Strategies to Reduce Energy Costs to Attract Investment

The government's commitment to improve the ease of doing business to attract investment in Indonesia continues to be developed through a number of ways, including by taking integrated measures to reduce energy costs, which have been a complaint of entrepreneurs.

Strategies to Reduce Energy Costs to Attract Investment
Suasana salah satu industri di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industropolis Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (9/10/2025). Foto: ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/nym.

Komitmen pemerintah meningkatkan ease of doing business demi daya tarik investasi di Indonesia terus dikembangkan melalui sejumlah cara, termasuk dengan menempuh langkah-langkah terpadu untuk menekan biaya energi yang selama ini menjadi keluhan pengusaha. Mengoptimalkan peluang hilirisasi sel surya serta meningkatkan bauran energi terbarukan menjadi dua strategi di antaranya.

Penegasan tersebut disampaikan Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Todotua Pasaribu dalam diskusi "Sarasehan 100 Ekonom Indonesia" yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta, Selasa (28/10/2025). Sebagai forum tahunan ke-10, sarasehan tersebut menjadi ajang sinergi pemerintah, akademisi, dan dunia usaha berkontribusi bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.

Todotua menjelaskan, dengan masuknya hilirisasi sebagai salah satu pilar Asta Cita, untuk pertama kalinya pemerintah menyertakan hilirisasi sebagai nomenklatur dalam pemerintahan. Signifikansi ini menandai perhatian penuh pemerintah pada dampak hilirisasi terhadap target pertumbuhan ekonomi 8% dan realisasi investasi mencapai Rp13.032,8 triliun pada 2029.

"Hilirisasi didorong karena kita sudah tidak membolehkan ekspor bahan mentah, apalagi untuk 28 komoditas strategis. Namun, untuk menuju ke sana, tantangannya signifikan. Betul, kita punya SDA luar biasa dengan variasi sangat komplet, tetapi apakah hilirisasi ini berdaya saing, berkelanjutan, dan memiliki dampak lingkungan, itu soalnya," ujar Todotua.

Mantan CEO Bomba Group itu mengungkapkan, salah satu tantangan hilirisasi adalah kebutuhan pasokan energi dan konsolidasi volume energi yang lebih besar untuk memproses bahan mentah dan meningkatkan nilai tambahnya.

Dia mencontohkan, pemrosesan bauksit mentah menjadi alumina membutuhkan energi listrik 250 MW. Namun, untuk memproses alumina menjadi alumunium membutuhkan energi empat kali lipat hingga 1.000 MW atau 1 GW. Saat ini, dengan tarif listrik industri mencapai USD 0,99 per kWh, kebutuhan itu jelas sangat membebani investor yang berminat menanamkan modal di industri pengolahan.

"Maka kita harus mencari sumber energi yang kompetitif. Saat ini, ketika shifting mengarahkan kita untuk masuk menggarap sumber energi hijau, industri kita belum menerapkan karena harganya masih mahal. Masuknya kita ke hilirisasi adalah strategi untuk mengatur kebutuhan energi kita juga," ucapnya.

Salah satu peluang untuk menekan biaya energi tersebut, menurut Todotua, adalah mengoptimalkan hilirisasi panel surya yang saat ini berhasil diproduksi hingga 60% di dalam negeri. Ketersediaan bahan baku utama panel surya yang terdiri dari silika, bauksit, tembaga, dan timah memungkinkan Indonesia untuk mengolahnya secara mandiri.

Secara rinci, untuk panel surya berkapasitas 3,4 kilowatt peak (kWp) atau 3.400 kWh per tahun, dibutuhkan 63,73 kilogram sel surya yang terbuat dari campuran timah, silika dan tembaga; 15 kilogram thin film dari silika; 691,2 kilogram float glass dari timah; 51 kilogram frame adhesive dari silika; dan 180 kilogram alumunium.

"Ketersediaan bahan-bahan itu memungkinkan kita membuat sel surya yang berkontribusi untuk menekan harga panel akhirnya. Apakah ini akan 100 persen ramah lingkungan, masih belum. Bahwa hilirisasi nikel, menjadi baterai, misalnya, masih memakai batubara karena harganya mencapai batas efisiensi produksi per baterai, 5-6 sen per kWh," jelas Todotua.

Ke depan, trajektori hilirisasi berbasis energi hijau telah menjadi fokus yang akan ditempuh pemerintah secara all-out. Dengan menekan biaya material, maka sumber-sumber energi hijau dapat cukup kompetitif untuk menyokong kebutuhan energi industri manufaktur bernilai tambah tinggi yang akan menciptakan lapangan kerja.

