Budget Reallocation If Absorption Remains Slow

Three months before the turn of the year, the absorption of expenditure fund allocations, especially to the Government Priority Program, is still relatively low. The Minister of Finance gives a deadline for Ministries and Institutions (K / L) to prepare a strategy for absorbing funds or there will be a reallocation.

Budget Reallocation If Absorption Remains Slow

Realisasi Belanja Pemerintah Pusat (BPP) hingga 30 September 2025 baru mencapai Rp 1.589,9 triliun atau 59,7% dari target Outlook Laporan Semester (Lapsem). Perlu percepatan belanja sebesar Rp 1.292,7 triliun dalam tiga bulan terakhir untuk mencapai target tahunan.

Belanja pemerintah pusat terbagi menjadi Belanja K/L sebesar Rp 800,9 triliun (realisasi 62,8% dari outlook) antara lain untuk program prioritas dan bansos, serta Belanja Non-K/L sebesar Rp 789,0 triliun (realisasi 56,8% dari outlook) antara lain untuk pembayaran pensiun dan subsidi.

Realisasi belanja untuk program prioritas Pemerintah Pusat sebesar Rp 480,4 triliun baru terserap 51,6% dari pagu Rp 930,7 triliun per 3 Oktober. Penyerapan anggaran pada beberapa program prioritas pemerintah bahkan di bawah 50%.

Dalam sektor Penguatan dan Proteksi Daya Beli, misalnya, program perumahan untuk membangun 192,7 ribu rumah baru mencapai 48% dari pagu Rp 52,1 triliun. Demikian pula di sektor pelayanan publik, program Makan Bergizi Gratis dengan pagu Rp 71 triliun baru terealisasi 29%. 

Selain itu, program unggulan lainnya yang baru diresmikan pertengahan tahun ini yaitu program Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda penyerapannya baru 8% dari pagu Rp 14,4 triliun. Rendahnya penyerapan di sektor-sektor dasar ini dapat berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia.

Selanjutnya di sektor Sarana Publik & Produktivitas. Meskipun beberapa program mencapai realisasi di atas 50%, ada dua program besar yang masih berada di bawah target. Program Bendungan, Irigasi, & Operasi-pemeliharaan Sarpras SDA hanya terealisasi 45% dari pagu Rp 23,0 triliun dan Preservasi Jalan dan Jembatan terealisasi 35% dari pagu Rp 18,9 triliun.

Minimnya penyerapan anggaran untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur ini berpotensi memperlambat laju konektivitas, distribusi, dan peningkatan produktivitas pertanian melalui irigasi, yang merupakan kunci bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Sementara itu, sektor Stabilisasi Harga & Produksi menunjukkan gambaran yang beragam. Program yang masih menjadi catatan yaitu program Lumbung Pangan baru mencapai 34% dari pagu Rp 23,2 triliun. 

Penyerapan yang kurang maksimal terkait Stabilitas Harga dan Produksi dan juga terutama pada subsidi energi dan lumbung pangan dapat memengaruhi upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas harga komoditas dan daya beli masyarakat secara keseluruhan. Realisasi 100% pada Bulog/cadangan pangan mengindikasikan fokus pada stok strategis, namun penyerapan yang rendah di program pangan lainnya menunjukkan perlunya akselerasi.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan percepatan belanja pemerintah menjadi salah satu kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada akhir 2025 ini hingga 2026, selain melalui pertumbuhan kredit perbankan.

Untuk itu, Menkeu Purbaya memberikan peringatan terkait dana yang masih belum terserap. Bukan hanya belanja K/L yang berpotensi direalokasi, namun termasuk juga anggaran pada program-program prioritas.

Terkait hal itu, Badan Gizi Nasional (BGN) mengembalikan alokasi anggaran MBG sebesar Rp 70 triliun yang kemungkinan besar tidak mampu diserap tahun ini. Menkeu Purbaya menyatakan BGN mengembalikan anggaran sebesar Rp 100 triliun yang diminta sebagai anggaran tambahan namun belum dicairkan.

Disiplin fiskal dengan menertibkan penyerapan alokasi dana belanja hingga relokasi anggaran dana belanja kepada program yang langsung berdampak pada masyarakat menjadi solusi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun ini. Kegagalan mencapai target penyerapan maksimal berisiko mengurangi dampak program prioritas terhadap masyarakat, termasuk menghambat pembangunan infrastruktur.