Tim SUAR menggali pemikiran para pemimpin perusahaan, regulator, dan pengamat ekonomi melalui Survei Semesta Dunia Usaha mengenai problema pekerja migran Indonesia dan apa yang dapat dilakukan kalangan dunia usaha untuk membantu pekerja migran mendapatkan penghasilan dan kesejahteraan yang lebih baik.
Highlights
- Pemerintah dianggap belum mampu mengatasi masalah pengangguran (56,7%).
- Pengiriman pekerja ke luar negeri dapat mengatasi masalah pengangguran (63,3%), meski sifatnya jangka pendek.
- Sebagian kecil narasumber menyatakan pekerja migran (PMI) belum mendapatkan penghasilan yang layak di luar negeri (10%). Selebihnya sudah mendapatkan penghasilan yang layak.
- Faktor yang memengaruhi pekerja migran mendapat penghasilan yang layak di luar negeri: keterampilan dan pendidikan (50%), persiapan yang matang sebelum keberangkatan (13,3%), dan penguasaan bahasa asing (13,3%).
- Swasta sebaiknya dilibatkan dalam memberi pelatihan keterampilan bagi pekerja migran yang akan ke luar negeri (76,7%). Alasan utamanya adalah swasta memiliki kemampuan, teknologi, dan jejaring untuk menjadikan PMI lebih kompeten dan berketerampilan (43,5%).
- Swasta sebaiknya juga dilibatkan dalam menyalurkan pekerja migran (76,7%), di luar agen penyalur yang sudah ada. Alasan utamanya adalah swasta memiliki jaringan yang luas (26,1%). Namun, dalam pelaksanaannya hal ini memerlukan regulasi atau sistem dan pengawasan.
Pekerja migran adalah pahlawan devisa bagi negara. Setiap tahun, tidak sedikit dana yang mengalir ke tanah air dari berbagai belahan dunia tempat pekerja migran Indonesia berdiaspora.
Namun, nasib pekerja migran Indonesia tidak seluruhnya beruntung dan menjadi sejahtera. Faktor keterampilan masih menjadi kendala untuk mendapat pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik.
Dalam satu dekade terakhir, jumlah penduduk Indonesia yang tercatat bekerja sebagai pekerja migran untuk memperbaiki nasib lebih dari 200.000 orang per tahun. Hanya di kala pandemi Covid-19 melanda (2020-2021), jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) menurun drastis.
Di tahun 2025 ini, hingga bulan Juli, jumlah pekerja migran Indonesia tercatat 157.865 orang. Lima negara utama penempatan PMI terbanyak adalah Taiwan, Hong Kong, Malaysia, Jepang, dan Singapura.
Dari penghasilan yang didapat PMI, keluarga di Tanah Air turut mendapatkan berkah melalui remitansi alias uang yang dikirimkan kepada keluarga di dalam negeri. Remitansi dari PMI berkontribusi terhadap perekonomian suatu negara. Menurut laporan World Bank, remitansi menjadi salah satu sumber untuk distribusi pendapatan, meningkatkan daya beli dan pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi konsumsi, penggunaan remitansi ditujukan untuk pembelian kebutuhan pokok, seperti pangan dan sandang. Jika kebutuhan pangan tercukupi, dampaknya akan terlihat pada status gizi keluarga dan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia.
Sedangkan dari sisi investasi, penggunaan remitansi ditujukan untuk hal yang sifatnya produktif dan jangka panjang. Seperti, untuk pembangunan rumah, pembelian aset berupa tanah, sawah, atau kebun, serta pembiayaan pendidikan dan kesehatan.
Berdasarkan data Bank Indonesia, jumlah remitansi PMI cenderung meningkat, terutama setelah perekonomian pulih dari pandemi. Tahun 2024 lalu, angka remitansi tercatat sebagai yang tertinggi, yaitu 15,7 miliar dollar AS, naik 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara pada tahun 2025 ini, jumlah remitansi hingga kuartal 2 telah mencapai 8,4 miliar dollar AS.
Menurut data World Bank, jumlah remitansi yang masuk ke Indonesia menyumbang sekitar 1,1% terhadap produk domestik bruto (PDB, 2024).
Problem lapangan kerja
Motif ekonomi merupakan motif utama yang mendorong penduduk memutuskan menjadi pekerja migran. Keterbatasan lapangan pekerja di dalam negeri menjadi faktor yang mendorong (push factor) penduduk mencari pekerjaan di luar negeri ketimbang menjadi pengangguran. Sementara, tawaran upah yang lebih baik atau lebih tinggi di negara lain menjadi faktor yang menarik (pull factor) penduduk untuk memperbaiki nasib .
