QRIS Masuk Warung Jadi Harapan Baru UMKM

Teknologi itu bernama QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang kini digunakan sebagai alat pembayaran digital di Indonesia. Tak hanya oleh kafe hipster atau toko modern, tapi juga oleh warung makan, pedagang kaki lima, laundry rumahan, hingga tukang gorengan.

QRIS Masuk Warung Jadi Harapan Baru UMKM
Warga melakukan transaksi QRIS di salah satu kedai kopi di Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (21/7/2025). ANTARA FOTO/Andry Denisah/YU
Table of Contents

Di sudut jalan Dempo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sebuah warteg kecil tampak seperti warung biasanya. Meja kayu, kursi plastik, kaleng kerupuk yang menempel di sisi meja serta kecap dan saos sambal di tengah menjadi teman para pelanggan.

Nampak orang-orang mengelilingi meja itu sambil makan. Sementara seorang ibu paruh baya sibuk menyiapkan pesanan melayani pelanggan lainnya yang silih berganti. Maklum saja, jam menunjukkan waktu makan siang kala itu.

Sebuah papan berisikan kode barcode ditunjukkan ke pelanggan yang hendak membayar makan. Sesaat kemudian ada bunyi "Triingg".

"Sudah masuk ya," lanjut bu Satriana.

Siapa sangka, warung milik Ibu Satriana itu kini melayani pembayaran digital, bahkan untuk pembelian sebesar Rp2.000. Teknologi itu bernama QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang kini digunakan sebagai alat pembayaran digital di Indonesia.

Tak hanya oleh kafe hipster atau toko modern, tapi juga oleh warung makan, pedagang kaki lima, laundry rumahan, hingga tukang gorengan.

"Tadinya mikir, enak nggak sih pakai QRIS? Tapi ternyata makin banyak yang nanya, 'Bu, bisa QRIS nggak?' Ya udah, akhirnya saya pakai juga," ujar Ibu Satriana kepada SUAR di Jakarta Kamis (3/7). 

Ibu Satriana mulai menggunakan QRIS pada awal 2025, setelah seorang petugas dari Bank Mandiri datang menawarkan pembuatan QRIS gratis. Hanya bermodal KTP dan rekening aktif, Ibu Satriana kini melayani pelanggan yang lebih nyaman membayar dengan dompet digital.

Cerita Ibu Satriana bukan satu-satunya. Dalam dua tahun terakhir, pembayaran digital makin merambah ke sektor usaha mikro. Salah satu alasan meningkatnya adopsi adalah permintaan konsumen.

"Kalau nggak bisa QRIS, pembeli jadi batal makan. Sekarang Rp2.000, Rp3.000 pun udah bisa pakai QRIS," ujarnya sambil tertawa kecil.

Teknologi ini, menurutnya, mempermudah aktivitas dagang, apalagi saat pembeli sedang ramai. Ia juga merasa lebih aman karena bisa langsung mengetahui jika pembayaran berhasil melalui notifikasi suara dari HP-nya.

"Saya pakai yang biasa, tapi HP saya connect ke bluetooth. Jadi kalau ada yang bayar, keluar bunyi gitu. Kalau belum ada bunyi, ya saya bilang, 'Bu/Pak, belum masuk nih.' Jadi bisa lebih aman lah, enggak ketipu," jelasnya.

Ibu Satriana, pemilik warteg bersama suaminya di Jalan Dempo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (Photo: Dian Amalia / SUAR)

Menurut data Bank Indonesia yang dilansir Antara, hingga triwulan I 2025, jumlah pengguna QRIS telah mencapai 56,3 juta dengan volume transaksi mencapai 2,6 miliar. Dari total pengguna tersebut, sebanyak 38,1 juta adalah pelaku UMKM. Ini menunjukkan mayoritas pengguna QRIS adalah sektor usaha mikro dan kecil.

Deputi Direktur Departemen Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau BI, Sri Noerhidajati, menegaskan bahwa digitalisasi seperti QRIS terbukti meningkatkan efisiensi dan membuka peluang pertumbuhan bagi UMKM.

“Hingga triwulan I 2025 pengguna QRIS alhamdulillah sudah mencapai 56,3 juta dengan volume mencapai 2,6 miliar transaksi dan merchant QRIS ini sebagian besar adalah UMKM sebanyak 38,1 juta,” kata Sri Noerhidajati di Jakarta dikutip Antaranews.

Sementara itu, melansir Kumparan, akhir 2024 lalu Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta menyebut sektor makanan dan minuman merupakan pengguna QRIS terbanyak, mencerminkan tingginya penetrasi teknologi di lini usaha yang paling dekat dengan masyarakat.

“Nah volumenya ini yang luar biasa, sehingga Pak Gubernur nantangin gitu, ya masa segitu targetnya. Kalau volume targetnya disini kan 2,5 miliar transaksi ya, jadi di November ini transaksinya sudah mencapai 5,46 miliar, jadi sudah mencapai 218 persen,” terang Filianingsih akhir Desember tahun lalu seperti dikutip Kumparan.

QRIS suara

Di balik kemudahan itu, ada perkembangan teknologi yang semakin menarik: QRIS berbasis audio. Sistem ini memungkinkan pedagang mengetahui keberhasilan transaksi tanpa harus membaca layar, sangat berguna untuk lansia, mereka yang memiliki disabilitas visual, atau pelaku usaha dengan literasi digital terbatas.

