Tarif Trump 2.0 Berlaku 7 Agustus, Cek Tantangan dan Peluang Indonesia

Penetapan tarif perdagangan oleh Trump bisa jadi tantangan namun juga sekaligus peluang bagi pengusaha Indonesia.

Tarif Trump 2.0 Berlaku 7 Agustus, Cek Tantangan dan Peluang Indonesia
Truk trailer melintas untuk mengambil muatan petikemas di lapangan penumpukan peti kemas di PT Terminal Petikemas Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, Senin (7/7/2025). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/nym.

Dunia kini memasuki era baru perang tarif perdagangan usai Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan tarif impor baru untuk 68 negara yang akan mulai berlaku 7 Agustus 2025. Adapun ekspor Indonesia ke negara Paman Sam itu akan dikenakan tarif 19%. Bagaimana tantangan dan peluang Indonesia?

Keputusan penetapan tarif itu disampaikan Trump jelang tenggat pemberlakuan tarif yang sebelumnya diputuskan berlaku mulai 1 Agustus. Pada Kamis (31/7/2025) malam waktu setempat atau Jumat pagi WIB, Gedung Putih menyatakan, Trump telah menandatangani perintah eksekutif berisi perubahan tarif kepada 68 negara dan Uni Eropa sebesar 10%-41%.

Tarif akan berlaku pada 7 Agustus 2025. Negara yang tidak ada dalam daftar akan terkena tarif 10 persen. 

Ini adalah kali kedua Trump mengumandangkan perang tarif. Pertama kali, Trump mengutak-atik besaran tarif perdagangan saat pemerintahan pertamanya yakni periode 2017–2021. Maka tak heran, kondisi hari ini seringkali dilabeli Perang Tarif Trump 2.0.

Juru Bicara Kantor Komunikasi Presiden untuk Urusan Ekonomi Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, penetapan tarif ini jadi tantangan namun juga sekaligus peluang.

“Di setiap kesulitan ada kesempatan,” ujar Fithra.

Fithra menyebutkan, Trump 2.0 bukan hanya soal ancaman, tetapi juga soal peluang – jika kita jeli. Misalnya, rencana AS menurunkan tarif bungkil kedelai ke 0% dapat menurunkan harga pakan, membantu peternak ayam di Indonesia.

“Di setiap kebijakan ada celah. Kuncinya adalah pahami supply chain,” kata Fithra.

Contoh lain, jika AS memukul produk China dengan tarif tinggi, Indonesia punya peluang mengisi ceruk pasar, terutama produk yang tak langsung bersaing dengan AS. Namun, peluang ini tak bisa diambil setengah-setengah. Kita perlu tahu detail seperti produk apa yang kena tarif dan sejauh mana potensi substitusi produk tersebut.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memandang angka 19% untuk Indonesia sebenarnya awal yang cukup baik. “Very good beginning, tinggal bagaimana mendetilkannya. Ada beberapa negosiasi kecil yang berpotensi bikin produk tertentu dapat tarif 0 persen,” jelasnya.

Namun, kunci berikutnya justru ada di detail negosiasi. Yakni, dengan membaca produk mana yang bisa dinegosiasikan lebih lanjut, sektor mana yang paling sensitif, dan bagaimana tetap menjaga daya saing dibanding negara tetangga.

“Yang paling penting, rate kita kompetitif terhadap China, Vietnam, Thailand, Malaysia, India. Selama itu terjaga, kita bisa main-main saja,” kata Wijayanto.

Bagi dia, yang penting adalah tak panik, tapi juga tak pasif. Karena pada akhirnya, Trump hanya butuh narasi “Amerika menang” di depan pemilihnya, sementara detail teknis sering justru dinegosiasikan di belakang meja.

Sementara, Sekretaris Jenderal Asosiasi Ekonomi Internasional (IEA) Lili Yan Ing mengingatkan, Indonesia justru harus waspada. Tarif 19 persen yang sudah didapat bisa jadi tak kompetitif jika pesain ekspor justru sukses mendapat tarif lebih rendah.

“Jangan terlalu berpuas diri. Harusnya Indonesia dengan semua negara ASEAN berdiri sebagai regional blok, supaya punya daya tawar lebih tinggi,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa argumen Indonesia tak seharusnya berhenti di perdagangan barang (trade in goods) semata. Ada aspek penting lain seperti perdagangan jasa, investasi, hingga surplus yang selama ini dinikmati AS dari jasa dan penanaman modal di ASEAN.

“ASEAN sebenarnya sudah menyumbang ratusan triliun dollar AS kepada perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Ini harus diangkat dalam argumen kita,” tambah Lili.

Baginya, pengumuman Trump tak ubahnya manuver tekanan politik, dan Indonesia perlu merespons secara rasional, bukan emosional. Yang terpenting: mendesak adanya kejelasan hitam di atas putih, bukan hanya janji di podium.

Kinerja ekspor

Di tengah keputusan tarif Trump, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data terbaru kinerja ekspor Indonesia. Total ekspor Indonesia pada Januari–Juni 2025 mencapai 135,41 miliar dollar AS meningkat 11,29% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu atau year on year (YoY).

Kenaikan ekspor ini lebih banyak ditopang ekspor non migas yang bertumbuh 12,61% YoY. Adapun ekspor migas menurun 9,85% YoY.

Pertumbuhan ekspor non migas ditopang oleh pertumbuhan kinerja ekspor komoditas lemak dan minyak hewani/nabati (produk sawit) 22,05% YoY. Kenaikan komoditas ini jadi pengungkit kinerja ekspor non migas keseluruhan karena menjadi kontributor terbesar, dengan 12,37% dari ekspor non migas.

Adapun berdasarkan negara tujuannya, destinasi ekspor terbesar Indonesia adalah ke China dengan porsi hingga 22,83% dari total ekspor. Sedangkan AS di posisi kedua dengan porsi 11,52% dari total ekspor.

Sementara itu dari sisi impor, total impor Indonesia pada Januari–Juni 2025 mencapai 115,94 miliar dollar AS naik 5,25% YoY. Namun, karena kinerja ekspor masih lebih besar ketimbang impor, Indonesia masih mencatatkan surplus neraca perdagangan sebesar 19,48 miliar dollar AS.

“Ini melanjutkan tren surplus neraca perdagangan selama 62 bulan berturut-turut,” ujar Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso mengatakan, BI memandang surplus neraca perdagangan ini positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut.

“Ke depan, BI terus memperkuat sinergi kebijakan dengan Pemerintah dan otoritas lain guna meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan," ujarnya.

Kinerja positif ekspor nonmigas tersebut terutama didukung oleh ekspor berbasis sumber daya alam seperti lemak dan minyak hewani/nabati maupun ekspor produk manufaktur seperti berbagai produk kimia. Berdasarkan negara tujuan, ekspor nonmigas ke Tiongkok, Amerika Serikat, dan India tetap menjadi kontributor utama ekspor Indonesia.