Jika tak ada aral melintang, tahun depan, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) akan memulai proyek gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME). Proyek ini merupakan bagian dari program hilirisasi batubara yang diharapkan bisa menggantikan impor LPG. “Semoga bisa dimulai tahun depan karena cadangan sudah siap, teknologi pun sudah siap,” ujar Direktur Hilirisasi dan Diversifikasi Produk PT Bukit Asam, Turino Yulianto.

Menurut Turino, pasokan batubara dari perusahaannya saat ini cukup melimpah sehingga pihaknya mulai mengembangkan proyek tersebut. Proyek DME batubara yang diinisiasi PT Bukit Asam ini menjadi salah satu dari enam proyek hilirisasi batubara yang sedang dikaji oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara
Kebutuhan cadangan batubara untuk proyek gasifikasi menjadi dimethyl ether mencapai 5 juta ton hingga 6 juta ton per tahun atau 100 juta ton hingga 120 juta ton selama 20 tahun. Perusahaan sudah mengamankan 800 juta ton cadangan batubara untuk kebutuhan hilirisasi termasuk untuk proyek DME.
Untuk membangun satu pabrik pengolahan batubara menjadi DME, kebutuhan investasi diperkirakan mencapai US$2,5 miliar atau Rp40 triliun. PT Bukit Asam pun sedang mencari mitra kerja untuk berinvestasi di proyek ini.
Selain PT Bukit Asam, pemerintah saat ini juga sedang melakukan pembicaraan terhadap dua calon investor potensial yang akan masuk ke sektor ini. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan saat ini ada dua opsi calon investor penggarap DME. Satu berasal dari Cina, lalu yang kedua adalah investor gabungan antara Korea Selatan dan Eropa.

Namun demikian, hingga saat ini belum ada keputusan final terkait investor mana yang akan menggarap proyek hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether. “Kami belum finalkan, sekarang kami sedang lakukan studi kelayakan (FS) dengan teknologinya,” kata Bahlil saat ditemui usai acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Selasa 28 Oktober 2025 lalu.
Bahlil menjelaskan meskipun belum ada investor, rencana proyek ini tidak menghadapi masalah. Sebab, bahan baku hilirisasi menjadi DME adalah batu bara dengan nilai kalori rendah yang jumlah cadangannya banyak di Indonesia. “Teknologinya sekarang sudah jauh lebih efisien, semakin lama teknologi juga berinovasi jadi lebih baik,” jelasnya.

Proyek DME ini termasuk dalam salah satu dari 18 Proyek Prioritas yang diserahkan Dokumen Pra Studi Kelayakan (FS) ke Danantara. Di sektor hilirisasi minerba, 6 proyek diantaranya merupakan hilirisasi batubara senilai Rp 164 triliun. Rencananya keenam proyek ini akan berada di Bulungan, Kutai Timur, Kota Baru, Muara Enim, Pali, Banyuasin.
Untuk mempercepat hilirisasi, pemerintah melalui Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional memang sudah menyiapkan 18 proyek prioritas senilai lebih dari Rp618 triliun, yang akan dikelola Danantara. Rinciannya meliputi 8 proyek sektor minerba dengan nilai investasi mencapai US$20,1 miliar atau sekitar Rp321,8 triliun.
Selain itu juga disiapkan 2 proyek transisi energi, 2 proyek ketahanan energi, 3 proyek hilirisasi pertanian, dan 3 proyek hilirisasi kelautan dan perikanan dengan 67 persen lokasi proyek berada di luar Pulau Jawa. Proyek-proyek itu diperkirakan mampu menyerap lebih dari 100 ribu tenaga kerja baru di berbagai daerah.
Terkait proyek hilirisasi nasional ini, mengacu data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, realisasi investasi hilirisasi pada semester I 2025 mencapai Rp280,08 triliun.
Dari jumlah itu, Rp193,8 triliun berasal dari sektor minerba, dengan kontribusi terbesar dari nikel senilai Rp94,1 triliun, disusul tembaga Rp40 triliun, bauksit Rp27,7 triliun, besi baja Rp21,5 triliun, timah Rp3,5 triliun, serta komoditas lainnya seperti pasir silika, emas, perak, kobalt, mangan, batubara, dan aspal buton senilai Rp7 triliun.

