Regulasi Jelas dan Konsisten, Sandaran Pengusaha Jamin Kesejahteraan Pekerja

Regulasi Jelas dan Konsisten, Sandaran Pengusaha Jamin Kesejahteraan Pekerja

Regulasi Jelas dan Konsisten, Sandaran Pengusaha Jamin Kesejahteraan Pekerja
Sejumlah buruh berkonvoi saat berunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (28/8/2025). Mereka menyerukan sejumlah aspirasi salah satunya mendesak pemerintah untuk memberantas korupsi dan segera mengesahkan RUU perampasan aset. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.

Kenaikan upah minimum kembali menjadi salah satu butir tuntutan demonstrasi buruh. Bagi mereka, inkonsistensi regulasi memperpanjang masalah hingga bertahun‐tahun. Padahal, kesejahteraan pekerja krusial bagi produktivitas dunia usaha untuk tetap kompetitif dan berdampak bagi perekonomian nasional.

Tuntutan menaikkan upah sebesar 8,5% sampai 10% tersebut mengemuka dalam demonstrasi massa buruh yang diorganisasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di depan gerbang utama Gedung DPR, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Kamis (28/08/2025).

Ketua Umum Partai Buruh dan Presiden KSPI Said Iqbal memimpin massa dengan orasi yang mengungkapkan kekecewaan buruh terhadap keadaan sosial-ekonomi terkini.

Di samping tuntutan kenaikan upah, massa juga mengemukakan lima tuntutan lain. Yakni, mulai dari menolak pemutusan hubungan kerja, menghapus outsourcing, mendorong reformasi pajak, mendesak pengesahan undang-undang ketenagakerjaan baru, mengesahkan RUU Perampasan Aset, dan merevisi Undang-Undang Pemilu.

Turut bergabung dalam unjuk rasa itu perwakilan mahasiswa. Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Surakarta Ridwan Nur Hidayat menyampaikan kritik keras terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak efektif dan cenderung merugikan rakyat.

Selain itu, kata Ridwan, kekecewaan juga diperparah dengan kenaikan pajak properti (PBB) yang diberlakukan pemerintah daerah. Mereka memberlakukan tersebut sebagai dampak dari usulan pemerintah yang membatasi dana transfer ke daerah sebagai upaya efisiensi.

Sebelumnya, pada awal Agustus, lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setinggi 250% telah memicu demonstrasi di Pati Jawa Tengah yang dilakukan penduduk dan petani. Akhirnya, sang Bupati terpaksa mencabut kebijakan tersebut dalam beberapa hari setelahnya.

“Pemerintah selalu menuntut rakyat mengikuti kebijakan, tapi kesejahteraannya belum terjamin. Singapura memang pajaknya tinggi, tapi masyarakatnya sudah sejahtera. Di Indonesia, justru rakyat makin tertekan,” ungkap Ridwan.

Ekosistem pengupahan harus dibangun

Menanggapi kembalinya tuntutan klasik upah minimum tersebut, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam menyayangkan tuntutan massa yang berasal dari faksi-faksi serikat pekerja dan tidak berdasarkan pengetahuan tentang roadmap pengupahan hasil kesepakatan perwakilan pengusaha, pekerja, dan pemerintah yang tergabung dalam Dewan Pengupahan Nasional (Depenas).

"Mereka yang tidak terlibat di Depenas tidak mau mengakui kesepakatan itu. Mereka bermain di luar sistem yang ada, sehingga musyawarah mufakat itu tidak pernah ada. Akibatnya, bentuk-bentuk yang muncul selalu berupa pressure atau tekanan-tekanan seperti yang banyak terjadi di Eropa," jelas Bob saat dihubungi SUAR, Kamis (28/08).

Dalam roadmap tersebut, lanjut Bob, Depenas telah memikirkan pembentukan ekosistem pengupahan yang terdiri dari upah minimum, upah bipartit, struktur skala upah, upah skala provisional, dan lain-lain. Namun, tuntutan yang berkali-kali diartikulasikan serikat pekerja adalah upah minimum. Seolah-olah upah minimum mewakili upah efektif yang diterima pekerja.

"Biasanya, upah minimum itu berkisar 50% sampai 70% upah rata-rata. Di Indonesia, upah minimum 130 persen upah rata-rata. Akibatnya, saat ini, upah rata-rata yang diterima pekerja justru di bawah upah minimum karena pengusaha yang tidak mampu membayar mendapatkan paksaan," ujarnya.

Tidak hanya menilai tuntutan serikat pekerja bersifat parsial, Bob menilai ketidakjelasan dan inkonsistensi regulasi sebagai penyebab kesulitan pengusaha menentukan pengupahan yang mampu menyejahterakan pekerja. Ia menunjuk secara khusus peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksanaan ketentuan upah yang termaktub dalam undang-undang.

"Dalam 10 tahun, PP itu berubah lima kali. Artinya, peraturan pengupahan berubah setiap dua tahun. Bagaimana pengusaha bisa menghitung pengupahan dan membuat kontrak jangka panjang? Melihat peraturan yang diubah setiap dua tahun, investor juga pastinya mundur teratur," imbuh Bob.

Bob menekankan, jalan keluar kemelut masalah upah ini adalah mengoreksi salah kaprah yang mencampuradukkan konsep pengupahan dan upah minimum serta menghancurkan struktur skala upah dan upah provisional.

"Upah minimum adalah upah serendah-rendahnya, bukan upah aktual. Kita harus bangun ekosistem pengupahan, dengan upah minimum yang disesuaikan tingkat inflasi, tidak dijadikan sebagai upah aktual, dan diatur oleh kesepakatan bipartit serikat pekerja perusahaan dan manajemen. Bukan serikat di luar itu," tutup Bob.

Regulasi terukur dan efektif

Komponen upah jelas sangat penting dalam hubungan kerja. Karena itu, regulasi pengupahan pun sangat menentukan dan terkait dengan banyak hal. Guru Besar hukum ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Ari Hernawan menekankan agar masalah pengupahan ditinjau dalam kerangka lebih besar tersebut.

"Tuntutan buruh masih bersifat subsisten sampai sekarang. Ini akibat politik hukum ketenagakerjaan Indonesia yang masih ingin menciptakan buruh yang murah secara ekonomis dan patuh secara politis. Kebijakan ketenagakerjaan diarahkan pada keamanan lapangan kerja, bukan keamanan kerja," tukas Ari saat dihubungi SUAR, Kamis (28/08).

Ari mengakui bahwa tidak mudah untuk menemukan titik tengah yang mempertemukan kepentingan pekerja dan pengusaha dalam satu rumusan yang jelas. Karenanya, penyusunan regulasi pengupahan harus mendalam dan sangat teliti.

Regulasi tersebut, lanjut Ari, bukan hanya mencantumkan nominal. Tapi, juga harus mencantumkan semangat dasar dan tujuan pengupahan, indikator pengupahan, dampak upah bagi pekerja dan pengusaha, penetapan regulasi, pelaksana aturan, hingga efektivitas dan sanksi terhadap pelanggaran aturan.

"Intinya jangan tergesa-gesa karena hasilnya hanya akan berupa kedangkalan-kedangkalan," tutup Ari.

Author

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Macroeconomics, Energy, Environment, Finance, Labor and International Reporters

Read more