Pemerintah menyiapkan dana sekitar Rp20 triliun untuk menghapus sebagian tunggakan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta tertentu. Anggaran tersebut akan digunakan untuk mendukung program pemutihan yang ditujukan kepada peserta mandiri yang kini beralih menjadi penerima bantuan iuran (PBI) dan pekerja bukan penerima upah (PBPU) yang ditanggung pemerintah daerah.
Pemutihan tunggakan BPJS Kesehatan merupakan kebijakan yang bertujuan untuk menghapus iuran tertunggak dari para peserta sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Program ini diharapkan dapat membantu masyarakat kurang mampu agar tetap bisa memperoleh layanan kesehatan tanpa terkendala masalah administrasi.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan dana itu telah tercantum dalam APBN 2026. “Sudah, untuk 2026 sudah siap,” ujarnya saat ditemui di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Pemerintah tidak akan memberikan sanksi jika BPJS belum mencapai target pembenahan, tetapi menekankan pentingnya perbaikan agar manfaat program lebih besar bagi masyarakat.
Menurut Purbaya, BPJS telah membantu banyak warga tidak mampu mendapatkan layanan medis penting, dan kebijakan pemutihan akan memperluas jangkauan manfaat itu. “Saya bilang nggak apa diputihkan, tapi nanti sistemnya diperbaiki,” ujarnya.
Pemerintah juga menunda wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan sampai kondisi ekonomi benar-benar pulih. Fokus saat ini, kata Purbaya, ialah memastikan masyarakat berpenghasilan rendah tetap bisa mengakses layanan kesehatan tanpa beban tunggakan.
Purbaya menjelaskan, selain menyiapkan anggaran, pemerintah juga meminta BPJS Kesehatan memperbaiki tata kelola dan sistem manajemennya. Kapasitas teknologi informasi lembaga itu perlu dioptimalkan agar mampu mendeteksi klaim yang tidak wajar.
“Mereka punya 200 orang di IT, itu sudah seperti perusahaan komputer sendiri. Saya minta dioptimalkan, pakai integrasi dan AI supaya klaim yang janggal bisa cepat terdeteksi,” ujarnya.
Pada kesempatan berbeda, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, total tunggakan itu nilainya sekitar Rp10 triliun dengan jumlah peserta sebanyak 23 juta orang. Tunggakan ini berasal dari peserta mandiri yang kini masuk kategori tidak mampu sehingga akan dialihkan untuk menjadi peserta penerima bantuan iuran (PBI).
Ghufron memastikan kebijakan pemutihan tunggakan tidak akan mengganggu arus kas lembaganya. Ia menegaskan, hal itu hanya berlaku bila pelaksanaannya tepat sasaran sesuai data ekonomi peserta.
“Enggak, tidak akan mengganggu, asal tepat sasaran. Kalau enggak tepat sasaran itu bisa mengganggu, tetapi kalau tepat sasaran saya kira enggak,” ujarnya dikutip Antara, Rabu (22/10/2025).
Ghufron menjelaskan, pemutihan dilakukan bagi peserta yang pindah komponen, seperti dari peserta mandiri menjadi PBI. Banyak kasus di mana peserta yang telah ditanggung pemerintah daerah masih tercatat memiliki tunggakan lama di sistem BPJS, sehingga utangnya akan dihapus.
Kebijakan ini, kata dia, mengacu pada Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN) dan diperuntukkan bagi peserta berdesil rendah. “Yang jelas kalau BPJS itu istilahnya negara hadir, tetapi tidak boleh disalahgunakan. Orang yang mampu ya bayar,” kata Ghufron.
Ghufron menjelaskan, tunggakan yang akan dihapus maksimal 24 bulan. Misalkan ada seorang peserta yang telah menunggak sejak 2014 atau sekitar 11 tahun lalu, maka tunggakan yang diputihkan atau dihapus adalah 24 bulan terakhir. Artinya, tunggakan 9 tahun lainnya tetap ada.
Ia menjelaskan, pihaknya tidak bisa menghapus seluruh tunggakan karena akan membebani keuangan BPJS Keuangan saat ini.
Pekerja informal
Dari kebijakan itu, perhatian publik kemudian beralih pada kelompok pekerja informal seperti pengemudi ojek daring, yang menjadi salah satu pihak paling terdampak kebijakan ini.
Rencana pemutihan tunggakan iuran BPJS Kesehatan disambut positif oleh kalangan pekerja angkutan.
Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati mengatakan langkah pemerintah itu patut diapresiasi, meski idealnya kebijakan tidak berhenti pada pemutihan sebagian tunggakan.