Bahlil menyebut, hilirisasi bukan lagi sekadar gagasan, melainkan strategi nyata agar terlepas dari kutukan negara pemilik sumber daya namun tak bnisa memanfaatkannya. "Sumber daya alam tidak boleh menjadi pencipta ketimpangan, tetapi wajib menjadi sumber kemakmuran," ungkapnya.
Hilirisasi mendorong investasi
Melalui pendekatan yang terintegrasi, hilirisasi kini dipandang bukan sekadar kebijakan industri, tetapi sebagai instrumen pembangunan ekonomi jangka panjang. Program ini memperluas peluang usaha, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat kemandirian ekonomi daerah.
Di sisi lain, setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, hilirisasi juga dirancang untuk membangun rantai nilai industri di dalam negeri sekaligus mendorong pemerataan pembangunan. Inisiatif yang dikembangkan mencakup pengembangan industri alumina, mangan sulfat, stainless steel slab, modul surya, bioavtur, hingga fasilitas penyimpanan minyak, serta proyek lain di sektor kelautan, kehutanan, dan pertanian.

Peresmian smelter emas PT Freeport Indonesia, misalnya, menjadi penanda penguatan rantai industri pertambangan. Sementara ekosistem industri baterai kendaraan listrik berkapasitas 15 gigawatt menjadi penentu arah manufaktur kendaraan masa depan.
Selain mengubah struktur industri, program hilirisasi juga fokus pada pengembangan sumber daya manusia. Kementerian ESDM telah menyelenggarakan pelatihan dan sertifikasi bagi puluhan ribu tenaga kerja di sektor energi dan pertambangan untuk memenuhi kebutuhan industri masa depan. Diperkirakan lebih dari 276.000 peluang kerja baru tercipta dari proyek-proyek hilirisasi tersebut.
Nurul Ichwan, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menambahkan, secara umum, faktor pendorong kenaikan investasi memang berkaitan erat dengan kebijakan hilirisasi.
“Permintaan global atas komoditas hasil sumber daya alam kita masih sangat kuat. Misalnya nikel, meski tidak semuanya terserap ke baterai kendaraan listrik, tapi juga ke stainless steel tetap punya prospek bagus secara global,” ujarnya kepada SUAR.
Selain nikel, menurut Nurul, hilirisasi bauksit juga menunjukkan minat besar dari para investor. Walaupun prosesnya memerlukan waktu cukup panjang karena perizinan tambang yang kompleks, minat tersebut menjadi sinyal positif bagi keberlanjutan hilirisasi non-nikel.

Selain itu, sektor Waste to Energy juga mulai menarik banyak perhatian. Setelah pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi, termasuk perpres pengembangan Waste to Energy, sektor ini akan segera ditenderkan. “Investor, baik dalam maupun luar negeri, melihat ini sebagai peluang strategis: sekaligus mengurangi sampah plastik dan memenuhi kebutuhan energi terbarukan,” kata Nurul.
Hilirisasi sektor pertanian dan perikanan
Selain hilirisasi sektor mineral dan pertambangan, Pemerintah juga memulai penguatan hilirisasi di sektor lain, seperti perikanan dan pertanian-perkebunan. Di sektor perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan terus mendorong inovasi dalam memproduksi bahan makanan turunan hasil perikanan untuk mendukung program hilirisasi, sekaligus meningkatkan angka konsumsi ikan nasional.
Langkah ini diikuti upaya pengenalan produk secara rutin ke masyarakat untuk dijadikan peluang usaha maupun menambah pengetahuan ragam cara mengolah hasil perikanan.
Kementerian melalui Balai Besar Pengujian Penerapan Produk Kelautan Perikanan (BBP3KP) telah menciptakan 244 produk inovatif yang mudah diolah di rumah serta berpotensi menjadi peluang usaha. Sebanyak 143 jenis produk olahan diantaranya sudah diadopsi dan dikembangkan oleh para pelaku usaha, di mana yang paling banyak dikembangkan adalah abon lembaran dan bakso ikan.

