum pandemi Covid-19, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Belitung bisa tembus 460.000-an orang per tahun. 

Waktu itu dukungan penerbangan mencapai 15 kali setiap hari, dari dan ke Tanjungpandan, ibukota Kabupaten Belitung, termasuk rute internasional ke Kuala Lumpur dan Singapura. Namun, setelah terjadi pandemi Covid-19 hingga saat ini, jumlah penerbangan menyusut drastis hanya menjadi tiga sampai empat kali sehari.

Jumlah wisatawan juga turun. Per akhir 2024 tercatat 308.000 kunjungan wisatawan ke Belitung. “Badan Usaha Pembangunan dan Pengelola (BUPP) KEK Tanjung Kelayang sekarang bekerja keras agar masa keemasan Belitung di tahun 2017, 2018, 2019, itu bisa terulang lagi,” kata Daniel. 

KEK Tanjung Kelayang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 14 Maret 2019. Termasuk ke dalam 10 destinasi pariwisata prioritas, wilayah ini memiliki objek wisata bahari dengan pantai berpasir putih dan panorama yang eksotis. Dengan total luas wilayah 324,4 hektare, KEK Tanjung Kelayang memiliki konsep pengembangan pariwisata “Socially and Environmentally Responsible Development and Cultural Preservation”. 

Belitung menjadi salah satu  destinasi pariwisata yang diizinkan menjadi international entry point selain Bali, dan DI Yogyakarta, pada Mei 2025.

Menurut Daniel, Belitung sebagai salah satu dari 10 destinasi pariwisata prioritas sudah memiliki berbagai fasilitas penunjang dengan standar internasional. Bandara di Belitung juga sudah berstandar internasional. Panjang runway-nya sudah 2.500 meter sehingga bisa melayani pesawat sekelas Air Bus A320. 

Melalui Bandara HAS Hanandjoeddin, Belitung menjadi salah satu  destinasi pariwisata yang diizinkan menjadi international entry point selain Bali, dan DI Yogyakarta, pada Mei 2025. “Ini wujud dari komitmen pemerintah pusat untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekosistem kepariwisataan di Belitung,” kata Daniel. 

Infrastruktur penunjang pariwisata, kata Daniel, memang sudah dibantu pemerintah secara  optimal. “Istilahnya sulit cari jalanan aspal yang berlubang di sini. Semua sudah tersedia, dari dermaga hingga fasilitas kesehatan,” katanya. 

Tanjung Kelayang merupakan kawasan khusus yang dikembangkan murni dari modal swasta. Sejak didirikan tahun 2019 hingga saat ini, realisasi investasi sudah mencapai Rp 1,8 triliun. Beroperasi saat Covid-19 melanda, KEK Tanjung Kelayang tak pernah berhenti beroperasi meski kondisi yang sulit. ”Penyerapan tenaga kerja kita juga luar biasa,” kata Daniel. 

Menurut Daniel, dengan membangun destinasi wisata maka akan ada multiplier effect yang jauh lebih besar dampaknya dibandingkan dengan membangun infrastruktur di dalam kawasan itu sendiri. Misalnya adanya pengusaha-pengusaha ekonomi kreatif yang baru, “Semenjak adanya KEK Tanjung Kelayang, banyak pengusaha travel agent yang baru atau pengusaha mobil sewa,” katanya. 

Daniel menyatakan, investor di KEK Tanjung Kelayang sudah siap all out bila nanti memang sudah ada penerbangan langsung dari Singapura maupun dari Malaysia. Saat ini saja, kondisi investasi terjaga positif, karenanya KEK Tanjung Kelayang masih menunggu realisasinya. 

”Dan kami tidak bisa bekerja sendiri. Kami butuh sekali peran pemerintah pusat sehingga sektor kepariwisataan ini bisa berkontribusi nyata, khususnya dari Kabupaten Belitung, ya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 8%,” katanya.

Instrumen strategis Indonesia 

KEK Tanjung Kelayang, merupakan satu dari 25 kawasan ekonomi khusus yang dibangun pemerintah untuk menjadi titik pengungkit perekonomian di berbagai wilayah Indonesia. Meski masih banyak keterbatasan, setahun terakhir kinerja KEK mengalami penguatan signifikan. 

