Kesepakatan besar, tapi tak semua dapat durian runtuh.
Setelah proses panjang perundingan yang memakan waktu perundingan hingga sekitar 10 tahun, akhirnya Indonesia dan Uni Eropa menuntaskan perundingan atas perjanjian dagang Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership (IEU-CEPA) di Brussels, Belgia, Minggu (13/7/2025).
Akankah kerjasama perdagangan ini bisa jadi penyelamat kinerja perdagangan internasional Indonesia dari perang tarif Trump? Sektor apa yang paling diuntungkan dari kesepakatan ini?
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, dunia usaha menyambut baik kabar mengenai tercapainya titik terang dalam perundingan IEU-CEPA. Kendati, entry into force IEU–CEPA baru ditargetkan akhir 2026 atau awal 2027, namun masa transisi ini bisa menjadi waktu yang sangat strategis untuk mempersiapkan fondasi agar manfaat IEU–CEPA dapat dioptimalkan sejak hari pertama diberlakukan nanti.
Saat ini, pelaku usaha, termasuk industri padat karya, sudah mulai didorong untuk mempersiapkan diri. Sektor-sektor seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, furnitur, dan perikanan diproyeksikan untuk mendapatkan peningkatan akses pasar besar ke Eropa.
“IEU–CEPA bukan hanya peluang baru bagi industri padat karya untuk tumbuh dan menembus pasar Eropa, tetapi juga menjadi bagian dari strategi besar diversifikasi pasar ekspor Indonesia di tengah ketidakpastian hubungan dagang dengan AS,” ujar Shinta dihubungi Senin (14/7/2025).
“IEU-CEPA juga menjadi bagian dari strategi besar diversifikasi pasar ekspor Indonesia di tengah ketidakpastian hubungan dagang dengan AS,” ujar Shinta.
Di saat dinamika global semakin tidak menentu, memperkuat orientasi pasar ke Eropa adalah langkah mitigatif yang sangat relevan, apalagi banyak sektor industri padat karya berorientasi ekspor sudah terbukti punya kapasitas untuk bersaing jika ekosistemnya mendukung.
Optimisme itu bukan tanpa alasan. Menurut data Kementerian Perdagangan, IEU–CEPA berpotensi meningkatkan ekspor Indonesia ke Uni Eropa lebih dari 30 persen dalam beberapa tahun ke depan. Sektor-sektor seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, produk kayu, elektronik, serta pertanian diproyeksikan jadi pemain utama.
Deni Priawan, peneliti di CSIS, menambahkan bahwa sektor padat karya memang menjadi motor utama di balik negosiasi panjang IEU–CEPA. “Harapannya, produk seperti sepatu dan garmen yang kehilangan daya saing di pasar AS akibat tarif tinggi, bisa dialihkan ke Eropa. Tapi PR-nya adalah: kita masih kalah start dibanding dengan Vietnam yang sudah lebih dulu punya perjanjian dagang dengan Uni Eropa,” katanya (14/07/2025).
Menurut Deni, bukan hanya soal tarif. Vietnam berani membuka investasi dari Uni Eropa, melakukan reformasi iklim usaha, dan membangun rantai pasok terintegrasi. “Kita harus berpikir bukan hanya untuk sekadar jual ke Eropa, tapi juga mengundang investasi mereka agar industri kita lebih kompetitif,” jelasnya.
Peluang dan tantangan industri sawit
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, industri sawit memang masuk daftar produk berpotensi untung lewat IEU–CEPA. Tapi jalan ke sana tak semulus itu.
Eddy mengingatkan: meski tarif turun, ekspor sawit dan produk turunannya tetap harus patuh pada EUDR (EU Deforestation Regulation). Ini tantangan besar, karena standar ini sifatnya non-tarif dan sangat ketat.
“IEU–CEPA memang menurunkan hambatan tarif, tapi belum tentu otomatis menaikkan ekspor sawit kita kalau tidak bisa memenuhi EUDR. Semua produk turunan sawit juga kena EUDR, dan itu masalah non-tarif yang berbeda,” katanya
Eddy mengingatkan: meski tarif turun, ekspor sawit dan produk turunannya tetap harus patuh pada EUDR (EU Deforestation Regulation).