Menteri Bahlil Lahadalia, menyebut peta jalan hilirisasi bahan mentah telah disusun hingga 2040 yang mencakup 21 komoditas, empat jenis di antaranya dari sektor perikanan yang meliputi udang, ikan, rajungan dan rumput laut. Peta jalan ini diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya alam dan mendorong pendapatan per kapita penduduk.
Pada saat ini, investasi di sektor perikanan tergolong paling rendah apabila dibandingkan dengan sektor-sektor lain. Penyebabnya adalah mayoritas usaha perikanan yang dijalankan masih dalam skala kecil atau tradisional yang dipandang sebagai entitas bisnis yang berisiko tinggi.
Pengarahan investasi dan inisiatif strategis untuk debottlenecking dapat membantu mengembangkan komoditas unggulan dan menambah nilai jual sektor perikanan Indonesia.
Sedangkan di sektor pertanian dan perkebunan, Kementerian Pertanian juga menginisiasi gerakan hilirisasi sebagai langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah produk, membuka lapangan kerja, dan mempercepat pemerataan kesejahteraan rakyat.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyatakan bahwa subsektor perkebunan memiliki potensi ekonomi luar biasa jika dikelola secara terintegrasi dari hulu hingga hilir. “Saatnya petani kita jadi pengusaha. Kita dorong hilirisasi kopi, kakao, lada, pala, kelapa, tebu, jambu mete, sawit, hingga gambir. Manfaat nilai tambah harus tinggal di desa, manfaat positifnya maupun keuntungannya bisa dirasakan petani kita, bangsa kita, bukan dibawa ke luar negeri,” tegas Mentan Amran.
Menurut Amran pihaknya memang sedang melakukan akselerasi hilirisasi pada komoditas kakao, mente, kelapa dalam, lada, dan lainnya. “Untuk kelapa dalam, datanya naik signifikan, 33 juta ton tahun ini dari 29 juta ton tahun lalu,” ujar Amran.

Selama ini menurut Amran, Indonesia masih mengekspor kelapa dalam bentuk gelondongan dengan total 2,8 juta ton per tahun senilai Rp24 triliun. Padahal, jika diolah menjadi produk turunan seperti santan atau coconut milk, nilai jualnya bisa meningkat hingga seratus kali lipat.
“Kalau 100 kali lipat saja, potensi nilainya bisa mencapai Rp2.400 triliun. Katakan separuhnya saja, itu tetap menghasilkan Rp1.200 triliun devisa, dan itu baru dari kelapa,” jelasnya.