Data dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebut, realisasi investasi di KEK hingga akhir Juli 2025 mencapai Rp 294,4 triliun. Angka ini diperoleh secara kumulatif, dengan tambahan investasi Rp 40,48 triliun sepanjang semester pertama 2025.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Tim Pelaksana Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Susiwijono Moegiarso mengatakan, sebanyak 25 KEK yang tersebar di Indonesia terdiri atas beberapa sektor, seperti sektor perindustrian, pariwisata, digital dan pendidikan, serta jasa lainnya. 

Dari beberapa jenis KEK tersebut, sektor industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja. “Khusus di industri-industri manufaktur besar, seperti KEK Kendal, KEK Gresik, KEK Galang di Batam, dan beberapa industri manufaktur yang cukup besar, ini penyerapan tenaga kerjanya juga sangat baik sekali,” ungkapnya.

Secara umum, KEK berhasil menyerap 28.094 tenaga kerja atau 56,4% dari target tahun ini. Dengan demikian, total penyerapan tenaga kerja sejak KEK berdiri hingga kini mencapai 187.376 orang dengan melibatkan 442 pelaku usaha. Kawasan yang banyak menyerap tenaga kerja di antaranya KEK Kendal, KEK Gresik, KEK Mandalika, KEK Tanjung Lesung, dan KEK Sei Mangkei. 

Susiwijono menambahkan, KEK memiliki ultimate facility berupa fasilitas dan kemudahan seperti insentif fiskal dan non fiskal. Contohnya, pemerintah memberikan insentif pajak berupa tax holiday yang berlaku atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan utama yang dilakukan di KEK. 

Selain itu, ada insentif berupa pembebasan PPN dan PPnBM, bea masuk, dan bebas pajak buat impor barang modal untuk pembangunan atau pengembangan KEK. Ada juga fasilitas non fiskal seperti kemudahan perizinan dan lisensi, tidak ada daftar hitam atau negative list untuk barang impor, serta kemudahan izin mendirikan bangunan dari pengembang KEK. 

Insentif berinvestasi di KEK (Dok. Suar)

Susiwijono menambahkan, pengembangan KEK tidak hanya ditujukan sebagai pusat investasi dan hilirisasi, tetapi juga sebagai instrumen strategis Indonesia untuk memperkuat daya saing global.

“Salah satu prioritas nasional kita adalah melanjutkan hilirisasi dan mengembangkan industri berbasis sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri. Ke depan KEK akan terus kita kembangkan, salah satunya dengan mendorong ekspor sekaligus memperkuat substitusi impor,” ungkapnya. 

Memperkokoh posisi rantai pasok global

Dari sisi perdagangan, beberapa KEK seperti Sei Mangkei, KEK Palu, KEK Bitung, KEK Arun Lhokseumawe, KEK Galang Batang, KEK Kendal, dan KEK Gresik turut memperkuat daya saing ekspor dengan kontribusi sebesar Rp 20,33 triliun hingga pertengahan 2025.

Sejumlah KEK di Indonesia membuktikan bahwa kebijakan hilirisasi dan pengembangan KEK berhasil menarik investasi global, memperkuat ekspor, serta membuka peluang besar bagi tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di berbagai daerah.

Seperti KEK Gresik, salah satu tenant-nya, PT Freeport Indonesia, meresmikan pabrik smelter terbesar di dunia. Fasilitas ini tidak hanya memperkuat industri tembaga nasional, tetapi juga menghasilkan emas hingga 52 ton per tahun dari hasil pengolahan 6.000 ton lumpur anoda. 

Sementara itu, KEK Kendal resmi menghadirkan pabrik anoda baterai dengan kapasitas 80.000 ton per tahun, setara untuk mendukung produksi 1,5 juta mobil listrik (EV). Produk strategis ini akan diekspor ke Amerika Serikat, memperkokoh posisi Indonesia dalam rantai pasok global kendaraan listrik.

Sebagai zona khusus industri yang pertama kali dibangun di Pulau Jawa, KEK Kendal  sudah diisi 134 perusahaan, dan mengantongi investasi hingga bulan Agustus lalu, mencapai Rp 179 triliun. 