EUDR (EU Deforestation Regulation) mulai berlaku 30 Desember 2024 dan akan melarang produk dari lahan deforestasi. Meski IEU–CEPA menghapus atau menurunkan tarif, kalau sawit Indonesia tidak bisa memenuhi sertifikasi keberlanjutan, ekspor tetap akan terhambat.
Hal serupa terjadi di sektor bijih tembaga dan besi-baja. Uni Eropa akan menerapkan CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism), yang memungut pajak tambahan untuk produk berjejak karbon tinggi. Menurut catatan CSIS, bijih tembaga, besi-baja, serta produk berbasis nikel akan terkena dampak langsung.
“Jadi kesepakatan memberi peluang, tapi tidak otomatis langsung mendongkrak ekspor,” kata Deni dari CSIS.
Kakao dan kopi sudah relatif siap
Berbeda dari sawit, sektor kakao dan kopi sudah relatif terbiasa dengan standar keberlanjutan Eropa. Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menyebut tantangan mereka lebih pada daya saing harga, bukan sekadar sertifikasi.
“Standar-standar itu harus dipenuhi. Tapi kalau harga dunia sedang turun, ekspor juga bisa tetap lesu meski tarif rendah,” katanya.
Artinya, IEU–CEPA membuka pintu, tetapi bukan jaminan harga ekspor otomatis naik. Meski demikian, sektor ini relatif lebih siap dari sisi standar berkelanjutan.
“Sektor seperti kakao dan kopi sudah punya standar keberlanjutan yang cukup baik untuk memenuhi syarat Uni Eropa. Tapi untuk sawit dan industri besar lain, masih banyak pekerjaan rumah, terutama soal persepsi negatif Uni Eropa,” katanya.
Menurut Yusuf, peluang terbesar IEU–CEPA ada di produk agro yang sudah punya sertifikasi seperti Fairtrade atau Rainforest Alliance. “Tapi tetap perlu pembenahan infrastruktur ekspor dan percepatan insentif sertifikasi agar manfaatnya terasa luas, bukan hanya bagi pemain besar,” tambahnya.
Siapa yang paling mungkin cepat menikmati manfaat?
Melihat data dan kesiapan industri, pihak yang paling mungkin cepat menikmati manfaat IEU–CEPA adalah:
- Perusahaan tekstil dan alas kaki besar yang sudah lama ekspor ke Eropa dan punya relasi dengan brand global.
- Produsen cokelat dan kakao dengan sertifikasi keberlanjutan.
- Perusahaan besi-baja dan tembaga yang sudah berinvestasi dalam teknologi rendah karbon.
Sebaliknya, pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) berpotensi ketinggalan kereta kalau tak ada pendampingan teknis dan dukungan konkret.
“Standar keberlanjutan seperti SVLK, FLEGT, dan nanti EUDR itu wajib dipenuhi. Banyak UKM belum siap, baik secara finansial maupun administratif,” kata Abdul Sobur dari Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI). “Kalau tak ada pembinaan langsung dan insentif adaptasi, yang menikmati manfaat hanya pelaku besar. Padahal UKM lebih butuh pendampingan,” tambahnya.
IEU–CEPA menjanjikan kenaikan ekspor signifikan, terutama bagi tekstil, alas kaki, cokelat, dan kakao. Tapi untuk sektor sawit, bijih tembaga, dan besi-baja, tantangan non-tarif tetap berat.
“Kesepakatan dagang memberi peluang, tapi tidak otomatis jadi hasil. Yang penting adalah what next, bagaimana kita memanfaatkannya,” kata Deni dari CSIS.
Dengan ratifikasi cepat, reformasi logistik, subsidi sertifikasi, dan pendampingan UKM, IEU–CEPA bisa jadi tonggak penting membawa produk Indonesia lebih dalam ke pasar global, bukan hanya untuk menjual, melainkan juga membangun industri yang lebih berkelanjutan dan kompetitif.