Pemerintah juga menyiapkan hilirisasi untuk komoditas gambir yang selama ini menyuplai 80 persen kebutuhan dunia. Produk turunannya dapat digunakan untuk bahan tinta pemilu hingga kebutuhan rumah tangga. Langkah serupa juga diterapkan pada komoditas sawit yang dikuasai pemerintah. Amran menyebut bahwa tandan buah segar (TBS) akan diolah menjadi biofuel, minyak goreng, margarin, hingga mentega.
Selain mempercepat hilirisasi, pemerintah juga tengah mengoptimalkan anggaran sebesar Rp9,95 triliun untuk mendukung program pengembangan perkebunan dan hortikultura. Untuk program ini, Pemerintah akan memberikan benih, bibit, pada seluruh petani Indonesia.
Bibit ini akan diberikan kepada banyak petani yang membudidayakan berbagai macam komoditas pertanian. “Kakao, kopi, kelapa dalam, mente, pala, itu kurang lebih 800 ribu hektare seluruh Indonesia. Akan membuka lapangan kerja 1,6 juta orang dalam waktu paling lambat dua tahun,” ujar Amran.
Dampaknya ke semua arah
Secara hitungan di atas kertas, hilirisasi memang punya potensi banyak untuk meningkatkan perekonomian nasional dan taraf hidup masyarakat. Riset Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) pada Januari 2025 dengan judul "Kajian Dampak Hilirisasi Industri Tambang terhadap Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan: Tembaga, Bauksit, dan Pasir Silika", setidaknya bisa menggambarkan bagaimana hilirisasi bisa berdampak ke sebuah wilayah.
Dan dari riset FEB UI, di daerah hilirisasi seperti Gresik, Sumbawa Barat, Mempawah, dan Batang, sejumlah indikator sosial menunjukkan perbaikan. Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) meningkat seiring pembangunan infrastruktur pendidikan, yang didukung pendapatan daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH) dan Pajak Asli Daerah (PAD).
Peningkatan di sektor kesehatan juga menjadi perhatian utama. Indikator seperti Umur Harapan Hidup (UHH) dan penurunan angka stunting menunjukkan progress yang menggembirakan.
Meski demikian, hilirisasi juga mendapat tantangan seperti keterbatasan infrastruktur dan teknologi, masih terbatasnya tenaga kerja yang terampil, permintaan pasar yang fluktuatif, dan dampak negatif terhadap lingkungan.
Disisi lain, hilirisasi juga diharapkan tidak hanya memperkuat ekspor, tetapi juga menguatkan rantai pasok dan industri lokal. Terkait fungsi penguatan secara domestik ini, menurut Nurul Ichwan, ada dua tantangan utama yang dihadapi yaitu masalah pembiayaan dan penguasaan teknologi.
“Sebagian besar tambang memang dimiliki oleh pengusaha dalam negeri, tapi begitu masuk tahap smelter, investasinya sangat besar dan teknologinya kita belum punya. Karena itu, kami selalu mendorong investor asing untuk bermitra dengan investor lokal,” papar Nurul.
Dalam ketentuannya, kategori Penanaman Modal Asing memang tidak selalu 100% asing. Bahkan kalau kepemilikan asing hanya 1%, tetap masuk kategori PMA. Sehingga banyak investasi asing yang juga melibatkan modal dalam negeri di dalamnya.
Namun ke depan, menurut Nurul, penting bagi Indonesia untuk membangun hilirisasi berbasis kemampuan teknologi dalam negeri agar sektor industri bisa tetap berjalan bahkan ketika investor asing menarik diri.” Artinya, inovasi dan riset harus menjadi tulang punggung industri kita.” tegasnya.
Mukhlison dan Dian Amalia
Mengubah Strategi ke konsep Hilirisasi
Hilirisasi dii Morowali, Sulawesi Tengah, menjelma menjadi pabrik-pabrik, ribuan orang bekerja, dan ekonomi lokal menggeliat. Salah satu motor penggeraknya adalah Tsingshan Holding Group, perusahaan asal Tiongkok yang kini menjadi pemain kunci dalam industri nikel nasional.

