Uma Oma Café: Proving Productivity Has No Age Limit

Among the contemporary cafes where young people hang out in Blok M, there is one cafe that actually employs the elderly. Check out this unique story.

Uma Oma Café: Proving Productivity Has No Age Limit
Tampak depan Uma Oma, kafe unik yang mempekerjakan lansia di kawasan Blok M, Melawai (Foto: Ayo Makan)
Table of Contents
Siapa bilang usia 60 berarti pensiun total?

Di sela-sela kafe kekinian tempat muda-mudi nongkrong di Blok M, terdapat satu kafe unik yang justru mempekerjakan lanjut usia (lansia), saat banyak tempat lain menutup pintu bagi mereka. Suatu kontras yang mencolok, tempat anak muda paling terkenal seantero Jakarta, namun yang justru melayani adalah oma-oma umur 60-an. 

Lokasinya pun mudah ditemukan. Dari pintu masuk kawasan Melawai, maju sekitar dua ratus meter ke dalam, di sisi kiri jalan, tampak bangunan tiga lantai berwarna hijau dan putih bertuliskan Uma Oma. Dari luar, tampilannya sederhana, tidak mencolok di antara kafe-kafe tetangganya yang modern.

Begitu langkah kaki menapaki lantai keramik di dalamnya, suasana berubah ramai lembut. Bangunannya tidak terlalu luas, dindingnya didekorasi piring-piring antik khas era 80-an, yang mengingatkan kita pada piring nenek di rumah.

Dekorasi piring di dinding bar Uma Oma. (Foto: Dian/Suar.id)

Tangga kayu, meja bulat, dan aroma rempah buatan rumah yang samar menenangkan. Dari balik pintu kaca, seorang perempuan tua berkerudung hitam dan gincu merah tersenyum, menatap ramah.

“Silakan mengantri dulu ya, cucu oma,” ujar Wasinah (80) sambil tersenyum, tangan kirinya menunjuk ke arah kasir.

Wasinah menyambut dan mengarahkan pelanggan di pintu depan. (Foto: Dian/Suar.id)

Namanya Wasinah, usianya sudah delapan puluh. Ia berdiri di depan pintu setiap hari, menjadi wajah pertama yang menyambut setiap pengunjung. Langkahnya mungkin tak lagi secepat dulu, tapi senyumnya tidak pernah absen. 

“Senang kerja di sini, Nak,” katanya pelan kepada awak wartawan Suar, Minggu (5/10).

“Biar ada kegiatan, nggak jenuh di rumah. Saya datang jam sembilan, pulang jam lima. Rasanya kayak di rumah sendiri, banyak teman.”

Awalnya Wasinah mengaku akan ditugaskan di dapur, tapi menyesuaikan kapasitasnya, akhirnya ia ditempatkan sebagai penyambut tamu atau pramusaji. “Yang penting saya masih bisa ketemu banyak orang,” ujarnya. 

Sustiwati mencuci piring di lantai dua Uma Oma Cafe. (Foto: Dian/Suar.id)

Di dapur lantai dua, Sustiwati sibuk di sudut dapur kecil, tangannya lincah mencuci piring sambil bercakap. Ia berangkat setiap pagi dari Ciledug naik JakLingko, tiba sebelum jam delapan agar bisa membantu menyiapkan kafe.

“Saya suka di sini. Ada teman seumuran, tapi anak-anak mudanya juga baik. Saya jadi nggak merasa tua,” katanya, sambil menumpuk gelas bersih.

Sementara itu, di lantai dua, Rustinah, yang usianya sudah 82 tahun, baru saja selesai membereskan meja pelanggan. Tiap pagi, anaknya mengantar ke Uma Oma sebelum berangkat kerja. “Saya diajak Pak Juna (tim media Uma Oma), yang fotonya dipajang di tangga itu,” ujarnya, menunjuk bingkai kayu di dinding depan tangga.

“Waktu diajak, saya seneng banget. Udah lama nggak kerja. Dulu di pabrik garmen, pernah juga bantu ngurus haji. Sekarang bisa kerja lagi, meski tua, biar sehat aja, banyak aktivitas.”

Foto Juna, Founder Uma Oma merayakan ulang tahun Rustinah dipajang di dinding Uma Oma Cafe. (Foto: Dian/Suar.id)

Sesekali, Rustinah berhenti mengobrol, memperhatikan pelanggan baru yang datang. “Selamat siang, untuk meja nomor berapa?” ujarnya sigap, lalu melangkah ringan mengantarkan pesanan. Setelahnya, ia kembali duduk dan bercerita tentang pengunjung yang sering datang karena rindu suasana rumah.

“Banyak yang curhat, kangen neneknya, kangen rumah. Ada yang sampai nangis, peluk-peluk saya,” katanya. “Saya bilang aja, yaudah, sini oma temenin. Makan dulu, nanti hati adem.” Di Uma Oma, usia bukan batas, melainkan cerita, bahwa bekerja tak selalu tentang mencari nafkah, tapi tentang menemukan hidup.

