The Poison of Glory Hunters

Toxic comes from people who are only focused on personal success or gain in the workplace. He or she pursues a false sense of honor that is not rooted in noble values.

The Poison of Glory Hunters
Photo by julio casado / Unsplash

Bila dalam hiruk pikuk fanatisme sepakbola ada istilah glory hunter, di dunia kerja juga dikenal istilah yang sama. Di sepakbola, glory hunter diartikan sebagai seorang pemburu kejayaan yang hanya mendukung tim pemenang, tanpa peduli pahit getir proses yang dilalui tim.

Jika tim yang didukung mulai menunjukkan penurunan prestasi, dukungan pun dialihkan. Glory hunter di sepakbola, dukungan tanpa kesetiaan.

Sedangkan di dunia kerja, definisi glory hunter ini lebih luas dan lebih aktif. Ia disematkan bagi orang yang hanya fokus pada kesuksesan atau keuntungan pribadi di tempat kerja. 

Bahkan tak jarang glory hunter dilakukan seseorang yang suka mencari kejayaan dengan mengklaim pencapaian orang lain untuk dirinya sendiri. Dia bisa saja mengaku atau mengambil kredit atas ide, kerja keras, atau kesuksesan orang lain untuk meningkatkan posisinya sendiri. 

Secara sederhana, glory hunter di perkantoran adalah individu yang mengejar prestise dan pengakuan, sering kali dengan cara menempel pada proyek sukses, mengambil alih kredit kerja tim, atau memposisikan diri di pusat perhatian saat hasil positif muncul.

Dalam perusahaan, ia bisa muncul sebagai manajer yang hanya hadir saat presentasi akhir, atau karyawan yang menghindari kerja keras namun tampil mencolok saat keberhasilan dirayakan.

Seorang glory hunter di kantor mungkin tidak memiliki loyalitas yang mendalam terhadap perusahaan atau tim kerja, dan akan segera mencari peluang lain jika ada yang lebih menguntungkan dirinya. 

Dalam arti yang paling umum, glory hunter di kantor adalah istilah negatif untuk menggambarkan seseorang yang oportunistik, egois, dan tidak jujur dalam mengejar kejayaan di lingkungan profesional. 

Dalam pandangan eksistensialis, para pelaku praktik seperti ini hidup dalam ketidakjujuran, sebab mereka menolak tanggung jawab atas proses, dan hanya ingin menikmati hasil. Mereka menjadi aktor dalam skenario sosial, bukan pencipta makna.

Dalam etika Aristotelian, kebahagiaan sejati (eudaimonia) dicapai melalui aktualisasi potensi dan kebajikan. Glory hunter gagal mencapai eudaimonia atau kebahagiaan sejati itu, karena mereka mengabaikan kebajikan seperti kejujuran, kerja keras, dan solidaritas. Mereka mengejar kehormatan semu yang tidak berakar pada nilai-nilai luhur.

Glory hunter menciptakan budaya kerja yang tidak sehat, di mana kolaborasi tergantikan oleh kompetisi citra. Mereka juga merusak kepercayaan tim, karena kontribusi tidak lagi dinilai berdasarkan substansi, melainkan persepsi. Dalam jangka panjang, organisasi bisa kehilangan bakat-bakat  unggul karyawannya yang merasa tidak dihargai.

Maka diperlukan budaya apresiasi berbasis proses, bukan hanya penilaian berdasarkan hasil. Dalam organisasi juga diperlukan kepemimpinan yang melayani bukan yang mendominasi, sekaligus mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dan filosofis dalam penguatan skill dan evaluasi karyawan.

Bagaimana pun, fenomena glory hunter ini bukan sekadar masalah etika kerja, namun juga menjadi cerminan dari krisis makna dalam dunia profesional. Melalui pendekatan filosofis, seseorang tidak hanya dinilai dari hasil kerjanya, tetapi juga memahami akar eksistensialnya.

Organisasi yang ingin tumbuh secara berkelanjutan perlu membangun ruang di mana kejayaan bukan sesuatu yang diburu, melainkan hasil dari proses yang dijalani bersama, yang dihasilkan oleh kesadaran untuk berintegritas dan melaksanakan tugas yang bertanggungjawab.