Menurut Direktur Eksekutif KEK Kendal, Juliani Kusumaningrum, wilayah yang dikelola perusahaan fokus untuk pengusahaan 6 sektor industri. Mulai dari industri makanan-minuman, furnitur, lalu tekstil, garmen, apparel, dan juga semua turunannya. ”Industri otomotif, energi terbarukan juga, elektronik sama logistik serta packaging. Itu industri utama kita,” ungkapnya. 

KEK Kendal (Dok. Suar)

Sedangkan untuk penyerapan tenaga kerja, menurut Juliani, KEK Kendal sudah menyerap setidaknya  66.000 tenaga kerja. Angka ini melampaui target 20.000 tenaga  kerja yang ditetapkan. ”Makanya sekarang ini kita ada perluasan wilayah ke fase yang kedua. Jika fase pertama itu ada 1.000 hektare, rencananya selesai di 2026, namun ternyata bisa lebih cepat dicapai,” papar Juliani. 

Saat ini KEK Kendal diisi 26% investor dalam negeri, sedangkan 74% adalah investor asing. Mereka dari China (44%), Hong Kong (17% ), dan Taiwan (7%). Selain itu juga ada investor dari Korea Selatan, Malaysia, India, dan Jerman. 

Sementara itu, di sektor hilirisasi kelapa sawit, KEK Sei Mangkei memperkuat perannya dengan investasi sebesar Rp 6,5 triliun dari PT Unilever Oleochemical Indonesia. Pada tahun 2024, ekspor dari kawasan ini mencapai Rp 2,7 triliun, dan diperkuat dengan ekspansi proyek KernelMax yang akan menyerap tambahan investasi US$ 20 juta.

Sedangkan KEK Singhasari, yang juga punya program pengembangan pendidikan, telah memulai perkuliahan di kampus King’s College London (KCL) dengan target 5 program studi dan 750 mahasiswa hingga 2030. Tak hanya itu, Queen Mary University of London (QMUL) akan mulai beroperasi pada September 2026 dengan target 6.000 mahasiswa. Dan melalui kerjasama dengan Russell Group, ditargetkan total 10.000 mahasiswa akan berkuliah di kawasan ini.

Pekerja kreatif melintas di depan pintu masuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Singhasari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Selasa (26/8/2025).ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

Menurut Corporate Secretary and General Manager BUPP KEK Singhasari, Kriswidayat Praswanto, saat ini perusahannya sudah menggaet investasi hingga Rp 2,3 triliun dengan tenaga kerja yang terserap mencapai 895 orang. 

Kawasan Ekonomi Khusus Singhasari, yang berlokasi di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, dengan luas 120,3 hektare ini mempunyai 4 kegiatan utama. Yaitu, pariwisata, ekonomi digital, riset, dan pengembangan teknologi, pendidikan, dan industri kreatif. 

KEK Singhasari secara geografis berada di area yang sangat strategis untuk pengembangan bisnis dan investasi. “Populasi Malang Raya yang besar dan mempunyai keunggulan Indeks Pembangunan Manusia di atas rata-rata Provinsi Jawa Timur akan menjadi modal pengembangan sumber daya manusia potensial, khususnya pengembangan ekosistem digital dan ekonomi kreatif,” kata Kriswidayat. 

Dari ekonomi digital hingga mineral

Bicara soal ekonomi digital, KEK Nongsa di Batam, Provinsi Kepulauan Riau,  yang juga mengelola sektor ini sudah berhasil menarik investasi senilai Rp 5,8 triliun dari perusahaan data center global. Di antaranya, GDS (Tiongkok), Gaw Capital (Hong Kong), Princeton Digital Group (Singapura), dan BWDigital Infra Indonesia (Selandia Baru).

Adapun KEK Banten yang ada di BSD City, Serpong, atau yang dikenal D-HUB SEZ, telah menarik minat kuat dari investor internasional dan nasional di sektor kesehatan, pendidikan, digital, dan industri kreatif. 

Nilai investasi yang masuk terus meningkat sampai saat ini. “Yang terpenting, setiap investasi yang datang membawa transfer teknologi, penciptaan lapangan kerja, dan dampak nyata bagi masyarakat Indonesia,” kata Dian Asmahani, Chief of Corporate Sales & Marketing D-HUB SEZ.