"Ini semua butuh waktu. Presiden sudah tetapkan dan akan melakukan apa saja secara strategis dan serius. Pembenahan strategi fiskal, deregulasi, upskilling, dan rantai pasok strategis terus kita lakukan dan itu masih terus berjalan," tandasnya.

Biodiesel dan waste-to-energy

Melengkapi penjelasan Todotua, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa biaya energi yang tinggi tidak dapat dilepaskan dari selisih yang semakin besar antara kapasitas produksi energi dan kebutuhan konsumsi dalam negeri yang semakin bertambah. Akibatnya, pemerintah harus putar otak mencukupi kebutuhan konsumsi dengan berbagai cara yang tersedia.

Menurut Bahlil, untuk mencukupkan kebutuhan konsumsi, strategi pemerintah saat ini diarahkan meningkatkan volume lifting dari sumur-sumur tua yang ada, meminta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) yang sudah menyampaikan Plan of Development (POD) untuk segera berjalan, dan melakukan eksplorasi besar-besaran di 75 cekungan.

"Di samping itu, kita juga naikkan biodiesel dan etanol berbahan dasar jagung, tebu, dan singkong. Tidak benar kalau ada diskusi dari pihak sana-sini yang mengatakan etanol tidak bagus, karena sejumlah negara sudah memakainya, bahkan Brasil sudah memasarkan bahan bakar bioetanol 100 persen," jelas Bahlil.

Keputusan meningkatkan bauran energi terbarukan sebagai salah satu langkah riskan untuk menekan biaya energi industri, menurut Bahlil, merupakan salah satu wujud komitmen Indonesia pada Paris Agreement 2015. Padahal, rantai pasok energi terbarukan relatif lebih mahal dari energi fosil dan membutuhkan investasi berskala besar.

"Kita perlu strategi untuk segera menghitung bagaimana kalau untuk industri, kita gunakan 80-100 GW dari panel surya? Tarifnya ada yang bisa ditekan sampai USD 0,3 per kWh. Kalau ini ekonomis, maka pemerintah akan mendorong pemakaian sebagian besar panel surya di kawasan industri. Keputusan akhirnya belum bisa saya sampaikan sekarang," cetusnya.

Salah satu kiat meningkatkan bauran energi terbarukan guna menekan biaya energi adalah pengelolaan sampah menjadi energi listrik (PSEL) yang pembangunannya disiapkan di 33 lokasi dengan perizinan yang telah selesai. Adapun sepuluh lokasi PSEL prioritas yang pemerintah pilih terletak di Bali, Yogyakarta, Bogor Raya, Semarang, Medan, Jakarta, Tangerang, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, dan Bandung Raya.

"Regulasinya kita siapkan besar-besaran. Harga jual tenaga listrik yang tadinya USD 12,5 sen per kWh, sekarang USD 20 sen. Dari praktik ini, kita akan rumuskan reformasi birokrasi di sektor energi untuk mewujudkan produk yang bagus tanpa harga yang terlalu mahal," pungkas Bahlil.

Holistik

Penelitian Purnomo Yusgiantoro Center (2024) menilai, strategi hilirisasi yang ditempuh pemerintah untuk menekan biaya energi tersebut diakui tepat dan efektif untuk konteks Indonesia. Namun, peningkatan permintaan dan fluktuasi harga juga harus diperhatikan sebagai faktor daya saing, mengingat industri hilirisasi sumber daya mineral juga terus berkembang.

"Inovasi teknologi memainkan peran penting dalam meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan dalam industri hilirisasi. Penelitian dan pengembangan teknologi baru menjadi kunci untuk mempertahankan daya saing, diikuti peraturan hukum yang ketat untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat," tulis penelitian tersebut.

Read also:

Notes from High Investment Realization
The Ministry of Investment and Downstream Investment Coordinating Board (BKPM) noted that in the third quarter of 2025, investment realization reached IDR 491.4 trillion, up 13.9% YoY.

Di samping menekan biaya energi, hilirisasi sumber energi juga memiliki potensi menciptakan efek trickle-down yang positif dengan meningkatkan nilai tambah rantai pasok dan menciptakan lapangan kerja baru. Syaratnya, perlu kerja sama pemerintah, industri, dan masyarakat dalam pengembangan kebijakan, pelaksanaan proyek, dan distribusi manfaat ekonomi.

"Dengan mempertimbangkan analisis PESTEL dan efek trickle-down, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan industri untuk mengadopsi pendekatan holistik, berkelanjutan, dan inklusif dalam pengembangan industri hilirisasi minerba di Indonesia," simpul penelitian tersebut.

Author

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Macroeconomics, Energy, Environment, Finance, Labor and International Reporters