Rustina menyambut dan mengarahkan pelanggan di lantai dua Uma Oma Cafe. (Foto: Dian/Suar.id)

Tak hanya berhenti di sana, Uma Oma Heritage, gerai baru dari Uma Oma Cafe, berencana memperluas peluang kerja bagi para lansia. CEO sekaligus Founder Uma Oma Cafe, Juna E. Salat, menyebut separuh dari total personel di tempat baru ini akan diisi oleh lansia. Tak hanya dari segi jumlah, peran mereka juga akan lebih beragam. Jika sebelumnya oma-oma berusia 80-an tahun hanya bertugas menyapa tamu, kini mereka bisa saja dipercaya menjadi pramusaji atau menjalankan peran lain sesuai kemampuan dan kebutuhan restoran.

Juna menambahkan, timnya kini tengah mencari kandidat lansia yang memiliki pengalaman di bidang hospitality dengan menjalin komunikasi bersama sejumlah komunitas relevan. Langkah ini diharapkan membuka peluang bagi para lansia yang masih ingin aktif dan berkarya. Ia bercerita, ide mendirikan Uma Oma bermula dari pengalamannya bertemu para oma di sebuah yayasan di Jakarta Selatan. “Lansia sering dianggap tidak lagi produktif, padahal mereka bisa bekerja lintas generasi. Saya ingin mematahkan stigma itu,” ujar Juna kepada media dalam acara perayaan dua tahun Uma Oma Cafe Blok M akhir September lalu (28/9).

Usia yang Dianggap Batas

Banyak pekerja di Indonesia yang terpaksa menepi dari dunia kerja bukan karena kehilangan kemampuan, melainkan karena usia mereka dianggap terlalu tua untuk “mengimbangi” ritme dunia profesional yang serba muda.

Data terkini Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Februari 2025 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) warga di atas 60 tahun mencapai 1,67%. Adapun warga di atas 60 tahun yang masih bekerja rata-rata mendapatkan upah sebesar Rp2,44 juta per bulan.

Di banyak sektor, terutama ritel dan jasa, batas usia pelamar kerja masih menjadi hal lumrah, meski tidak selalu tertulis. Iklan lowongan dengan frasa “maksimal usia 30 tahun” atau “usia tidak lebih dari 35 tahun” masih mudah ditemukan. Akibatnya, para pekerja berusia 40-an ke atas sering kali kesulitan mencari pekerjaan baru setelah terkena PHK atau pensiun dini. “Padahal, di usia itu kebutuhan mereka tambah tinggi. Usia tersebut juga masih bisa bekerja secara produktif,” kata Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (CELIOS).

Pemerintah mencoba mengubah keadaan ini lewat Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan No. M/2/HK.04/III/2024, yang mendorong perusahaan untuk tidak lagi mencantumkan batas usia dalam proses rekrutmen. Namun kebijakan di atas kertas tidak serta-merta mengubah persepsi di lapangan. Di tengah situasi itu, langkah seperti yang dilakukan Uma Oma Café terasa relevan: memberi ruang bagi para lansia untuk tetap bekerja dan dihargai, bukan karena belas kasihan, melainkan karena mereka masih mampu dan dibutuhkan.

Langkah Pemerintah Menghapus Diskriminasi Usia

Di tengah realitas diskriminasi usia yang masih jamak di dunia kerja, pemerintah akhirnya mengambil langkah tegas. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja.

Kebijakan ini melarang perusahaan mencantumkan syarat yang bersifat diskriminatif, termasuk batas usia, penampilan fisik, status pernikahan, tinggi badan, warna kulit, hingga suku, kecuali jika syarat tersebut benar-benar berkaitan dengan karakteristik pekerjaan. “Dunia kerja harus menjadi ruang yang adil, inklusif tanpa diskriminasi, dan memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara,” ujar Yassierli dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI, akhir Mei lalu.

Aturan ini memberi rambu yang jelas bagi pelaku usaha dan membuka peluang kerja yang lebih luas bagi pencari kerja lintas usia, termasuk penyandang disabilitas. Di sisi lain, penghapusan batas usia juga memperluas talent pool dan mendorong partisipasi kelompok berpengalaman untuk tetap aktif di dunia kerja.

Ekonom Josua Pardede menilai, kebijakan non-diskriminatif seperti ini penting untuk menjawab tantangan struktural tenaga kerja Indonesia. “Menghapus batas usia memperluas basis tenaga kerja dan mengurangi mismatch, terutama di sektor jasa dan hospitality yang menilai kualitas pelayanan dan keandalan,” jelas Josua kepada Suar melalui keterangan tertulis, Minggu (5/10). Ia menambahkan, dengan populasi yang menua, mendorong partisipasi lansia justru membantu menahan rasio ketergantungan, menjaga basis pajak dan jaminan sosial, serta memperkaya produktivitas melalui transfer pengetahuan antargenerasi.

