Di tepi pantai Tomogi, sebuah desa di Nagasaki Jepang, ombak menggulung keras, menghantam karang di sekeliling desa yang dikelilingi lautan itu. Tiga pria, Mokichi, Ichizo dan Jiisama, penduduk Desa Tomogi diikat pada salib yang bertengger di antara karang-karang yang kokoh di laut lepas.
Ketiganya dihukum mati karena menolak menyangkal iman katholik yang mereka jalani. Selama empat hari, mereka bertahan dalam dingin dan deru laut, hingga akhirnya pasang menenggelamkan tubuh mereka.
Eksekusi tersebut juga disaksikan Gubernur Nagasaki Inoue Masashige kala itu bersama misionaris dan ratusan penduduk Tomogi lainnya yang hanya bisa diam meratap.
Adegan dari film Silence (2016), karya sutradara Martin Scorsese itu masih terpatri kuat dalam ingatan Anton Supit, Komisaris Utama PT. Sreeya Sewu Indonesia. Film itu merupakan dramatisasi kisah nyata persekusi massal terhadap pemeluk agama Katolik di Jepang pada masa Keshogunan Tokugawa (1603-1867).
Baginya, ini bukan sekadar tontonan. “Saya ziarah ke tempat aslinya di Nagasaki,” kenang Anton kepada SUAR di Jakarta, Jumat (25/09/2025).
“Dulu, umat Katolik dipaksa menginjak fumi-e, pelat berukir wajah Kristus. Yang menolak, disiksa dan dipaksa berjalan ribuan kilometer di musim dingin.”
Film-film drama sejarah yang diangkat dari kisah nyata menjadi bagian tidak terpisahkan dalam hidup Anton. Dia melengkapinya dengan ziarah rohani yang juga menjadi kegemarannya.
SUAR berhasil mewawancarai Anton di sebuah restoran di Jakarta. "Hobi saya mungkin tidak menarik bagi pembaca," katanya merendah.
Namun sepiring bakmi membuat suasana cair dan membuat Anton berbicara panjang. Pengusaha veteran ini begitu semangat membagikan kisah-kisah ziarah yang berkesan dan film-film true story yang membekas di ingatannya.
"Lebih dari sekadar hiburan, ziarah dan film menjadi cara menemukan kebahagiaan yang membuat hidup lebih bermakna," kata dia
Bahagia itu sederhana
Bagi Anton, kebahagiaan setiap orang harus ditentukan sendiri sesuai dengan kegemaran masing-masing.
"Kita memutuskan apa yang kita mau, dan kita cari yang sesuai dengan diri kita, karena what is good for another does not mean it's good for us. Berbahagialah kita yang tidak punya obsesi materialistis," ujar Anton membuka percakapan.
Anton terbukti menghidupi nilai-nilai yang diyakininya itu. Sebagai tokoh terkemuka di kalangan dunia usaha, dia tampil serba sederhana. Rambut yang mengelabu jadi tanda pengalaman, bukan penuaan.
Pengalaman dan perjumpaan yang Anton peroleh sepanjang perjalanan hidupnya, diperkaya dengan spiritualitas yang terasah dalam ziarah ke berbagai tempat suci, membantunya mencapai kematangan nilai hidup itu.
Ziarah, bagi Anton, menjadi lebih dari perjalanan menyibak kearifan dari sejarah, melainkan juga tapak-tapak menemukan diri sendiri.
"Sebagai seorang Katolik, sulit memberi peringkat tujuan ziarah yang terbaik, tetapi Tanah Suci Yerusalem, Vatikan, dan Gua Maria Lourdes tentu jadi yang paling berkesan. Mungkin saya sudah 15 kali ke Lourdes, tetapi tetap ingin kembali lagi, jadi bukan hanya sekadar ingin melihat-lihat," ungkapnya.
Setiap ziarah yang bermakna bagi Anton bukan hanya menguatkan iman, tetapi juga memberikan kepuasan, terlebih ketika dia menemukan kisah-kisah sejarah yang menarik dalam perjalanan itu. Contohnya, ketika Anton berziarah ke Florence di jantung Italia, dan mengunjungi basilika Piazza de Santa Croce.

"Di Gereja itu, Anda bisa melihat makam dari tokoh-tokoh seperti Michaelangelo, Galileo Galilei, hingga Niccolo Machiavelli. Walaupun hanya kuburan, tetapi hal sederhana itu memiliki kebahagiaan tersendiri. Orang lain mungkin merasa itu aneh, tapi saya berpikir, setiap orang memiliki cara sendiri. Saya lebih senang yang seperti ini daripada, katakanlah, bermain ke kasino," ujar Anton seraya tertawa menanggapi guyonannya itu.
Ia bercerita, Anton berziarah ke sebuah kapel di Oberndorf bei Salzburg, kota kecil di perbatasan Austria dan Jerman. Kapel itu menjadi lokasi tempat Pastor Joseph Moore memperdengarkan lagu "Silent Night" untuk pertama kalinya pada Hari Natal tahun 1818. Nilai sejarah lokasi itu membuat kapel itu dikenal sebagai "Stille Nacht Kapelle" hingga kini.