Hasil Survei Semesta Dunia Usaha yang diselenggarakan Tim SUAR sebulan yang lalu menunjukkan bahwa pengangguran menjadi hal yang masih membelit negeri ini.
Sebagian besar narasumber survei (56,7%) – terdiri atas pemimpin perusahaan, regulator, dan pengamat ekonomi – sepakat menyatakan bahwa pemerintah belum mampu mengatasi masalah pengangguran di negara kita, meski tingkat pengangguran menurut data BPS turun menjadi 4,76% (Februari 2025). Hanya sepertiga narasumber (33,3%) yang menyatakan pemerintah mampu mengatasi problem ketenagakerjaan ini.
Masyarakat lalu melihat peluang untuk mencari penghasilan dengan mengadu nasib di negeri orang, menjadi pekerja migran. Pekerjaan apa pun akan dijalani demi memperbaiki ekonomi keluarga. Bahkan, tak sedikit yang nekat berangkat ke negara yang diinginkan tanpa dilengkapi dokumen resmi alias masuk secara illegal.
Dengan kondisi ini, tak heran, pekerjaan yang dilakoni PMI adalah pekerjaan kasar atau pekerjaan informal – yang kadang rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.
Mayoritas narasumber (63,3%) berpendapat, pengiriman pekerja migran ke luar negeri dapat mengatasi masalah pengangguran, terutama untuk jangka pendek. Sebanyak 26,7% narasumber menyatakan sebaliknya, bahwa pengiriman pekerja migran tidak akan mengatasi persoalan pengangguran.
Pendapat mayoritas narasumber tersebut sejalan dengan persepsi bahwa sebagian besar PMI telah mendapatkan penghasilan yang layak atau mencapai kesejahteraan yang baik. Pendapat ini disampaikan oleh 46,7% narasumber.
Sebanyak 26,7% narasumber menyatakan, baru sebagian kecil PMI yang menerima penghasilan yang layak. Sementara, sebanyak 10% narasumber berpendapat PMI belum mendapatkan penghasilan yang layak. Bahkan, tidak sedikit kisah PMI yang gajinya ditahan, dianiaya majikan, bahkan dideportasi.
Pekerja unskilled
Berdasarkan data Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/BPPMI, lima pekerjaan atau jabatan terbanyak yang dijalankan PMI adalah sebagai asisten rumah tangga (house maid), pelayan kesehatan (caregiver), pekerja di perkebunan (plantation worker), pekerja swasta (worker), dan pekerja domestik (domestic worker).
Pada tahun 2024, PMI yang bekerja di lima pekerjaan atau jabatan tersebut berjumlah 206.031 orang atau 69,3% dari total PMI yang ditempatkan di luar negeri. Hanya sebagian kecil yang bekerja di sektor industri/manufaktur (2,3%) atau sebagai pekerja konstruksi (2,9%).
"Menurut mayoritas narasumber survei, faktor utama yang menentukan PMI akan mendapatkan penghasilan yang layak dan meraih hidup sejahtera adalah faktor keterampilan."
Pendidikan atau keterampilan yang dimiliki PMI akan menentukan jenis atau jabatan pekerjaan yang dijalani. Menurut mayoritas narasumber survei, faktor utama yang menentukan PMI akan mendapatkan penghasilan yang layak dan meraih hidup sejahtera adalah faktor pendidikan dan keterampilan (50%).
Berikutnya, faktor persiapan sebelum keberangkatan (13,3%) yang meliputi pengurusan izin, biaya, dan pelatihan keterampilan. Faktor bahasa asing yang dikuasai, terutama bahasa di negara tempat bekerja, juga menjadi faktor penentu mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak (13,3%).
Sayangnya, pekerja migran Indonesia tergolong pekerja tanpa keterampilan (unskilled) atau dengan pendidikan dan keterampilan yang rendah (low skill). Merujuk data Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/BPPMI, mayoritas tingkat pendidikan PMI adalah SD hingga SMA (96%). Perinciannya: pendidikan PMI yang setingkat SD sebanyak 24,34%, setingkat SMP 27,3%, dan setingkat SMA 44,36%.

Libatkan swasta untuk PMI yang lebih terampil
Upaya mengatasi masalah pengangguran membutuhkan langkah bersama yang melibatkan banyak pihak. Tidak bisa hanya berharap terselesaikan oleh pemerintah semata. Pun demikian dalam mengatasi masalah yang selama ini banyak dialami oleh pekerja migran.
