Penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 Triliun di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) mulai tersalurkan. Tambahan dana ini berpotensi meningkatkan likuiditas perbankan secara signifikan sehingga memberikan ruang yang lebih besar bagi bank untuk menyalurkan kredit.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae menjelaskan, penempatan dana pemerintah berdampak pada ruang likuiditas perbankan yang kian lebar untuk menyalurkan kredit.
"Ini menandakan bahwa perbankan memiliki ruang likuiditas yang lebih besar untuk menyalurkan kredit ke depannya," ujar Dian dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) September 2025 secara virtual, Kamis (9/10/2025).
Kelima bank penerima penempatan dana pemerintah saat ini telah merealisasikannya tersebut secara bertahap sebagai kredit. Ia pun memastikan terus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program pemerintah ini agar perbankan tetap memperhatikan kelola dan manajemen risiko. Di sisi lain, kondisi likuiditas yang lebih longgar dapat berdampak pada penurunan biaya dana perbankan. Hal ini diharapkan akan mendorong penurunan pada suku bunga kredit.
OJK mencatat pada Agustus 2025 kredit perbankan mulai meningkat yakni, sebesar 7,56 persen secara tahunan (year on year/yoy) atau menjadi Rp8.075 triliun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 7,03 persen yoy.
Dian membeberkan kinerja intermediasi perbankan pada saat ini stabil dengan profil risiko yang terjaga dan aktivitas operasional perbankan tetap optimal untuk memberikan layanan keuangan bagi masyarakat. Di Agustus 2025 kredit tumbuh sebesar 7,56 persen yoy.
Berdasarkan jenis penggunaan, kredit investasi tumbuh paling tinggi 13,86 persen, diikuti dengan kredit konsumsi 7,89 persen, dan kredit modal kerja 3,53 persen.
Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Agustus 2025 juga tercatat tumbuh sebesar 8,51 persen yoy menjadi Rp9.385,8 triliun. Pertumbuhan DPK ini lebih tinggi dibandingkan Juli 2025 yang tumbuh sebesar 7 persen.
Sementara itu, likuiditas industri perbankan pada Agustus 2025 tetap memadai dengan rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masing-masing di level 120,25 dan 27,25 persen.
“Masih di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen. Adapun liquidity coverage ratio (LCR) berada di level 202,61 persen,” jelasnya.
Kualitas kredit juga tetap terjaga dengan rasio non performing loan (NPL) gross perbankan 2,28 persen dan NPL net 0,87 persen. Kemudian, untuk loan at risk (LAR) relatif stabil di level 9,73 persen.

Bank sudah menyalurkan kredit
Merespon gelontoran dana Rp 55 triliun yang diberikan pemerintah, Bank Mandiri mengklaim telah menggunakan dana itu untuk penyaluran kredit. Hingga akhir September 2025, Bank Mandiri telah menyalurkan sebesar Rp 34,5 triliun atau setara 63% dari total dana yang diberikan pemerintah.
Direktur Finance & Strategy Bank Mandiri Novita Widya Anggraini, menegaskan bahwa tambahan likuiditas ini menjadi katalis penting dalam memperluas fungsi intermediasi perseroan.
“Bank Mandiri optimis dapat menyerap penempatan dana ini secara optimal hingga 100% pada akhir tahun ini dengan prioritas pada sektor dan industri padat karya serta UMKM yang terbukti mampu menjadi penopang kehidupan ekonomi keluarga di berbagai wilayah Indonesia,” jelas Novita dalam keterangan resminya, Senin (6/10/2025).
Lebih lanjut Novita menambahkan, Bank Mandiri turut menyalurkan kredit ke sektor-sektor strategis lainnya, antara lain perkebunan dan ketahanan pangan, hilirisasi sumber daya alam dan energi terbarukan, layanan kesehatan, manufaktur, serta kawasan industri.
Fokus pembiayaan ini sejalan dengan agenda pemerintah dalam mendorong kemandirian ekonomi serta penguatan industri nasional berbasis nilai tambah domestik.
“Dengan tambahan penempatan dana Kementerian Keuangan sebesar Rp55 triliun, kapasitas pembiayaan Bank Mandiri semakin solid sehingga mampu mengakselerasi sektor-sektor prioritas. Hal ini sejalan dengan komitmen perseroan untuk memperluas inklusi keuangan sekaligus mempererat sinergi dengan program pemerintah,” ujarnya.
Senada dengan Bank Mandiri, BTN pun sudah punya rencana penyaluran kredit dari dana pemerintah itu.
Direktur Utama BTN Nixon L.P. Napitupulu, menyebutkan perseroan fokus menyalurkan dana penempatan pemerintah tersebut ke kredit pemilikan rumah (KPR).
“Kami optimis perseroan bisa menciptakan demand kredit, salah satunya dengan meluncurkan produk KPR berbunga rendah,” ujarnya pada siaran pers di Jakarta, akhir September lalu.
Untuk mendorong permintaan KPR, BTN menyiapkan bunga promo KPR 2,65% hingga 3 tahun. Dengan tambahan likuiditas dari pemerintah, Nixon berharap dapat menekan cost of fund (CoF). Ia menargetkan, biaya dana bisa turun di bawah 4% tahun ini.
Perbaikan permintaan kredit
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, di tengah permintaan kredit domestik yang masih lemah akibat melambatnya kondisi perekonomian dari sisi demand, injeksi likuiditas Rp 200 triliun berisiko tidak efektif jika tidak dibarengi dengan stimulus fiskal yang mampu mendorong permintaan agregat.
"Kebijakan ini memerlukan sinkronisasi dengan kebijakan fiskal lain yang tepat sasaran untuk mendorong demand, sehingga likuiditas yang disuntikkan dapat terserap optimal oleh sektor riil," ujarnya.
Lebih jauh, masyarakat masih menunggu bagaimana kebijakan fiskal memperbaiki masalah struktural mendasar seperti dominasi pekerja sektor informal, ketimpangan yang mengakar, dan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.
Langkah nyata dari pemerintah melalui kebijakan fiskal menjadi penting karena menjadi latar belakang terjadinya tuntutan demonstrasi beberapa pekan yang lalu.
Setidaknya ada tiga catatan penting terkait persoalan struktural ekonomi Indonesia yang justru perlu diperlukan di luar kebijakan injeksi likuiditas.
Pertama, tantangan mewujudkan target pertumbuhan 8% di tengah deindustrialisasi. Kedua, penciptaan lapangan kerja yang masih terbatas. Ketiga, lingkaran kemiskinan dan ketimpangan struktural yang belum terputus.