Walau masih menyisakan dua bulan jelang berakhirnya 2025, sejumlah lembaga sudah mengeluarkan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun depan. Adapun pertumbuhan ekonomi tahun 2026 diperkirakan berkisar antara 4,9%-5%.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 berada di kisaran 4,9–5,0%.
Dalam laporan bertajuk Indonesia Economic Outlook 2026, LPEM menilai laju pertumbuhan belum mencerminkan perbaikan struktural yang signifikan. Pertumbuhan yang tampak stabil justru digambarkan sebagai pertumbuhan dengan kualitas yang belum optimal.
LPEM mencatat pada 2025, pemerintah baru meluncurkan sejumlah program populis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih yang membawa dampak besar terhadap anggaran negara. Program itu meningkatkan beban belanja dan memaksa pemerintah melakukan pemotongan pada berbagai pos anggaran, termasuk transfer ke daerah. LPEM menilai kombinasi antara kenaikan pembayaran bunga utang, penerimaan yang stagnan, dan ekspansi belanja besar berpotensi mengganggu keberlanjutan fiskal.
Dalam laporan itu, LPEM mencatat konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97% secara tahunan pada kuartal II 2025, sedikit lebih tinggi dibanding 4,95% pada kuartal sebelumnya. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh faktor musiman seperti libur panjang, perayaan Idulfitri, dan pemberian tunjangan hari raya, bukan karena kenaikan daya beli yang berkelanjutan.
“Pertumbuhan PDB pada kuartal II 2025 menunjukkan sejumlah ketidaksesuaian dan anomali ketika dibandingkan dengan indikator ekonomi makro dan mikro yang lebih luas,” tulis laporan itu.
LPEM juga mencatat penurunan Indeks Keyakinan Konsumen serta turunnya penerimaan pajak, dengan PPN berkurang 19,69% dan PPh turun 11,35% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Di sisi moneter, LPEM menyoroti langkah Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin sejak awal 2025 menjadi 4,75% pada Oktober, meskipun nilai tukar rupiah melemah hingga Rp16.660 per USD. Bank Indonesia juga membeli surat utang pemerintah di pasar sekunder senilai Rp217,1 triliun hingga pertengahan September 2025. Kebijakan pelonggaran itu dilakukan di tengah arus keluar modal asing (capital outflow) sebesar USD0,79 miliar dan penurunan cadangan devisa menjadi USD148,7 miliar.
Dalam laporannya, LPEM menyoroti risiko terhadap independensi Bank Indonesia seiring kaburnya batas fiskal dan moneter. Penempatan dana pemerintah sekitar Rp200 triliun di bank-bank milik negara, penurunan suku bunga, serta pengaktifan kembali skema burden-sharing dinilai memperbesar potensi dominasi fiskal terhadap kebijakan moneter.
“Perkembangan terkini, termasuk penurunan suku bunga yang mengejutkan dan pengaktifan kembali skema burden-sharing untuk mendanai program Presiden, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan analis mengenai potensi terkikisnya independensi Bank Indonesia dan meningkatnya pengaruh politik terhadap kebijakan moneter,” tulis laporan itu.
Sebelumnya sejumlah lembaga internasional juga sudah merilis prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026. Menurut Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 sebesar 4,9%.
Adapun Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menilai proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,0%. Ini menempati tempat ketiga sesudah Vietnam dengan proyeksi 6,7% untuk tahun ini dan 6,0% di tahun 2026; dan Filipina dengan proyeksi 5,6% untuk tahun ini dan 5,7% di tahun 2026.
Read also:
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun 2025 berada sedikit di atas titik tengah kisaran 4,6–5,4% dan meningkat pada 2026.
Cukup berbeda, pandangan sangat optimistis dikemukakan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 bisa mencapai 6%. Menurutnya, kondisi perekonomian di semester dua 2025 akan jadi landasan perekonomian Indonesia bisa melesat di tahun depan.
Pondasi rapuh
Peneliti ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai proyeksi LPEM FEB UI menunjukkan ekonomi yang tetap tumbuh, tetapi dengan fondasi yang rapuh.
Struktur konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama PDB justru menghadapi tekanan karena penyusutan kelas menengah dan berkurangnya stimulus yang diarahkan kepada mereka. “Ketika kelompok menengah menahan belanja karena pendapatannya menurun dan tidak ada stimulus yang spesifik, pertumbuhan ekonomi juga melemah,” ujar Yusuf.