Menurut Dedy Kurniawan, Media Relations PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), langkah Tsingshan menanamkan investasi di Indonesia bukan keputusan spontan, melainkan hasil dari proses panjang hubungan kedua negara, di sektor pertambangan.
“Sejak awal 2000-an, Indonesia dan Tiongkok sudah punya kerja sama yang erat di sektor mineral. Tahun 2009 bahkan ditandatangani beberapa perjanjian investasi untuk pengembangan tambang dan fasilitas pengolahan,” jelas Dedy.
Salah satu hasil konkret dari kemitraan itu adalah berdirinya Kawasan Industri IMIP pada tahun 2013, kolaborasi antara BintangDelapan Group dari Indonesia dan Tsingshan Holding Group dari Tiongkok. Kawasan ini menjadi simbol transformasi dari ekspor bahan mentah menuju pengolahan bernilai tambah di dalam negeri.
Momentum besar datang ketika pemerintah Indonesia resmi melarang ekspor bijih nikel mentah pada Januari 2020 melalui Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019. Larangan itu mendorong banyak perusahaan, termasuk Tsingshan, untuk mengubah strategi bisnisnya: dari sekadar pembeli bahan mentah menjadi investor yang membangun smelter di Indonesia.
“Dengan kebijakan itu, Tsingshan memilih untuk tidak lagi hanya mengimpor bijih mentah dari Indonesia, tapi menanamkan modal langsung untuk membangun fasilitas pengolahan di dalam negeri,” ujar Dedy.
Indonesia sendiri memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, dan kebijakan hilirisasi membuka peluang besar bagi peningkatan nilai tambah. Selain mendongkrak perekonomian, hilirisasi juga membuka lapangan kerja dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok industri global.
Dedy menjelaskan, Tsingshan melihat hilirisasi bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan. Dengan pengolahan dilakukan di dalam negeri, perusahaan dapat menerapkan standar lingkungan yang lebih ketat dan mengurangi dampak eksploitasi tambang yang selama ini jadi sorotan.
“Kalau kita olah di sini, kita bisa awasi langsung. Kita pastikan prosesnya memenuhi standar lingkungan, jadi tidak hanya menguntungkan ekonomi tapi juga lebih bertanggung jawab terhadap alam,” tutur Dedy.
Terkait iklim investasi, Dedy menilai pemerintah Indonesia cukup serius menciptakan kemudahan berusaha dan kepastian hukum. Reformasi perizinan, pemberian insentif fiskal, hingga lahirnya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dinilai menjadi langkah konkret yang membuat Indonesia semakin kompetitif di kawasan.
“Sekarang perizinan jauh lebih sederhana. Ada banyak kemudahan untuk investor, dan kepastian hukumnya juga lebih terjamin. Ini membuat ekosistem industri dari hulu ke hilir bisa terbentuk,” katanya.
Namun, di balik angka investasi besar dan pabrik raksasa, dampak paling terasa justru ada di masyarakat sekitar. Hingga September 2025, kawasan IMIP telah menyerap 86.394 tenaga kerja, dan 97 persen di antaranya berasal dari Pulau Sulawesi. Dari jumlah itu, 31 persen berasal dari Sulawesi Tengah, dan lebih dari separuhnya adalah warga Morowali.
“Kami bangga karena mayoritas tenaga kerja kami adalah orang lokal. Mereka bukan hanya bekerja, tapi juga ikut tumbuh bersama kawasan industri ini,” ujar Dedy.
Dampak ekonomi meluas hingga ke warung, toko, dan usaha kecil di sekitar Bahodopi. Data menunjukkan, jumlah pelaku usaha melonjak dari 4.697 unit pada 2021 menjadi 7.643 unit pada Maret 2025, atau naik 62,7 persen. Lonjakan ini turut menyerap 16.705 tenaga kerja baru di sektor UMKM.
“Aktivitas di IMIP memunculkan permintaan tinggi terhadap kebutuhan sehari-hari, transportasi, makanan, dan jasa. Itu yang membuat UMKM lokal tumbuh pesat,” jelas Dedy.
Lebih dari sekadar investasi, kisah Tsingshan di Morowali menjadi contoh bagaimana kebijakan nasional bisa bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi di daerah. Dari larangan ekspor bijih mentah, kini Morowali menjelma menjadi jantung industri nikel dunia, tempat di mana kebijakan, investasi, dan tenaga lokal berpadu menciptakan masa depan baru.
Dian Amalia