Kementerian Keuangan memberikan respons tegas terhadap prediksi perlambatan ekonomi dunia dan kawasan yang dirilis berbagai lembaga internasional selama dua pekan terakhir. Secara terbuka, pemerintah menerima sorotan proyeksi tersebut. Namun, Indonesia tetap memiliki siasat yang tidak selalu sejalan dengan perkiraan, seperti memacu daya tiga mesin pertumbuhan ekonomi sesuai rencana yang telah ditetapkan.
Ketegasan tersebut disampaikan Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu dalam pembukaan Media Gathering Kementerian Keuangan 2025 di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Kamis (9/10/2025). Dalam kesempatan itu, dia juga memaparkan ringkasan APBN 2026 dan target pertumbuhan yang hendak dikejar pemerintah setahun ke depan.
Dengan target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada tahun 2026, pemerintah menargetkan dapat menarik investasi senilai Rp7.450 triliun tahun depan atau tumbuh 5,2%. Secara rinci, kontribusi swasta diharapkan menyumbang investasi sebesar Rp6.200 triliun; investasi BUMN lewat Danantara sebesar Rp720 triliun; dan investasi belanja pemerintah sebesar Rp530 triliun.
"Pak Menteri Purbaya sudah mengarahkan untuk mengaktifkan mesin fiskal, sektor keuangan, dan iklim usaha bersamaan. Fiskal lewat belanja efektif dan sesuai prioritas; sektor keuangan dengan penempatan kas negara dan penjaminan yang kita jaga; dan iklim usaha dengan agenda deregulasi dan debottlenecking yang terus kita dorong," ujar Febrio.
Investasi manufaktur bernilai tambah tinggi menjadi salah satu sektor utama yang disasar pemerintah, mengingat efektivitas manufaktur dalam mendorong investasi swasta menjadi tumpuan pemerintah menekan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dari 6,2 di tahun ini menjadi 5,7 di tahun depan.
Guna menarik investasi swasta itu, pemerintah telah mengintegrasikan pengajuan izin usaha lewat online single submission, menyederhanakan proses impor, relaksasi TKDN, hingga otomasi layanan IT dan dasbor digital untuk tracking proses deregulasi. Sektor-sektor manufaktur padat karya sebagai sasaran strategi ini diharapkan menyerap tenaga kerja secara maksimal sehingga meningkatkan daya beli dan konsumsi rumah tangga secara simultan.
Di bidang fiskal, penempatan kas negara telah meningkatkan likuiditas primer menjadi 13,2% di bulan September. Febrio melaporkan, hingga 9 Oktober 2025, kelima bank penerima injeksi telah merealisasikan kredit untuk sektor riil secara terukur, dengan rincian Bank Mandiri mencapai 74%, BRI 62%, BSI 55%, BNI 50%, dan BTN 19%.
Rendahnya bunga penyaluran kredit yang menekan cost of fund kelima bank tersebut terbukti menarik bagi perbankan, khususnya bagi Bank Pembangunan Daerah (BPD). Febrio menyatakan, secara eksplisit Bank Jatim, Bank Jakarta, dan BJB sudah mengajukan penempatan kas negara kepada Kementerian Keuangan. Namun, pihaknya masih akan meninjau pengelolaan kas dan target yang sesuai tujuan pemerintah.
"Kalau mereka sudah janji akan menyalurkan kredit untuk sektor perumahan, konsumsi, pertanian, 'kan memang itu yang kami inginkan. Tanpa menambah belanja atau menambah defisit, mesin-mesin pertumbuhan dapat berjalan bersamaan. Jadi ini win-win solution," tegas Febrio.
Kita tetap tangguh
Langkah-langkah pemerintah yang terarah tersebut, menurut Febrio, menjadi dasar Indonesia untuk tetap mampu mencapai target pertumbuhan, meski lembaga-lembaga keuangan internasional seperti World Economic Forum (WEF), Asian Development Bank (ADB), dan Bank Dunia telah memproyeksikan pertumbuhan kawasan Asia Pasifik akan melambat ke titik 4,5% tahun depan.
