oleh: Rohman Wibowo & Benediktus Krisna Yogatama
Penyesuaian tarif ekspor sebesar 19 persen untuk sejumlah komoditas asal Indonesia, yang diketok Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tak sepenuhnya menguntungkan industri dalam negeri. Negara besar semacam China berpotensi kuat melakukan diversifikasi pasar untuk berbagai produknya demi menyiasati perang dagang dengan AS.
Buntutnya, komoditas unggulan asal Negeri Tirai Bambu seperti tekstil beserta hasil tekstil dan baja dinilai bakal membanjiri pasar domestik.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (Apsyfi) Redma Gita Wirawasta mengatakan, pengusaha tekstil, baik di sektor hulu maupun hilir mewanti-wanti berapa besaran tarif yang dikenakan negara pesaing macam Vietnam, Korea Selatan, dan Jepang.
Namun, paling utama yang disoroti adalah besaran tarif untuk China. Sebab, bicara soal China dan negara pesaing di industri tekstil, Redma mengkhawatirkan pangsa pasar domestik bisa disikat juga. Padahal, ketika cuan dari ekspor mandek, maka pasar dalam negeri menjadi satu-satunya harapan untuk bertahan dan terus produksi.
Namun, penghambatnya adalah seberapa besar barang impor yang kebanyakan dari China bisa direduksi. Pemicunya yaitu impor tekstil baik benang, serat sampai pakaian jadi asal China terkenal terlewat murah dibanding produksi pabrik lokal.
“Mesti paling logic adalah (pengalihan ke) pasar domestik, ini agak susah. Karena impor itu sudah menjadi candu untuk pemain industri dan pemerintah. Tapi namanya candu kalau tidak dihentikan, bisa mati (industri tekstil),” ujar Redma.
Perusahaan tekstil terutama di sektor hulu selalu kecolongan barang impor China. Redma menuturkan, penyebabnya lantaran Kementerian Perindustrian (Kemenperin) selalu merekomendasikan pemenuhan bahan baku industri tekstil dan garmen bersumber dari impor China. Pemicu banjirnya impor China karena ada dugaan permainan kuota sehingga terdapat sejumlah perusahaan yang menjadi proksi impor.
Dalam menekan gempuran produk China, Redma bersama 20-an korporasi yang tergabung Apsyfi telah melayangkan surat ke Kemenperin. Tujuannya demi mengevaluasi rekomendasi impor selama ini.
Ihwal kuota impor ini pun sebenarnya disoroti pula oleh United States Trade Representative, yang memicu penerapan tarif ke Indonesia cukup tinggi, berbeda dari negara Asia Tenggara lainnya. Redma bilang, proses persetujuan impor dinilai AS tak transparan. “Kami melihat ada satu-dua grup perusahaan yang dapat kuota impor besar sekali. (Tapi) ada (perusahaan) kuota impornya dipotong,” katanya.
Sehingga, katanya, perlu ada kepastian hukum yang jelas dan transparansi soal impor. Ini demi kebaikan ekosistem bisnis tekstil di tanah air, di tengah ketidakpastian perdagangan internasional, terutama karena tarif resiprokal Amerika Serikat. Impor mesti dikendalikan untuk memaksimalkan distribusi dan serapan produksi lokal oleh masyarakat. Jika tidak, besar kemungkinan terjadi efisiensi anggaran perusahaan yang berdampak pada pengurangan tenaga kerja, tergantung penurunan produksi dan pendapatan pabrik.
Secara garis besar, besaran ekspor industri tekstil Indonesia ke Amerika Serikat mengambil porsi sepertiga dari total ekspor. Dengan kata lain, omzet yang menurun sebesar 10 persen—15 persen, jika industri tekstil tidak lagi sepenuhnya bergantung pada pasar AS.
Besaran penurunan pendapatan itu belum menghitung dampak dari gempuran barang impor Cina. “Kalau pasar dalam negeri bisa dijaga, pengusaha bisa aman sebenarnya dari hulu ke hilir. Produk dalam negeri, ya memang harga mahal, tapi kan segala cost untuk produksi berputar di dalam negeri,” jelas Redma.
Pada poin kehadiran negara, Redma tak menafikan perlu adanya insentif bagi pengusaha. Insentif seperti penyesuaian tarif listrik pun dinilai akan efektif jika bisa menambal biaya produksi dan harga yang terkerek naik akibat penerapan tarif dan dampak banjir impor China.
Bagi Redma, kemauan pemerintah negara pesaing mulai dari China, India hingga Vietnam untuk membesarkan industri tekstil mesti menjadi preseden yang mesti ditiru pemerintah Indonesia. “Nah, apakah insentif pemerintah bisa menutup cost akibat pengenaan tarif. Kalau bisa, ya enggak ada masalah,” tutur Redma.
Aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) juga dianggap bisa mengerek daya saing produk lokal. Redma menekankan selama ini pemenuhan TKDN masif berlaku untuk belanja pemerintah dan paling efektif ditujukan bagi kebutuhan produksi seragam TNI-Polri — yang sebagian besar benefitnya bisa diambil industri dalam negeri. “Nah, kalau TKDN di-expand ke pakaian sehari-hari, itu bisa membantu," ujarnya.
Spirit soal berjayanya produk dalam negeri bukan isapan jempol. Dia mencontoh Pakistan yang tak sungkan mengganjar insentif lebih bagi ritel yang menjajakan produksi lokal. Pusat perbelanjaan di sana, Redma bilang didominasi produk buatan anak bangsa. Ruang-ruang produk asing atau impor diberi sedikit. “Jadi bukan persentase TKDN-nya yang dibesarkan, tapi magnitude-nya yang diperluas,” ucapnya.