"Saya mendalami sejarahnya juga. Pastor Moore menciptakan lagu itu ketika dia bertugas melayani Gereja kecil di Pegunungan Alpen. Dia melihat langit bersih bertabur bintang di waktu malam, sunyi dan sepi. Dia membayangkan pada malam seperti itulah Yesus lahir. Dia tulis lirik yang menggambarkan suasana seperti itu," katanya.
Ada getaran hati yang merambat di kalbu Anton setiap kali mendatangi tempat-tempat bersejarah atau menyusuri lokasi di mana orang-orang pemeluk agama Katolik meregang nyawa demi iman mereka.
Hal tersebut, mengajarkannya untuk selalu merasa bersyukur."Tempat para martir itu gugur membuat saya ingat bahwa tujuan hidup saya adalah mengabdi pada Tuhan, berbuat baik, dan membahagiakan orang lain. Kisah mereka membuat saya bersyukur dapat memeluk iman dalam keadaan aman dan bebas, sedangkan mereka untuk beribadah saja susahnya luar biasa," ujar dia.
Menyaksikan mukjizat
Anton belum rampung bercerita saat sebuah panggilan membuat teleponnya berdering. Dia harus bergegas pergi untuk janji pertemuan lain di sebuah pusat perbelanjaan di Senayan, Jakarta Selatan.
"Anda bawa kendaraan? Kalau tidak, ikut saya saja. Sambil ngobrol di jalan, kita sambung cerita." Tawaran yang sungguh sulit ditolak. Tidak sampai lima menit jeda, obrolan pun tersambung kembali, kali ini dalam sebuah sedan yang melaju membelah kemacetan Jakarta.
Dari berbagai perjalanan ziarah yang pernah Anton lakukan, terdapat satu perjalanan yang paling dia ingat karena dia menyaksikan terjadinya mukjizat di tempat ziarah dengan mata kepala sendiri.
"Einstein mengatakan, bagi sebagian orang mukjizat itu tidak ada. Tetapi bagi sebagian lain, mukjizat itu terjadi setiap saat. Karena itu, saya pun menyukai film-film tentang mukjizat, seperti film Miracles from Heaven," tukas Anton merujuk film anggitan Patricia Riggen yang dirilis pada 2016 lalu.
Mukjizat itu ia rasakan ketika dirinya berkesempatan ziarah ke Katedral Napoli di selatan Italia. Di dalam bangunan bersejarah itu, tersimpan sebuah relikui berupa darah Santo Januarius, seorang martir dari abad kesatu yang disucikan dalam Gereja Katolik. Penduduk Napoli percaya, pada saat-saat tertentu yang tidak terduga, darah yang telah mengering ribuan tahun itu dapat mencair laiknya darah segar.
"Saat tiba di Napoli, hari sudah malam. Tour guide saya enggan untuk meneruskan perjalanan. Macam-macam alasannya, tetapi saya bersikeras. Saya bertanya ke penduduk lokal, 'San Januario?', dan dia mengacungkan dua tangan, empat jari di kanan, lima jari di kiri. Saya memahami maksudnya."

Anton bergegas memasuki Katedral Napoli. Beberapa peziarah lain masih ada di sana, berdoa dalam suasana hening. Tepat pukul sembilan malam, mukjizat terjadi. Seorang pastor menunjukkan tabung kecil tempat darah Santo Januarius tersimpan kepada jemaat peziarah. Dengan mata kepala sendiri, Anton melihat darah itu menetes.
Peristiwa yang menggugah iman itu benar-benar Anton syukuri. Tidak dua kali seumur hidup dia berkesempatan menyaksikan peristiwa itu, terlepas dari bermacam-macam alasan yang disampaikan oleh tour guide yang enggan mengantarkannya. Anton pun tidak lupa mengabadikan momen itu dengan kameranya.
"Sesuatu yang sederhana, yang membuat kita bersyukur, memang belum tentu dirasakan orang lain. Saya beruntung mengalami dan berjumpa dengan orang-orang yang mengajarkan saya bahwa di balik kehidupan ini, ada kehidupan lain," ucapnya.
Tak terasa sedan yang mengantar kami telah dekat ke tujuan. SUAR kemudian meluncurkan pertanyaan pamungkas sebelum sedan tersebut berhenti.
"Bagaimana Anda memaknai kebahagiaan?" tanya penulis.
Lalu Anton menjawab: "Saya ingat sebuah film, judulnya The Bucket List. Di film itu, Morgan Freeman bercerita, orang Mesir kuno percaya ada dua pertanyaan yang harus dijawab saat seseorang meninggal dunia: apakah Anda bahagia di dalam hidup, dan apakah kehidupan Anda membahagiakan orang lain."
"Dan itu ada dalam Injil, 'Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.' Ketika saya bisa mengamalkan itu, saya bahagia dan merasa hidup ini mempunyai arti."