Laporan lembaga-lembaga keuangan internasional yang mulai bergulir pada akhir September 2025 tersebut melansir kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat, melambatnya pasar properti Tiongkok, hingga perubahan rantai pasok sebagai penyebab perlambatan. Akibatnya, negara-negara dengan ekonomi bertumbuh di Asia Pasifik diperkirakan akan terdampak.
Febrio secara tegas menyatakan bahwa Bank Dunia tidak benar-benar memahami strategi fiskal yang telah Indonesia laksanakan untuk mengantisipasi perlambatan itu, seperti stimulus 8+4+5 dan penempatan dana Rp200 triliun ke Himbara.
"Policy measures kita berbeda, dan kita sangat optimis dengan itu. Lagipula Bank Dunia kalau kita lihat beberapa tahun terakhir selalu missed, tetapi kita senang, karena perhatian itu tanda mereka tertarik berinvestasi," cetus Febrio.
Eselon satu Bendahara Negara itu mengakui bahwa proyeksi-proyeksi perlambatan itu ditanggapi serius oleh pemerintah. Namun, dia juga mengingatkan bahwa lembaga-lembaga keuangan internasional tersebut cenderung mewakili kepentingan investor dari negara-negara maju.
"Kalau mereka membaca agak missed, kita beri feedback bahwa arah kebijakan kita tetap sesuai target. Begitu juga dengan OECD, IMF, dan ADB. Mereka 'kan bukan iseng-iseng, dan sebenarnya ingin melihat iklim investasi di Indonesia dan di belakang ada kepentingan investor yang mereka bawa," ujarnya.
Perhatikan faktor struktural
Optimisme pemerintah dalam menempuh langkah-langkah strategis untuk menjaga pertumbuhan mendapatkan apresiasi para ekonom. Namun, faktor struktural dalam menarik investasi jangan sampai dilupakan, mulai dari tingkat produktivitas hingga penegakan hukum yang sangat diperhatikan calon-calon investor.
Pengajar ekonomi pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Rizki Nauli Siregar mengungkap data perbandingan dengan Filipina dan Vietnam yang menyebabkan iklim investasi manufaktur bernilai tambah tinggi di Indonesia kurang menarik dibandingkan negeri tetangga.
Rizki menemukan 41,2% eksportir Indonesia membayar gratifikasi saat memproses ekspor, sedangkan hanya 4,6% eksportir Filipina dan 29,2% ekspor Vietnam yang terpaksa melakukannya.
Tidak hanya itu, 97% eksportir Indonesia harus membayar biaya siluman untuk memperoleh sambungan listrik tambahan, sementara hanya 14,4% eksportir Vietnam dan 0% eksportir Filipina yang dikenai biaya seperti itu.
"Hanya 5,5% perusahaan manufaktur Indonesia melakukan inovasi produk dalam 3 tahun terakhir, tertinggal di belakang Filipina yang memiliki 19,3% perusahaan inovator. Akibatnya, partisipasi Indonesia persisten rendah dalam perdagangan rantai pasok global," ujar Rizki di Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Sepandangan dengan Rizki, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menilai agar kebijakan fiskal dan moneter dipandang proporsional sebagai katalis pertumbuhan ekonomi, sedangkan investasi tetaplah menjadi motor utamanya. Lambatnya pertumbuhan menandakan investasi yang enggan masuk karena faktor-faktor struktural.
"Iklim usaha yang buruk, penegakan hukum yang lemah, praktik perburuan rente, dan regulasi yang kompleks membuat investasi tidak tercipta secara signifikan di Indonesia. Ini yang harus dibenahi. Kebijakan sisi fiskal hanya dapat berperan sejauh mengurangi misalokasi anggaran saja," ujarnya saat dihubungi SUAR, Kamis (9/10/2025).
Agenda pemerintah untuk mengundang masuknya investasi-investasi strategis, menurut Riefky, dapat diawali dengan mempertimbangkan kembali anggaran untuk program-program populis dan mengalihkannya untuk program-program yang telah terbukti mempunyai produktivitas tinggi.