Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik dan Indonesia Melambat Tipis

Riset ADB terbaru memperkirakan perekonomian negara Asia Pasifik termasuk Indonesia pada 2025 akan alami perlambatan.

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik dan Indonesia Melambat Tipis
Foto oleh Road Ahead / Unsplash
Table of Contents

Riset Asian Development Bank (ADB) terbaru yang dirilis September 2025 tentang outlook perekonomian menyebutkan, pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Pasifik di 2025 melambat menjadi 4,8% dari prediksi sebelumnya pada April yang sebesar 4,9%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 juga diramalkan melambat menjadi 4,9% setelah sebelumnya pada April diprediksi 5,0%.

Meski demikian, implementasi kebijakan fiskal dan moneter yang adaptif, tepat, dan selaras akan memastikan kinerja perekonomian terus berjalan, bahkan melampaui perkiraan proyeksi tersebut.

Dari Manila, Filipina, ADB mengeluarkan pernyataan tersebut dalam keterangan tertulis hari Selasa (30/9/2025). Berbicara atas nama lembaganya, Kepala Ekonom ADB Albert Park melansir sejumlah penyebab revisi tersebut dilakukan.

"Tarif Amerika Serikat berada pada tingkat yang tinggi secara historis dan ketidakpastian perdagangan global masih sangat tinggi. Pertumbuhan di kawasan berkembang Asia dan Pasifik masih tangguh berkat kuatnya ekspor dan permintaan domestik, tetapi memburuknya lingkungan eksternal telah berdampak terhadap proyeksi ke depan," jelas Park.

Secara spesifik, ADB memperkirakan perekonomian di kawasan Asia Tenggara akan mengalami penurunan terbesar 0,4 poin persentase menjadi 4,3% untuk tahun ini dan tahun 2026. Ketidakpastian kebijakan dagang AS berkaitan dengan tarif sektoral terhadap semikonduktor dan produk farmasi dan volatilitas pasar keuangan menjadi dua sebab utama menurunnya pertumbuhan tersebut.

Sedikit berbeda dengan proyeksi ADB, proyeksi OECD yang terbit sepekan sebelumnya memproyeksikan kinerja perekonomian kawasan Asia Pasifik akan lebih baik di tahun ini dan tahun depan. Secara khusus, menurut OECD, Indonesia mengalami pertumbuhan 4,9% di tahun 2025 dan 4,9% di tahun 2026.

"Pertumbuhan ekonomi di pasar negara berkembang anggota G-20 akan lebih ringan di tahun yang akan datang. Di Indonesia, kebijakan moneter yang lebih longgar dan investasi di sektor publik yang lebih kuat akan menjadi penopang utama untuk pertumbuhan tahunan mencapai 4,9% di tahun 2025 dan 2026," catat laporan tersebut.

Meski di bawah 5%, ADB menilai proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia terhitung moderat untuk kawasan Asia Tenggara, menempati tempat ketiga sesudah Vietnam dengan proyeksi 6,7% untuk tahun ini dan 6,0% di tahun 2026; dan Filipina dengan proyeksi 5,6% untuk tahun ini dan 5,7% di tahun 2026.

Menurut ADB, muasal pertumbuhan Vietnam berada di urut pertama memiliki tiga sebab. Pertama, kinerja perdagangan yang kuat menyusul kebangkitan kembali sektor manufaktur berorientasi ekspor. Kedua, stimulus fiskal yang berkelanjutan sebagai pendorong utama pertumbuhan. Ketiga, percepatan investasi diikuti kebijakan fiskal serta moneter yang akomodatif untuk merangsang permintaan domestik dan mendukung prospek ekonomi ke depan.

Pertahankan konsumsi domestik

Proyeksi perlambatan yang diperkirakan ADB sebagai efek terusan dari kebijakan tarif resiprokal AS memiliki sejumlah dampak terhadap kinerja perekonomian di Indonesia. Walau demikian, pertumbuhan tidak semestinya menjadi kekhawatiran apabila Indonesia dapat mengambil kebijakan tambahan selain stimulus likuiditas perbankan dan penurunan suku bunga acuan yang telah ditempuh sebelumnya.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, meski pertumbuhan diproyeksi relatif stabil di kisaran 5,0% pada 2025–2026, dampak perlambatan regional dapat menekan ekspor dan arus modal. Respons pemangkasan suku bunga BI, pelonggaran likuiditas, dan penempatan kas negara di bank umum sebesar Rp200 triliun untuk mendorong kredit pun sudah tepat.