Perusahaan yang sudah bergabung atau berencana masuk ke D-HUB SEZ antara lain lembaga fertilitas dari Malaysia, perusahaan layanan kesehatan regeneratif dari Singapura, lembaga bedah estetika dan rekonstruksi dari Korea Selatan, institusi pendidikan vokasi dari Jepang, perusahaan solusi open-source global dari Belgia, serta  Monash University, dan Binus University sebagai anchor tenants sektor pendidikan

Menurut Dian, kombinasi berbagai investor ini mencerminkan visi D-HUB SEZ sebagai pusat kesehatan dan pendidikan internasional yang sekaligus mendukung industri teknologi dan kreatif.

Yang membedakan D-HUB SEZ dari KEK lainnya adalah ekosistem yang kolaboratif.

Ia menambahkan, yang membedakan D-HUB SEZ dari KEK lainnya adalah ekosistem yang kolaboratif. Investor global dapat berkolaborasi langsung dengan universitas, rumah sakit, perusahaan teknologi, dan studio kreatif. “Sinergi lintas sektor inilah yang membuat investasi di D-HUB SEZ relevan, berkelanjutan, dan berdampak luas bagi Indonesia,” ungkapnya. 

Beberapa sektor lain yang juga dikelola dalam ekosistem KEK juga mengalami peningkatan kinerja. Seperti di sektor mineral yang mencatat capaian luar biasa, KEK Galang Batang yang telah mengekspor 2 juta ton smelter grade alumina (SGA) per tahun. Saat ini kapasitasnya sedang ditingkatkan menjadi 4 juta ton per tahun, memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen alumina dunia.

Selain itu, kerjasama internasional juga terus berkembang. Melalui skema two countries twin parks (TCTP) Indonesia–Tiongkok, KEK Industropolis Batang direncanakan menyerap investasi sebesar USD 3,6 miliar atau setara Rp 59,3 triliun.

Di bidang kesehatan, KEK Sanur menghadirkan layanan unggulan melalui kehadiran Bali International Hospital (BIH) dan sejumlah klinik dengan realisasi investasi Rp 4,42 triliun. Keberadaan kawasan ini diproyeksikan menghemat devisa hingga Rp 86 triliun dari layanan kesehatan masyarakat yang sebelumnya banyak dilakukan di luar negeri.

Bukan kawasan industri biasa

Plt Sekretaris Jenderal Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Rizal Edwin Manansang menjelaskan, model pengembangan KEK di Indonesia memang dibuat lebih spesifik ketimbang di negara-negara lain.

Menurutnya, konsep KEK di Indonesia lebih mendorong inisiatif dari badan usaha, utamanya swasta atau BUMN, dan diberi kebebasan untuk menentukan lokasi dan sektor yang akan dikembangkan.

”Insentif atau fasilitas dan kemudahan di KEK pun menjadi yang ultimate untuk memperkuat daya saing, baik dari segi fiskal maupun non-fiskal,” ujarnya. 

Agar bisa mengungkit perekonomian secara optimal, KEK juga diminta melibatkan UMKM dan kegiatan ekonomi masyarakat sekitar kawasan. ”Semua ini menumbuhkan ekonomi lokal secara nyata,” ungkap Edwin.

Agar bisa dievaluasi dan diawasi, capaian kawasan ekonomi yang semakin kompleks ini juga sudah dicatat secara khusus oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai indikator tersendiri. Sebelumnya, kinerja KEK masuk dalam sektor  perindustrian. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik, Amalia Adininggar Widyasanti, perubahan standar pencatatan ini dimaksudkan untuk mengukur kinerja ekonomi secara lebih akurat dan untuk menangkap dinamika pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Menurutnya, kawasan ekonomi khusus memiliki aktivitas ekonomi yang kompleks yang perlu dipantau. “Di KEK itu ada aktivitas ekonomi yang sangat besar yang harus diukur oleh BPS. Kita tidak boleh terlewat dalam mencatat aktivitas ini, sehingga kita bisa lebih mengukur aktivitas ekonomi secara lebih akurat,” jelas Amalia kepada SUAR.