Adapun merujuk data World Bank, impor tekstil China relatif dalam tren menanjak, yang semula US$ 3,96 juta pada 2019, lalu tembus US$ 4,37 juta tiga tahun berikutnya. Selama periode itu, jumlah impor tekstil Negeri Panda ke Indonesia selalu masuk empat besar komoditi utama.
Baja yang tak perkasa
Beralih ke komoditi baja, tren ekspor baja dari China pun mulai bergerak naik. Menukil analisis pakar industri baja dan pertambangan dari SMInsight, Widodo Setiadharmaji, rupanya ekspor produk baja jadi China mencapai 58,15 juta ton sepanjang Januari hingga Juni 2025 atau saat eskalasi periode tarif Trump. Jumlah ekspor ini naik 9,2 persen jika dikomparasikan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Adapun di Indonesia, impor baja jadi asal China meningkat dari 1,29 juta ton menjadi 1,34 juta ton, atau naik sekitar 3,9 persen pada periode Januari hingga April 2025, menurut data Global Steel Trade Monitor (GSTM). Jumlah ini belum termasuk impor produk semi-finished yang melonjak dari 39.000 ton menjadi 830.000 ton. Untuk komoditi terakhir yang disebut, Indonesia bahkan menerapkan tarif ekspor 0 persen.
Besarnya kuantiti baja jadi dan dan bilet baja asal China lantas memantik tekanan harga di pasar global. Masih merujuk analisis dari SMInsigt yang menukil laporan BIGMINT, tercatat harga ekspor hot-rolled coil (HRC) asal China pada bulan Juni 2025 berada di angka US$ 445 per ton FOB Rizhao.
Bagi industri dari negara pengimpor, hal ini bukan jadi angin segar. “Penurunan harga ini memperbesar penetrasi produk asal China ke berbagai pasar global, namun sekaligus menekan harga domestik di negara-negara importir dan mempersempit ruang bagi produsen lokal untuk bersaing secara wajar,” kata Widodo yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) dalam analisisnya, dikutip Minggu (20/7).
Menurut Widodo, pemerintah mesti lekas memperkuat kebijakan pengamanan perdagangan sembari pengawasan pasar yang ketat dan penegakan regulasi yang lebih konsisten. “Seperti anti-dumping, countervailing duty, dan safeguard,” kata dia, yang juga menekankan perlu adanya implementasi nyata dari program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN), strategi substitusi impor, serta penerapan instrumen non-tarif seperti Standar Nasional Indonesia (SNI).
Perlindungan dalam negeri
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, impor komoditi unggulan dari China bakal memukul industri baja dan tekstil dalam negeri. Bicara soal tekstil, misalnya, industri ini yang paling cukup terdampak serbuan produk impor, terlebih konsumen barang langsung menyentuh masyarakat.
“Industri tekstil sudah kesulitan survive, karena bersaing antar perusahaan dalam negeri dan gempuran barang impor, baik yang legal bahkan ilegal. Belum lagi ketidaksinkronan kebijakan dalam negeri yang mempengaruhi daya saing industri,” kata dia kepada Suar, Minggu.
Lalu, industri baja, kata Faisal, sebenarnya pangsa pasarnya cukup menciut sebelum digempur isu tarif ekspor AS. Hal ini tak terlepas dari tingkat permintaan pemerintah yang menjadi salah satu konsumen terbesar industri ini. “Kalau di pemerintahan lalu (Presiden Joko Widodo), kan fokusnya di pembangunan infrastruktur, sehingga serapan produk besi dan beja relatif besar, dan itu dominan produk dari China juga,” kata dia.
Namun kini, Faisal bilang arah pembangunan Presiden Prabowo Subianto agak berbeda dengan rezim sebelumnya. Dampaknya permintaan atas baja jadi dan bilet baja bakal tidak terlalu banyak.
“Ya tentu saja pengaruhi kebutuhan permintaan besi dan baja. Di sisi lain over supply dari China terjadi ke Indonesia. Artinya, akan ada peningkatan persaingan luar biasa karena over supply, sementara demand menciut,” kata dia.
Ihwal yang bisa diupayakan pemerintah, sebenarnya selama ini sudah berjalan mekanisme safeguard tarif dan juga bea masuk anti dumping. Akan tetapi, Faisal mengatakan upaya itu tak cukup lantaran kebijakan bersifat sementara. “Perlu ada obat yang bisa atasi permasalahan dalam jangka panjang. Misal ada insentif dari pelaku industri untuk meningkatkan daya saingnya di sisi produksinya,” ujar dia.
Lain itu, “Industri dalam negeri harus betul-betul berinovasi dari segi produksi dan berinovasi mencari pasar yang relatif lebih terbatas,” imbuhnya.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan, meskipun tarif impor baja di AS mencapai 50 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan tarif produk lainnya yang terkena 19 persen, AS tetap bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan baja lapisnya.
“Untuk meningkatkan daya saing, para pelaku industri nasional harus bisa lebih efisien dalam proses produksinya sehingga nilai tambah produk yang dihasilkan menjadi lebih tinggi,” ujar Agus dalam sambutannya pada acara Pelepasan Ekspor Produk Baja Lapis PT Tata Metal Lestari ke Amerika Serikat, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (18/7).
Pada kesempatan ini, Menperin mengakui kepiawaian Presiden Prabowo Subianto dalam bernegosiasi dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, karena Indonesia berhasil memperoleh tarif yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan negara-negara pesaing. Hal ini menjadi modal penting bagi peningkatan daya saing industri nasional.
“Oleh karena itu, industri nasional perlu mengoptimalkan ekspor produknya ke pasar Amerika guna memanfaatkan tarif bea masuk yang rendah bagi Indonesia dibanding negara lain,” ujarnya.