Indonesia's Credit Rating Stable, Momentum to Maintain Confidence Amid Global Uncertainty

International rating agency Rating and Investment Information, Inc. (R&I) maintained Indonesia's credit rating at BBB+ level with a stable outlook in its latest report, October 24, 2025.

Indonesia's Credit Rating Stable, Momentum to Maintain Confidence Amid Global Uncertainty
Karyawan menata uang di Mandiri KC Kendari Mesjid Agung, Sulawesi Tenggara, Jumat (31/10/2025). Foto: ANTARA FOTO/Andry Denisah/YU
Table of Contents

Di tengah ketidakpastian ekonomi global, ketika banyak negara berkembang tengah berjuang menahan pelemahan mata uang dan menjaga kredibilitas fiskal, Indonesia justru menerima kabar baik. Lembaga pemeringkat internasional Rating and Investment Information, Inc. (R&I) kembali mempertahankan peringkat kredit Indonesia di level BBB+ dengan outlook stabil dalam laporan terbarunya, 24 Oktober 2025.

Peringkat kredit BBB+ adalah peringkat tingkat investasi (investment grade) yang menunjukkan bahwa lembaga atau entitas yang diberi peringkat tersebut memiliki kualitas kredit yang baik dengan risiko gagal bayar (default) yang rendah.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Deni Surjantoro mengatakan, keputusan R&I ini menunjukkan bahwa dunia masih menaruh kepercayaan pada ketahanan ekonomi Indonesia.

“Afirmasi ini menjadi bukti kepercayaan dunia terhadap ekonomi kita, sekaligus pengakuan atas konsistensi kebijakan fiskal dan moneter yang tetap prudent,” tulis R&I dalam keterangan yang diterima, Jumat (31/10/2025).

Selain R&I, Indonesia juga mencatat peringkat dari lembaga pemeringkat kredit dunia lainnya. Mereka antara lain Fitch memberikan peringkat BBB dengan outlook kondisi stabil; Moody's memberikan peringkat Baa2 dengan outlook kondisi stabil; S&P memberi peringkat BBB dengan outlook kondisi stabil; dan Japan Credit Rating (JCR) Agency dengan peringkat BBB+ dengan outlook stabil.

Penilaian R&I didasarkan atas sejumlah indikator ekonomi makro Indonesia. Inflasi yang terkendali dalam target 2,5% ±1%, defisit fiskal yang tetap di bawah 3% dari PDB, dan rasio utang pemerintah di kisaran 40% PDB menjadi faktor kunci di balik kepercayaan itu. Begitu juga dengan cadangan devisa yang masih mampu menutup enam bulan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri. 

Kepala Ekonom Permata Bank, Joshua Pardede juga mengamini capaian ini. “Keputusan R&I menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih tangguh,” ujar Josua saat dihubungi Suar melalui keterangan tertulisnya, Minggu (2/10/2025).

Kinerja Solid di Tahun Transisi

Tahun 2024 bukan tahun yang mudah. Harga energi berfluktuasi, tensi geopolitik meningkat, dan pengetatan moneter di Amerika Serikat sempat mengguncang banyak pasar. Namun Indonesia berhasil menjaga stabilitas dengan pertumbuhan ekonomi yang solid, didukung oleh konsumsi domestik yang tetap kuat.

Bagi Deni, capaian itu menjadi bukti bahwa pondasi ekonomi Indonesia tidak hanya bergantung pada faktor eksternal, tetapi juga pada daya beli dan aktivitas ekonomi masyarakat yang tetap dinamis.

R&I memperkirakan, tren pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil akan tetap berada di jalur sehat dan berkelanjutan pada 2025. Inflasi berhasil dikendalikan di kisaran 2,5% ±1%, nilai tukar rupiah relatif stabil, dan cadangan devisa tetap cukup untuk menutupi enam bulan impor serta pembayaran utang luar negeri.

“Konsistensi menjaga defisit di bawah 3% dan rasio utang sekitar 40% dari PDB adalah bentuk komitmen pemerintah terhadap keberlanjutan fiskal jangka menengah,” lanjut Deni.

Menurut Josua dari Bank Permata, Bank Indonesia (BI) mengambil langkah hati-hati dengan memangkas suku bunga 150 basis poin sejak September 2024, lalu menahannya pada Oktober 2025 untuk menjaga keseimbangan antara mendorong pertumbuhan dan melindungi nilai tukar.  “Kombinasi pelonggaran terukur dan stabilitas kurs menjadi sinyal positif bagi investor,” ujarnya.

Kementerian Keuangan juga menekankan bahwa kebijakan fiskal tetap prudent dan kredibel. Defisit 2024 tercatat di 2,3%, sementara pada 2025 disesuaikan menjadi 2,78% dari PDB untuk menampung pembiayaan program prioritas tanpa keluar dari koridor fiskal yang aman. Tahun 2026 bahkan direncanakan sedikit menurun ke 2,68%, menunjukkan arah yang terukur dan berkelanjutan.

