Potensi Besar Pekerja Migran, Bukan Sekadar Cara Mengentas Pengangguran

The role of PMI has the potential to be greater than what is now widely perceived as an effort to alleviate unemployment. PMI can be directed to become an agent of Indonesia's economic development with the potential to attract investment and technology transfer.

Potensi Besar Pekerja Migran, Bukan Sekadar Cara  Mengentas Pengangguran
Acara Roundtable Decision yang diselenggarakan oleh Suar.id dengan tema Kekuatan Ekonomi Pekerja Migran Indonesia, Jakarta, Kamis (18/9/2025). Foto: Ahmad Afandi/Suar.id.
Table of Contents

Peran pekerja migran Indonesia (PMI) berpotensi lebih besar daripada upaya pengentasan pengangguran. PMI bisa diarahkan menjadi agen pembangunan ekonomi Indonesia lantaran berpotensi menarik investasi dan alih teknologi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan terus meningkatkan keterampilan dan perbaikan tata kelola ekosistemnya.

Semangat inilah yang jadi benang merah dalam acara Roundtable Decision: Kekuatan Ekonomi Pekerja Migran Indonesia yang diselenggarakan oleh Suar.id, Kamis (18/9/2025) di Jakarta.

Hadir sebagai pembicara Menteri Koordinator bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar, Anggota DPR & Chairman Panasonic Gobel Rachmat Gobel, Direktur Jenderal Promosi dan Pemanfaatan Peluang Kerja Luar Negeri Kementerian Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Dwi Setiawan Susanto, dan Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Judha Nugraha. 

Selain itu, juga hadir sebagai pembicara Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam dan Staff of Legal Aid Division Migrant Care Yusuf Ardabil. Acara ini dimoderatori oleh Pemimpin Redaksi Suar.id Sutta Dharmasaputra.

Rachmat Gobel mengatakan, isu PMI tidak bisa dipandang hanya sebatas menjawab persoalan penyerapan tenaga kerja.

“PMI juga harus dilihat sebagai agen pembangunan, sehingga ketika mereka kembali, mereka bisa ikut memutar roda perekonomian,” ujarnya. 

Hal itu dapat dimulai dengan membuka akses beasiswa, misalnya melalui skema seperti LPDP, untuk membantu pekerja memperoleh sertifikat Specified Skilled Work (SSW).

Selain itu, Rachmat menilai perlu adanya LPK khusus yang berfokus pada persiapan PMI. Dengan cara ini, pelajar SMK maupun mahasiswa yang bercita-cita bekerja di luar negeri tidak hanya memiliki akses pembiayaan, tetapi juga mengetahui adanya lembaga pelatihan yang sesuai.

Anggota DPR & Chairman Panasonic Gobel Rachmat Gobel. Foto: Ahmad Afandi/Suar.id

Di sisi lain, Rachmat menyoroti peluang dari perusahaan Jepang di Indonesia yang sudah memiliki training center. Menurutnya, pemerintah dapat memanfaatkan fasilitas ini karena banyak karyawan Indonesia di sana yang berstatus kontrak.

Perusahaan-perusahaan tersebut bisa ditawarkan untuk mengirimkan karyawan ke luar negeri dengan dukungan insentif dari pemerintah. Dengan begitu, tenaga kerja yang diberangkatkan sudah terlatih dan siap bekerja.

Peningkatan kapasitas

Dwi Setiawan Sutanto menyatakan, jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia di luar negeri relatif tinggi. Mengacu pada data SISKOP2MI, pada 2024, tercatat ada 297.000 lapangan pekerjaan. Menurutnya, hal ini menunjukkan besarnya potensi pasar tenaga kerja di luar negeri. 

Ia memberi contoh keberangkatan ke Jepang. Dalam 5 tahun terakhir saja, ada 850.000 lapangan kerja yang tersedia.

"Tantangannya adalah bagaimana kita dapat mengambil peluang itu, melakukan link and match antara calon pekerja migran dengan kebutuhan pekerjaan di negara penempatan,” ujarnya.

Menurut Dwi, pekerja migran Indonesia (PMI) sudah dikenal memiliki keunggulan di berbagai sektor pekerjaan, seperti sektor kesehatan dan domestik. “PMI dinilai bekerja dengan tekun dan memiliki empati, sehingga lebih disenangi,” ujarnya.

Direktur Jenderal Promosi dan Pemanfaatan Peluang Kerja Luar Negeri Kementerian Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Dwi Setiawan Susanto. Foto: Ahmad Afandi/Suar.id.

Hal ini, bagi Dwi, harus dipertahankan untuk menjaga branding pekerja asal Indonesia. 

Meskipun demikian, jika ingin memperbanyak jumlah PMI, Dwi mengatakan perlu adanya peningkatan kapasitas kepada calon PMI. Sebab, di beberapa negara seperti Taiwan, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan Jerman, mayoritas kebutuhan tenaga kerja adalah pekerja dengan kualifikasi skilled worker.

“Sejauh ini, pekerja kita di luar negeri didominasi unskilled worker. Kita perlu melatih mereka agar skill-nya meningkat sehingga jadi lebih mudah terserap. Ini juga upaya untuk rebranding, sehingga PMI tidak hanya dikenal punya empati, tapi juga pekerja yang memiliki skill,” ujarnya. 

Dwi kembali menggunakan Jepang sebagai contoh. Jepang saat ini sedang mengalami aging population. Kondisi ini membuat Jepang kekurangan stok tenaga kerja muda untuk mengisi banyak sektor pekerjaan dengan kualifikasi skilled worker. Indonesia yang saat ini sedang dalam fase bonus demografi mempunyai potensi besar untuk mengisi peluang itu. 