Selama ini, lingkup kehadiran pemerintah dalam penanganan PMI terentang dari hulu ke hilir, sejak dari mendata dan memonitor penempatan PMI di berbagai negara hingga membantu dan memberi perlindungan terhadap PMI yang mengalami kasus hukum. Namun, berbagai persoalan tetap silih berganti.
Dunia usaha sangat bisa berperan besar dalam mengatasi masalah pengangguran dan pekerja migran. Dunia usaha yang berkembang semakin besar akan dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.
"Dunia usaha dengan sumber daya yang dimilikinya bisa membantu mengatasi bahkan mengembangkan masyarakat Indonesia yang memilih menjadi pekerja migran di negara lain."
Namun, ketika hal itu belum sepenuhnya berhasil dilakukan, dunia usaha dengan sumber daya yang dimilikinya bisa membantu mengembangkan masyarakat Indonesia yang memilih menjadi pekerja migran di negara lain menjadi pekerja migran yang terampil dan berdaya saing.
Mayoritas narasumber sepakat bahwa pemerintah sebaiknya melibatkan swasta, di luar agen penyalur, dalam membekali pekerja migran dengan pelatihan keterampilan sebelum mereka berangkat ke luar negeri. Hal ini disampaikan oleh 76,7% responden.
Pendapat tersebut didasarkan pada pertimbangan utama bahwa perusahaan swasta mempunyai sumber daya dan kemampuan untuk melakukan itu (43,5%). Sumber daya yang dimaksud meliputi tenaga ahli, teknologi, hingga jejaring pasar.
Perusahaan swasta yang ada di Indonesia memiliki banyak spesialisasi bidang keterampilan yang jika dikembangkan untuk calon pekerja migran akan menaikkan daya tawar calon pekerja migran ketika bekerja di luar negeri. Pekerja migran yang terampil (bersertifikat) akan mengisi pekerjaan-pekerjaan formal dan berpenghasilan tinggi.
Pemerintah saja dalam menangani pekerja migran belum cukup mampu memberi pelatihan keterampilan yang memadai bagi calon pekerja migran. Selain itu, ada keterbatasan petugas atau jaringan ke pasar tenaga kerja di luar negeri. Sehingga, pemerintah memerlukan kerjasama dengan pihak swasta.
Selain itu, narasumber juga berpendapat keterlibatan swasta akan membantu meringankan beban pemerintah dalam mengurus PMI (21,7%). Ada pula yang menganggap keterlibatan swasta itu sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Namun, ada pula narasumber yang berpendapat bahwa swasta tidak perlu terlibat memberi pelatihan keterampilan bagi calon pekerja migran. Alasannya, cukup itu menjadi tugas pemerintah saja, terutama pada kementerian terkait yang memiliki kewenangan dan otoritas. Implementasinya akan sulit di lapangan karena beda kepentingan atau tujuan perusahaan.
Selain memberikan pelatihan keterampilan, keterlibatan swasta menurut narasumber juga dirasa perlu dalam menyalurkan PMI ke luar negeri (76,7%). Hal ini terutama sebagai kelanjutan bagi pihak swasta yang sebelumnya turut memberikan pelatihan keterampilan bagi calon pekerja migran.
Salah satu alasan yang mengemuka adalah karena swasta memiliki jaringan dan koneksi yang luas di luar negeri (26,1%) yang dapat memberi kepastian dan ekosistem pekerjaan yang lebih baik bagi calon pekerja migran. Ada pula alasan untuk membantu tugas pemerintah (13%).
Kolaborasi yang lebih baik dengan berbagai pihak, terutama dengan perusahaan swasta, dalam meghasilkan pekerja migran yang terampil akan meningkatkan kesejahteraan pekerja migran dan meminimalisasi kasus-kasus yang tidak diinginkan.
Dengan semakin baiknya kehidupan PMI, berkahnya bagi keluarga di Tanah Air dan juga bagi pemerintah akan semakin besar lewat aliran deras remitansi.

Metodologi dan profil narasumber
Survei Semesta Dunia Usaha dilakukan pada 22 Juli–7 Agustus 2025. Narasumber (responden) dipilih secara purpossive sampling dari kalangan dunia usaha, regulator, dan pengamat ekonomi. Dari kalangan dunia usaha, posisi narasumber beragam, mulai dari direktur, direktur utama, hingga owner. Dari kalangan regulator terdapat kepala daerah dan anggota dewan.
Author: Gianie