Dari perspektif kebijakan ketenagakerjaan, langkah ini juga dianggap bisa menekan angka pengangguran usia produktif. Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, mengatakan penghapusan batas usia menjadi peluang penting bagi mereka yang kehilangan pekerjaan di usia dewasa. “Batas usia itu sangat diskriminatif. Banyak korban PHK usia 30–40 tahun sulit mendapat pekerjaan kembali, padahal tanggungan hidup mereka makin besar,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Minggu (5/10).

Nailul menjelaskan, praktik pembatasan usia kerap dijadikan cara perusahaan menekan biaya tenaga kerja, dengan lebih memilih pelamar muda. Padahal, pekerja berusia matang justru lebih berpengalaman dan mampu menjadi mentor yang baik. “Kalau perusahaan berani menggabungkan pekerja muda dan senior, akan lebih mudah dalam pengelolaan organisasi,” tambahnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa pekerja lansia tetap membutuhkan penyesuaian, seperti pemeriksaan kesehatan dan sistem kerja yang lebih fleksibel agar produktivitas tetap terjaga.

Tantangan dan Manfaat Membangun Tempat Kerja Lintas Usia

Meski banyak manfaatnya, menciptakan tempat kerja yang inklusif lintas usia memang tidak tanpa tantangan. Josua Pardede menyoroti perlunya penyesuaian ergonomi, rotasi tugas fisik, serta pemeriksaan kesehatan berkala bagi pekerja lansia. Tantangan lain muncul dari kesenjangan literasi digital, yang bisa diatasi lewat pelatihan mikro berbasis tugas, misalnya untuk sistem kasir, aplikasi pemesanan, atau job aids visual sederhana.

Catatan serupa datang dari kalangan pengusaha. Menurut Bob Azam, APINDO, Kendati mengapresiasi langkah ini, menurutnya, penghapusan batas usia sebagai jawaban utama atas persoalan ketenagakerjaan. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu menilai masalah sebenarnya terletak pada minimnya ketersediaan lapangan kerja, bukan pada syarat usia itu sendiri.

“Persoalannya bukan soal pembatasan usia, tapi lowongan pekerjaannya yang harus diperbanyak,” ujarnya. Bob mencontohkan, sebuah perusahaan bisa membuka hanya 10 posisi, tetapi menerima hingga seribu lamaran. Dalam kondisi seperti itu, perusahaan sering menetapkan batas usia sebagai cara praktis untuk menyaring pelamar. “Kalau tidak, seribu-seribunya harus dites? Itu kan biaya juga,” katanya.

Ia menambahkan, untuk pekerjaan yang membutuhkan kebugaran fisik, faktor usia tetap perlu diperhitungkan demi menjaga produktivitas dan keselamatan kerja. Namun demikian, Bob sepakat bahwa ruang kerja yang lebih inklusif tetap perlu diciptakan, asal disertai dengan perluasan lapangan kerja dan pembinaan keterampilan bagi pekerja lintas usia.

Lebih dari itu, budaya kerja juga perlu menyesuaikan. “Stereotip usia bisa menghambat penempatan yang optimal. Karena itu penting adanya pelatihan anti-bias dan indikator kinerja yang berfokus pada output, bukan umur,” kata Josua. Skema kerja paruh waktu, split shift, atau penugasan di jam tidak sibuk (off-peak hours) bisa menjadi cara efektif untuk menjaga keseimbangan antara efisiensi bisnis dan kesejahteraan pekerja senior.

Dari sisi bisnis, manfaatnya justru nyata. Pekerja senior dikenal unggul dalam ketelitian, empati, dan penanganan pelanggan, kemampuan yang sangat dibutuhkan di sektor jasa seperti restoran dan kafe. Mereka cocok ditempatkan sebagai greeter, kasir, quality control dapur, atau mentor bagi barista muda. “Tim lintas usia cenderung membuat keputusan lebih matang, kombinasi pengalaman dan energi,” ujar Josua.

Kesan dari pelanggan Uma Oma Cafe yang digantung dekat tangga lantai dua Uma Oma Cafe. (Foto: Dian/Suar.id)

Ia juga menekankan bahwa praktik seperti di Uma Oma Café membuktikan inklusivitas bukan hanya soal moral, tetapi juga strategi bisnis. Pelanggan menghargai kehangatan dan nilai kebersamaan yang tercermin dari pelayanan para oma, sementara perusahaan diuntungkan dengan loyalitas pelanggan dan citra merek yang kuat.

“Tempat kerja seperti Uma Oma bukan hanya memberi ruang bagi lansia untuk tetap produktif, tapi juga memberi makna baru pada konsep pelayanan, lebih manusiawi, hangat, dan saling menghargai,” tutup Josua.