Ia menambahkan, pencatatan yang lebih akurat akan berkontribusi langsung terhadap gambaran pertumbuhan ekonomi nasional. Tren peningkatan aktivitas ekonomi di KEK, menurutnya, juga konsisten dari waktu ke waktu.

Mengenai aktivitas KEK selanjutnya, Amalia menegaskan bahwa setiap perkembangan baru akan selalu dipantau: “Kalau memang ada aktivitas, ada investasi baru, aktivitas baru, operasi baru, ya akan dicatat,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI), Didik Prasetiyono, mengakui, kinerja KEK cukup menggembirakan dengan meningkatnya minat investasi di sektor manufaktur, pariwisata, dan energi terbarukan. 

Namun, ia juga mengingatkan bahwa masih ada sejumlah hambatan yang perlu segera dibenahi. “Tantangan di lapangan tetap ada, mulai dari keterbatasan infrastruktur, kepastian hukum, sampai koordinasi antar-lembaga yang belum sepenuhnya solid,” ungkapnya.

Menurut Didik, langkah perbaikan yang paling mendesak adalah peningkatan ease of doing business agar iklim investasi semakin kompetitif. “Kunci daya saing ke depan ada pada perbaikan kemudahan berusaha, khususnya penyederhanaan perizinan, percepatan layanan pertanahan dan kepabeanan, serta konsistensi dalam pemberian insentif fiskal,” jelasnya. 

Ia juga menilai digitalisasi layanan pemerintah menjadi hal krusial untuk memangkas waktu dan biaya birokrasi yang selama ini sering dikeluhkan investor. “Kalau digitalisasi dilakukan secara serius dan terukur, itu bisa jadi lompatan besar dalam efisiensi,” katanya.

Dengan reformasi yang dijalankan secara konsisten, Didik optimistis posisi Indonesia di mata investor global akan semakin kuat. “Kalau langkah-langkah ini dijalankan secara sistematis dan konsisten, saya yakin Indonesia bisa tampil lebih kompetitif dibanding negara lain di kawasan,” katanya. 

Begitu halnya Wakil Ketua Bidang Manufaktur Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Rachmat Harsono menilai, KEK punya potensi besar. Tapi, realitanya kadang belum jauh berbeda dengan kawasan industri biasa, karena birokrasi dan biaya tambahan masih ada. 

Selain itu, berbagai fasilitas yang ditawarkan pemerintah sudah menarik, tetapi masih kalah bersaing dibanding dengan negara lain di kawasan Asia. “Belum cukup kompetitif dibanding negara tetangga,” ujarnya.

Rachmat menekankan, ada tiga hal yang jauh lebih krusial agar KEK bisa berkembang. “Yang paling penting agar KEK bisa benar-benar jadi pusat pertumbuhan adalah kepastian hukum, infrastruktur logistik yang andal, serta one-stop service yang benar-benar berjalan,” tegasnya.

Sementara, ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto melihat, KEK memang sudah membawa dampak dalam menarik investasi, meski masih perlu penguatan. “Target realisasi investasi juga perlu terus meningkat, mengimbangi kebutuhan untuk tumbuh di atas 5% agar bisa keluar dari middle income trap,” jelas Eko.

Tetapi ia mengingatkan bahwa tidak semua KEK mampu tampil atraktif di mata investor. Sehingga, upaya perbaikan perlu terus dilakukan. Sedangkan sejumlah hambatan masih perlu dperbaiki, mulai dari kualitas tenaga kerja lokal hingga faktor infrastruktur.

“Hambatan keterbatasan SDM daerah yang sesuai kebutuhan industri, promosi yang perlu lebih gencar, infrastruktur pendukung khususnya kelancaran logistik, dan harga energi yang kompetitif masih menjadi tantangan,” ungkapnya.

Meski begitu, Eko menilai penambahan jumlah KEK masih bisa dipahami dengan kondisi Indonesia yang sangat luas dan kaya sektor strategis. “KEK baru ini harus dipastikan lebih kompetitif dan atraktif dalam menarik investor,” ujarnya.

Mukhlison, Dian Amalia, and Gema Dzikri