Rating Sebagai Jangkar Kepercayaan

Status investment grade yang dipertahankan Indonesia memiliki makna strategis. Menurut ekonom Josua Pardede, penilaian R&I menunjukkan bahwa fundamental makro Indonesia tetap tangguh: inflasi terkendali, utang rendah, cadangan devisa memadai, dan defisit fiskal maupun transaksi berjalan berada dalam batas aman. 

Namun, ia menambahkan bahwa alasan rating Indonesia “hanya” bertahan di BBB+ dengan outlook stabil, bukan positif, adalah karena lembaga pemeringkat masih menunggu bukti bahwa akselerasi belanja pemerintah, termasuk program sosial, bisa berjalan tanpa menggerus kesehatan fiskal jangka menengah.

“Status investment grade itu ibarat jangkar persepsi risiko,” jelas Josua. “Studi lintas negara menunjukkan, status ini menurunkan spread obligasi sekitar 36% di luar faktor fundamental makro. Artinya, rating bukan kosmetik, ia benar-benar memengaruhi seberapa besar biaya dana yang harus dibayar pemerintah dan korporasi.”

Dalam konteks pendanaan internasional, terutama berbasis yen, rating dari lembaga Jepang seperti R&I juga membuka akses ke basis investor domestik Jepang yang sangat selektif. “Ini membantu pemerintah dan swasta Indonesia mendapatkan pembiayaan dengan spread yang lebih kompetitif di pasar USD, EUR, maupun JPY,” kata Josua. 

Menurut Josua, saat sovereign rating stabil, biaya dana BUMN dan korporasi otomatis ikut terjaga. “Ini penting untuk mendiversifikasi sumber pembiayaan, terutama ketika pasar dolar AS tengah volatil,” tambahnya.

Tantangan Baru: Fiskal, Struktural, dan Global

Namun, di balik afirmasi positif itu, tantangan tidak kecil. Pertama, basis penerimaan pajak masih sempit dibandingkan potensi ekonomi. Transisi sistem perpajakan dan pengalihan sebagian dividen BUMN ke lembaga baru, Danantara, membuat penerimaan sempat tertahan.

Kedua, dunia usaha dan lembaga pemeringkat sama-sama menunggu kejelasan soal tata kelola Danantara, terutama agar lembaga ini tidak menimbulkan risiko kuasi-fiskal di luar APBN. 

Ketiga, tekanan eksternal tetap membayangi. Perlambatan ekonomi global, tensi dagang, serta perubahan suku bunga The Fed dapat memengaruhi nilai tukar dan arus modal. “Target pertumbuhan di atas 5% tahun ini realistis, tapi penuh tantangan,” ujar Josua. “Yang paling penting, pemerintah menjaga kredibilitas kebijakan agar pasar tetap percaya.”

Menjaga Narasi Kepercayaan

Dengan tetap mempertahankan peringkat BBB+ dan outlook stabil, Indonesia menegaskan posisinya sebagai salah satu negara emerging market paling tangguh di kawasan. Keberhasilan ini mencerminkan pengelolaan fiskal dan moneter yang hati-hati, serta reformasi struktural yang mulai menunjukkan hasil. 

Namun, menjaga kepercayaan global tidak berhenti pada stabilitas makro. Dunia usaha menilai bahwa kredibilitas ekonomi Indonesia juga ditentukan oleh kepastian hukum dan konsistensi regulasi di lapangan.

“Bagi pelaku usaha, yang dicari sebenarnya sederhana: konsistensi antara kebijakan dan praktik di lapangan,” ujar Sanny Iskandar, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

“Bisnis tumbuh dengan dasar perhitungan. Risiko bisa diprediksi, ketidakpastian tidak.”

Menurut Sanny, kepastian hukum menjadi fondasi penting bagi investasi dan ekspor. Tanpanya, iklim usaha sulit berkembang meski indikator makro terlihat baik. Banyak perusahaan masih dihadapkan pada proses perizinan yang panjang, regulasi yang tumpang tindih antara pusat dan daerah, serta implementasi aturan yang tidak seragam.

“Tanpa kepastian hukum, hitung-hitungan investasi menjadi mustahil, peluang ekspor terhambat, dan investasi enggan mengalir,” tambahnya.

Pandangan dunia usaha ini menjadi pengingat bahwa menjaga kepercayaan tidak cukup melalui stabilitas fiskal semata. Ketika kebijakan ekonomi mampu diterjemahkan dengan baik di tingkat operasional, maka narasi kepercayaan terhadap Indonesia akan berdiri di atas fondasi yang lebih kokoh, bukan hanya di mata lembaga pemeringkat, tetapi juga di mata pelaku ekonomi yang setiap hari berhadapan dengan realitas lapangan.