Lily menilai para pekerja transportasi, termasuk pengemudi ojek daring, seharusnya mendapat subsidi penuh dari negara karena berada di kelompok berpenghasilan rendah.
Menurut Lily, mayoritas pengemudi ojol memiliki pendapatan di bawah rata-rata upah minimum dan sifat penghasilannya tidak tetap. Kondisi itu membuat mereka sulit membayar iuran BPJS secara rutin.
Akan lebih adil bila pemerintah menggratiskan iuran bagi pekerja informal agar akses terhadap layanan kesehatan benar-benar setara. “Kalangan ini kan menengah ke bawah. Kalau negara mau bantu, ya sekalian saja digratiskan,” ujarnya.
Dia juga menyoroti masih rendahnya pemahaman di kalangan pengemudi mengenai perbedaan antara BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Sebagian pekerja, kata dia, mengira kepesertaan di program ketenagakerjaan sudah mencakup jaminan kesehatan.
Akibatnya, banyak yang tidak membayar iuran kesehatan karena menganggap sudah terlindungi oleh program lain. Lily mengatakan sosialisasi yang dilakukan BPJS masih belum menjangkau seluruh lapisan pekerja lapangan.
Lily menjelaskan selama ini banyak pengemudi hanya menerima informasi melalui agen perisai BPJS, yang tidak selalu aktif memberikan penjelasan langsung.
Menurutnya, pendekatan komunikasi semacam itu belum efektif untuk menjangkau pekerja transportasi yang mobilitasnya tinggi. Lili berpendapat perlu cara baru agar informasi kepesertaan dan kewajiban iuran dapat tersampaikan secara langsung dan merata.
Soal mekanisme pembayaran, Lily mengusulkan agar pemerintah mempermudah sistem iuran dengan memanfaatkan layanan digital yang sudah akrab di kalangan pengemudi, seperti pembayaran melalui dompet elektronik atau aplikasi perbankan daring.
Namun ia menolak ide pemotongan otomatis lewat aplikator transportasi. Pengemudi lebih baik mengelola sendiri pembayaran iurannya agar lebih sadar dan bertanggung jawab atas perlindungan kesehatannya.
Read also:

Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Deni Friawan, menilai kebijakan pemutihan tunggakan BPJS Kesehatan merupakan langkah yang tidak bisa dihindari. Deni menjelaskan, kebijakan ini hanya berlaku bagi peserta yang kini masuk kategori penerima bantuan iuran (PBI) dan tidak mampu lagi membayar. Menurutnya, alokasi Rp20 triliun dari pemerintah lebih ditujukan untuk memperbaiki arus kas BPJS Kesehatan ketimbang memberi manfaat langsung kepada peserta.
Deni mengatakan pemerintah memang tidak punya banyak pilihan. Menagih kembali tunggakan dari kelompok yang kehilangan penghasilan hanya akan memperpanjang masalah. “Suruh mereka bayar lagi juga tidak akan bisa, karena memang tidak ada uangnya,” ujarnya.
Dari sisi fiskal, Deni menekankan perlunya transparansi sumber pembiayaan Rp20 triliun itu. Deni mempertanyakan apakah dana tersebut sudah tercantum dalam RAPBN atau diambil dari pos lain yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan berbeda. Setiap keputusan anggaran, katanya, memiliki konsekuensi karena ruang fiskal pemerintah terbatas.
Selain soal anggaran, Deni menyoroti masalah tata kelola dan efisiensi di BPJS Kesehatan. Dia menilai pengawasan terhadap klaim rumah sakit dan pelaporan perlu diperkuat agar kebijakan pemutihan tidak bocor di hilir. “Kalau datanya tidak akurat dan manajemen tidak dibenahi, kebocoran akan terus berulang di sistem ini,” katanya.
Deni menyebut pemutihan sebagai langkah penyelamatan jangka pendek, bukan solusi permanen. Kebijakan ini hanya mencegah sistem keuangan BPJS tidak tenggelam untuk sementara waktu tanpa memperbaiki masalah struktural pembiayaan. Tanpa reformasi menyeluruh, kebutuhan suntikan dana akan terus berulang, sementara manfaat yang dirasakan publik tidak meningkat.
Persoalan utama BPJS Kesehatan terletak pada desain pendanaan yang belum berkelanjutan. Selama seluruh iuran habis untuk menutup kebutuhan jangka pendek seperti klaim dan operasional, lembaga ini tidak akan memiliki ruang membangun cadangan dana jangka panjang sebagaimana sistem asuransi yang sehat. “Kalau sistemnya tidak dibenahi, berapa pun dana yang disuntik akan cepat habis,” ujar Deni.