Supporting labor-intensive industries, employers urge passage of textile bill

One of the important points in the Textile Bill is to provide real protection for local industry players, while encouraging the utilization of domestically sourced raw materials.

Supporting labor-intensive industries, employers urge passage of textile bill
Pedagang menunggu datangnya pembeli di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (2/9/2025). 
Table of Contents

Sandang, pangan, dan papan merupakan kebutuhan utama makhluk hidup. Namun saat ini industri pertekstilan – yang justru menjadi tumpuan perekonomian di sektor padat karya – mengalami banyak tantangan.

Selama ini industri tekstil dihadapkan pada tingginya biaya produksi akibat ketergantungan impor bahan baku hingga ketatnya persaingan global dibarengi gempuran produk impor murah. Selain itu, ada pula masalah kurangnya keterkaitan rantai pasok dari hulu ke hilir, potensi limbah yang cukup besar serta isu keberlanjutan.

Hal-hal inilah yang mendasari desakan para pengusaha pertekstilan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertekstilan segera rampung – sebagai tonggak kebangkitan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmadja mengatakan, industri TPT termasuk ke dalam industri padat karya yang harus dijaga pertumbuhannya.

"Hidup mati industri padat karya bergantung pada kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Dengan adanya RUU Pertekstilan ini arah kebijakan industri tekstil bisa lebih jelas dan teratur," kata Jemmy kepada SUAR di Jakarta, Senin (22/09/2025).

One of the important points in the Textile Bill is to provide real protection for local industry players, while encouraging the utilization of domestically sourced raw materials.

RUU Pertekstilan juga diharapkan bisa memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing lokal. Selain itu, RUU Pertekstilan mendorong kemandirian sektor tekstil di tengah derasnya arus impor.

Jemmy mengatakan, RUU Pertekstilan bisa menjadi payung hukum yang kuat sehingga bisa meningkatkan daya saing industri TPT nasional. Saat ini, RUU Pertekstilan sudah masuk di daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. 

“Kami sangat berharap RUU Pertekstilan ini rampung, jadi industri TPT punya arah yang jelas,” ujar Jemmy.

Jemmy menegaskan kembali bahwa perjuangan untuk mendorong tercapainya iklim investasi padat karya di bidang tekstil dan garmen ini masih panjang dan penuh tantangan. Pasalnya tidak hanya peningkatan kualitas produksi untuk pasar domestik, tetapi juga untuk tujuan ekspor.

“Kami ingin menjaga sustainabilitas industri padat karya di Indonesia,” ujar Jemmy. Maka, ia menghendaki RUU Pertekstilan segera rampung dibahas DPR agar dapat menjadi tonggak baru bagi kebangkitan industri tekstil Indonesia yang tangguh, inklusif, dan berdaya saing tinggi.

Topang industri tekstil

Dari sisi regulator, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memperkuat komitmen untuk membangkitkan kembali kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) agar semakin berkontribusi bagi perekonomian nasional melalui peranan SDM profesional.

‎“Industri TPT merupakan salah satu sektor prioritas dalam peta jalan pembangunan industri nasional. Sektor ini juga menjadi kunci dalam memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam pernyataan resminya yang diterima SUAR di Jakarta (23/9).

Merujuk Kementerian Perindustrian, kinerja pada triwulan I–2025, industri TPT mencatat pertumbuhan positif sebesar 4,64%.

Menteri Agus menegaskan, pihaknya akan terus mendukung penguatan industri TPT melalui berbagai program strategis. Salah satunya transformasi menuju industri 4.0 dengan pemanfaatan teknologi digital. Strategi ini tidak hanya diterapkan di sektor industri, tapi juga pada unit pendidikan vokasi binaan Kemenperin.

‎Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri (BPSDMI) Kemenperin Masrokhan menyampaikan, untuk menopang kebutuhan industri TPT terhadap tenaga kerja yang kompeten dengan jumlah besar, salah satu unit pendidikan vokasi Kemenperin, yakni Politeknik STTT Bandung, berperan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Politeknik STTT Bandung, sebagai salah satu dari 13 pendidikan tinggi vokasi Kemenperin, juga merupakan perguruan tinggi tertua yang didirikan sejak tahun 1922 atau telah berusia 103 tahun.

‎Sekolah vokasi itu dikembangkan dengan spesialisasi di bidang tekstil dan produk tekstil. Ada tiga program studi diploma IV, yaitu Program Studi Teknik Tekstil, Program Studi Kimia Tekstil, dan Program Studi Produksi Garmen.

Melalui pendekatan teaching factory, implementasi pendidikan dual system, serta program pendidikan yang mengintegrasikan teknologi, sustainability, dan kewirausahaan, Politeknik STTT Bandung menjadi pilar penting dalam menyiapkan SDM tekstil yang tidak hanya mampu bekerja di industri, tapi juga siap menciptakan lapangan kerja baru di era transformasi industri 4.0 dan industri hijau.

Penyumbang devisa negara

Pengamat ekonomi Institute for Development Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai manfaat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) antara lain adalah sebagai penyumbang devisa negara melalui ekspor produk, penopang perekonomian nasional, penyedia lapangan kerja yang signifikan, dan pemenuhan kebutuhan sandang masyarakat.

"Industri ini juga memiliki peran dalam meningkatkan nilai tambah dari sumber daya, mendorong inovasi, serta menyerap tenaga kerja dari bonus demografi, yang semuanya memperkuat struktur industri secara keseluruhan," kata Eko.