Teknologi ini memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) dalam berbagai bentuk: dari sistem notifikasi cerdas, integrasi dengan sistem pembukuan, hingga analisis pola transaksi. AI mulai dihadirkan bukan hanya sebagai alat canggih, tetapi sebagai jembatan inklusi.

Namun, sejauh mana AI benar-benar membantu pelaku usaha kecil? Menurut Nailul Huda, pakar ekonomi digital dari CELIOS, pendekatannya harus berbasis keadilan akses.

"Teknologi seperti QRIS suara adalah contoh bagaimana AI bisa membuat transaksi lebih inklusif, bukan hanya canggih. Tapi tantangannya adalah keterjangkauan dan sosialisasi ke UMKM di lapisan paling bawah, serta potensi fraud" kata Huda, pada Jumat (4/7).

Memang, fraud menjadi salah satu masalah besar dalam implementasi QRIS. Penipuan kerap terjadi ketika pembeli berpura-pura telah membayar, padahal uang belum masuk ke rekening pedagang. Hal ini sering menimpa UMKM yang menggunakan QRIS statis berupa stiker cetak, bukan mesin EDC yang memiliki sistem verifikasi otomatis.

“Karena tidak ada notifikasi, banyak pedagang meminta foto bukti transfer QRIS, padahal itu bisa dimanipulasi. Bagi penyandang tunanetra, QRIS statis juga tidak inklusif karena tidak tahu apakah transaksi berhasil,” lanjut Huda.

Di sinilah QRIS Voice hadir sebagai solusi. Sistem ini memungkinkan transaksi terdengar secara langsung, baik oleh pembeli maupun penjual, sehingga mengurangi risiko penipuan dan membantu pengguna dengan disabilitas. Meskipun celah fraud tetap bisa dicari oleh oknum, teknologi ini menjadi langkah awal menuju sistem pembayaran yang lebih adil dan aman.

“Oleh karena itu, dorongan untuk mengadopsi QRIS Voice secara lebih luas, terutama di pasar-pasar daerah, menjadi penting. Apalagi alatnya kini sudah tersedia secara massal di dalam negeri, membuka peluang program pemerintah untuk memperluas distribusi dan edukasinya (QRIS Voice–read) ke UMKM,” terangnya. 

Masih mengandalkan kebetulan

Apa yang dialami Ibu Satriana mencerminkan kenyataan yang lebih besar: banyak pelaku UMKM baru "terpapar" teknologi karena faktor kebetulan. Dalam kasusnya, ia mulai pakai QRIS karena ada petugas bank yang datang langsung ke lokasi. Tanpa itu, kemungkinan besar ia tidak akan mengurus sendiri. 

“Kalau nggak ada yang datang, saya juga nggak bikin. Kan bingung juga gimana caranya. Tapi pas ada yang datang nawarin, permintaan dari pelanggan juga banyak, ya udah sekalian,” katanya.

Artinya, digitalisasi UMKM belum sepenuhnya berbasis ketersediaan akses, tapi masih tergantung inisiatif individu atau keberuntungan dijangkau pihak luar. Di sisi lain, literasi digital masih jadi tantangan. Banyak pelaku usaha tidak tahu manfaat jangka panjang dari teknologi digital, selain sebagai alat pembayaran praktis.

Sejumlah warung kecil di sekitar pasar Mayestik Kebayoran Baru Jakarta Selatan telah menggunakan QRIS sebagai alat pembayaran digital (Photo by: Dian Amalia/ SUAR)

Indonesia memang telah mengadopsi strategi nasional untuk memperluas inklusi keuangan dan digital, salah satunya lewat perluasan QRIS. Namun, regulasi saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah pendampingan yang terstruktur, sosialisasi yang berkelanjutan, dan penyediaan infrastruktur yang merata.

"Sebenarnya sih perlu ya. Yang penting itu jangan dipersulit. Yang gampang aja gitu, yang bisa dijangkau orang-orang kecil kayak kami," kata Ibu Satriana.

Ia berharap pemerintah lebih sering turun langsung ke lapangan untuk mengenalkan teknologi, bukan sekadar membuat program dari balik meja.

Dalam konteks ini, AI dan teknologi digital bukan hanya soal percepatan inovasi, tapi juga soal arah: apakah mereka memperluas ketimpangan, atau justru merapatkan jarak? Jika dikelola dengan benar, teknologi seperti QRIS suara bisa menjadi contoh kecil dari keadilan teknologi yang sesungguhnya.

Back to basic: siapa yang dijangkau

Hari itu, pelanggan datang dan pergi di warung Ibu Satriana. Beberapa membayar tunai, sebagian besar sudah pakai QRIS. Tak ada mesin besar, tak ada layar sentuh canggih. Hanya satu kertas kode QR di sisi meja dan HP kecil yang siap berbunyi.

"Kalau ada bunyi, berarti udah masuk. Kalau nggak, ya saya cek dulu. Tapi alhamdulillah, lancar," ujarnya sambil mengelap piring makan pelanggan yang sudah dicuci. Teknologi mungkin terasa jauh, tapi bagi Ibu Satriana, selama itu mempermudah dan bisa dijangkau, kenapa tidak?

QRIS, bagi sebagian orang, adalah simbol modernisasi. Tapi bagi UMKM seperti Ibu Satriana, ini adalah jembatan sederhana menuju rasa aman dan kelancaran dalam berdagang. Syaratnya satu: jangan biarkan mereka jalan sendiri. Karena teknologi, sekecil apapun, hanya akan berguna jika ia benar-benar sampai ke tangan yang membutuhkan.