“Selain skill, masalahnya sekarang ada di database. Itu yang sedang kita siapkan agar semuanya terintegrasi. Dengan begitu, kita lebih mudah melakukan market intelligence dan memetakan kebutuhan pekerja negara tujuan, kemudian mencocokkannya dengan supply yang kita punya,” ujarnya.

Beberapa penonton nampak serius mendengarkan Roundtable SUAR di Jakarta, 18 September 2025 (Ahmad Afandi/ SUAR)

Muhaimin mengafirmasi paparan Dwi. Menurutnya, peningkatan skill calon PMI dapat dilakukan dengan intervensi yang sistemik. Hal itu dapat dimulai dengan memasukkan kualifikasi yang dibutuhkan PMI pada kurikulum pembelajaran di SMK, Lembaga Pelatihan Kerja (LPK), dan Perguruan Tinggi.

Misalnya, lanjut Muhaimin, untuk kemampuan berbahasa, belum semua SMK mewajibkan kemampuan berbahasa asing. Dalam hal ini kita tertinggal dari Filipina yang mewajibkan siswanya jago berbahasa Inggris.

"Pekerjaan ini harus segera diselesaikan agar setelah pasar diketahui, kurikulumnya bisa benar-benar selaras dengan kebutuhan,” ujar Muhaimin.

Muhaimin menambahkan, upaya lain yang tidak kalah penting adalah memetakan aspirasi pelajar SMK dan perguruan tinggi yang berkeinginan bekerja di luar negeri. Dengan cara ini, persiapan dapat dilakukan sejak dini sekaligus mengidentifikasi kebutuhan di negara tujuan yang sesuai dengan keterampilan calon PMI. 

Menteri Koordinator bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar. Foto: Ahmad Afandi/Suar.id

Biaya dan jalur ilegal

Meskipun peluang PMI di pasar luar negeri terbilang besar, ada permasalahan laten yang kerap luput mendapat perhatian. Bob Azam menyoroti aspek pembiayaan dalam mempersiapkan pekerja migran.

“Saya punya pengalaman di Surabaya. Ada tempat pelatihan welder dengan tujuan Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Bekerja di galangan kapal. Pasti diterima. Masalahnya, biaya pelatihan selama 3 bulan itu perlu biaya Rp 60 juta, siapa yang mau membiayai?” tegas Bob.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam. Foto: Ahmad Afandi/Suar.id

Masalah ini, menurut Bob, membuat calon PMI kesulitan mengakses pelatihan. Selain itu, hal ini juga berimplikasi pada kondisi kerja PMI. Di Jepang, Bob menemukan PMI yang berangkat dengan menggunakan biaya sendiri. Akibatnya, PMI itu ditagih banyak biaya, tidak terlindungi, dan akhirnya memilih kabur dari pekerjaan. Walhasil PMI tersebut menjadi pekerja ilegal.

Temuan lain dipaparkan oleh Yusuf dari Divisi Advokasi Migrant Care. Menurut Yusuf, banyak calon PMI yang berangkat ke luar negeri tidak sebagai pekerja, melainkan sebagai pemagang. Masih dari Jepang, Yusuf menyatakan jumlah PMI yang berstatus magang jumlahnya lebih tinggi dibanding pekerja. Dengan status itu, banyak PMI mendapatkan gaji di bawah standar.

Di samping itu, Yusuf menuturkan belum tertibnya mekanisme pemberangkatan PMI. Masih banyak calon PMI dengan sertifikat Specified Skilled Worker (SSW) diberangkatkan ke Jepang melalui LPK. “Padahal, secara aturan, LPK hanya boleh memberikan pelatihan, bukan memberangkatkan. Dampaknya ketika PMI itu sudah mulai bekerja, dia jadi rentan dan terlantar,” ujar Yusuf.

Sesi tanya jawab Roundtable SUAR di Jakarta, Kamis (19/9).

Masalah kian runyam ketika temuan seperti ini diadukan kepada pemerintah. Dalam pengalaman Yusuf, pemerintah ia nilai juga belum memiliki mekanisme aduan yang jelas. 

“Kami sudah melapor ke Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), namun laporan itu tidak diterima dan justru dilempar ke Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Alasannya, KP2MI menyatakan bahwa urusan terkait LPK merupakan wewenang Kemnaker. Padahal sebelumnya kami sudah lebih dulu mendatangi Kemnaker, tetapi justru diarahkan kembali ke KP2MI. Ketika kembali ke KP2MI, kami dilempar lagi ke Kemnaker.” ujarnya. 

Penguatan tata kelola

Berbagai masalah yang melingkupi PMI, menurut Muhaimin, dapat diselesaikan dengan mulai menyempurnakan sistem tata kelola yang sudah ada saat ini. Buat Muhaimin, sistem harus terus diperbaharui agar relevan dengan dinamika saat ini. “Kendala pasti selalu ada, tapi yang penting adalah konsentrasi pada langkah-langkah baru yang bisa berdampak cepat bagi PMI, Kita akan pastikan semuanya terintegrasi,” ujarnya.

Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha (kiri) dan Anggota DPR & Chairman Panasonic Gobel Rachmat Gobel. Foto: Ahmad Afandi/Suar.id

Senada dengan Muhaimin, Direktur Pelindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengungkapkan, penyempurnaan tata kelola merupakan kunci utama untuk menyelesaikan problem PMI. Ia menekankan pentingnya proses migrasi yang seharusnya mudah, murah, cepat, dan aman. 

“Jalur legal masih terbatas sehingga banyak yang pilih jalur ilegal yang sebetulnya lebih mahal. Ketika itu terjadi, banyak yang tersandung kasus. Maka, perlu adanya layanan terpadu agar semuanya dapat dipantau dengan baik,” ujar Judha.