Namun, agar pertumbuhan di kuartal keempat 2025 dan kuartal pertama 2026 tidak terlalu terdampak, ada kebijakan tambahan yang perlu dipertimbangkan, terutama mengingat terbukanya peluang stimulus lanjutan di saat realisasi sementara APBN 2025 mencatat defisit rendah, yakni 1,35% PDB.

"Ke depan, perlu penguatan program dengan multiplier tinggi, seperti percepatan belanja infrastruktur konektivitas, air, dan energi yang masih di bawah target pagu. Percepatan MBG yang baru menyerap 18,3% dari pagu Rp71 triliun, subsidi transportasi publik, dan perluasan jaring pengaman sosial akan menjaga daya beli dan menahan dampak perlambatan terhadap konsumsi domestik," ujar Josua saat dihubungi SUAR, Kamis (2/10/2025).

Lebih lanjut, menurut Josua, dengan inflasi sebesar 2,65% YoY dan stabil di bawah target, ruang penurunan BI Rate lebih lanjut masih terbuka, terutama jika The Fed kembali menurunkan suku bunga menjelang akhir 2025. Insentif moneter jadi dapat diarahkan lebih tersegmentasi, seperti pelonggaran rasio penyangga modal untuk kredit UMKM, pembiayaan hijau, dan sektor padat karya.

"Penguatan pasar keuangan domestik juga penting, termasuk memperdalam instrumen pendalaman pasar uang antarbank (PUAB), meningkatkan daya tarik SBN ritel agar likuiditas tidak terlalu bergantung pada arus asing, dan target pertumbuhan investasi hingga 7%–8% dengan dukungan Danantara dan sinergi swasta," jelasnya.

Percepatan reformasi struktural menjadi aspek lain yang juga jangan sampai dilupakan. Deregulasi perizinan lewat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang berlaku efektif pada 5 Oktober 2025 dan percepatan Rencana Detail Tata Ruang berbasis digital perlu diprioritaskan guna menarik investor di sektor hilirisasi, energi terbarukan, dan ekonomi digital, yang lebih tahan terhadap guncangan eksternal.

Josua merekomendasikan tiga kebijakan yang perlu ditempuh untuk menghadapi perlambatan. Pertama, mempercepat realisasi belanja fiskal yang berorientasi konsumsi dan infrastruktur. Kedua, melanjutkan pelonggaran moneter dengan insentif sektoral. Ketiga, mempercepat reformasi struktural untuk menjaga arus investasi.

"Dengan kombinasi itu, konsumsi rumah tangga dan investasi domestik tetap bisa menopang pertumbuhan di tengah ketidakpastian global," pungkasnya.

Langkah-langkah pemerintah

Dihubungi sebelumnya untuk menanggapi proyeksi perlambatan serupa yang juga dilaporkan oleh World Economic Forum, Juru Bicara Kementerian Koordinator Perekonomian Haryo Limanseto menyatakan, pemerintah telah mempersiapkan sejumlah langkah preventif menghadapi kemungkinan perlambatan ekonomi, salah satunya dengan menjadikan APBN sebagai peredam kejut.

"Melalui percepatan realisasi belanja dan penyaluran program perlindungan sosial untuk kelompok rentan, pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi "8+4+5" serta stimulus ekonomi semester 2 untuk peningkatan daya saing dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja baru," tulis Haryo dalam keterangan tertulis yang diterima SUAR, Selasa (30/9/2025).

Menanggapi percepatan deregulasi khususnya untuk kemudahan berusaha yang telah dijelaskan Josua, amanat PP 28 Tahun 2025 akan menyegerakan integrasi seluruh sistem administratif perusahaan ke dalam online single submission yang akan mempercepat proses yang sebelumnya sangat birokratis. Tidak ketinggalan, strategi hilirisasi untuk penciptaan produk bernilai tambah lebih tinggi didorong melalui kerja sama erat dengan dunia usaha.

"Pemerintah mendorong diversifikasi pasar ekspor dan pemanfaatan FTA melalui implementasi berbagai kerja sama yang sudah disepakati Indonesia dalam konteks bilateral, regional maupun multilateral seperti RCEP, ICA-CEPA, dan IEU CEPA. Para pelaku usaha diharapkan segera menyiapkan langkah untuk memanfaatkan skema tersebut," pungkas Haryo.

Author

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Macroeconomics, Energy, Environment, Finance, Labor and International Reporters