Menurutnya, tantangan lain datang dari komposisi investasi yang tidak merata. Sebagian besar investasi dalam beberapa tahun terakhir terkonsentrasi pada hilirisasi sektor pertambangan, sementara sektor padat karya yang memiliki efek pengganda besar justru belum terserap maksimal.
Kondisi ini membuat pertumbuhan investasi hanya kuat secara angka, tetapi terbatas dalam penciptaan lapangan kerja. Yusuf menyebut hal ini sebagai pekerjaan rumah yang perlu segera ditangani agar investasi tidak hanya menumpuk di proyek jangka panjang dan berorientasi ekspor.
Dari sisi fiskal, Yusuf menilai pemerintah menghadapi ruang belanja yang makin sempit karena berbagai program andalan pemerintah seperti MBG dan Koperasi Merah Putih membutuhkan anggaran besar.
Kebijakan realokasi dana untuk membiayai program itu dinilai menimbulkan risiko terhadap kesinambungan fiskal, termasuk pada kemampuan transfer ke daerah.
Pemotongan dana daerah membuat sejumlah pemerintah lokal kehilangan sumber pembiayaan dan terpaksa menaikkan pajak secara mendadak. “Lagipula program populis ini belum teruji dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Yusuf juga menyoroti kebijakan moneter yang cenderung longgar di tengah tekanan eksternal. Penurunan suku bunga acuan BI ke 4,75% saat rupiah melemah hingga Rp16.660 per dolar dinilai terlalu cepat dan justru memperbesar potensi arus keluar modal. Dia mengingatkan pembelian obligasi pemerintah senilai Rp217 triliun dan penempatan dana Rp200 triliun di bank-bank BUMN memperkuat persepsi otoritas moneter mulai terlibat dalam pembiayaan fiskal. “Kita belum sampai pada kondisi fiscal dominance, tetapi gejalanya ada,” kata Yusuf.
Dengan demikian, Yusuf menegaskan pentingnya menjaga komunikasi kebijakan moneter agar publik dan pelaku pasar tetap percaya pada independensi BI. Menurutnya, koordinasi fiskal dan moneter tetap diperlukan, namun harus dalam batas yang jelas. Yusuf mencontohkan sejumlah negara seperti Turki dan Argentina yang kehilangan kepercayaan pasar karena independensi otoritas moneter mereka terkikis oleh tekanan politik.
“Agar pertumbuhan terasa lebih inklusif, kuncinya ada pada kebijakan fiskal. Mencakup stimulus untuk masyarakat dan industri serta penciptaan lapangan pekerjaan. Itu yang akan memastikan belanja pemerintah dapat dirasakan oleh kelompok bawah dan menengah, tidak hanya atas. Kata kuncinya ada di desain kebijakan fiskal yang komprehensif,” katanya.
Dunia usaha butuh kepastian
Kalangan pengusaha menilai persoalan mendasar masih bertumpu pada efektivitas birokrasi dan kepastian regulasi. Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sanny Iskandar, mengatakan banyak investasi tertahan di tahap perizinan dasar akibat tumpang tindih kewenangan antar kementerian. Hambatan seperti ini, kata dia, membuat kebijakan pemerintah tidak otomatis diterjemahkan menjadi kegiatan ekonomi nyata di lapangan.
Sanny mencontohkan sejumlah proyek yang telah memperoleh izin lokasi dan memenuhi syarat administrasi justru terhambat karena perbedaan interpretasi antarinstansi mengenai tata ruang dan peruntukan lahan. “Konsep one map policy sampai sekarang belum berjalan penuh, sehingga satu kawasan bisa diklaim dua kementerian dengan fungsi berbeda,” ujarnya.
Sanny menekankan pentingnya reformasi struktural agar kebijakan pemerintah benar-benar berdampak pada investasi dan penciptaan lapangan kerja. Menurutnya, tanpa kepastian regulasi dan penyelesaian cepat di lapangan, berbagai program pembangunan akan sulit dirasakan pelaku usaha. “Dunia usaha membutuhkan kepastian dan penyelesaian cepat, bukan tumpukan regulasi baru,” katanya.