UMKM Actors Relieved that E-Commerce Tax is Postponed

A number of UMKM businesses were relieved after Minister of Finance Purbaya Yudhi Sadewa postponed the implementation of e-commerce tax.

UMKM Actors Relieved that E-Commerce Tax is Postponed
Sejumlah pengunjung melewati Pavilion Indonesia pada Pameran Halal Internasional Malaysia (MIHAS) 2025 edisi ke-21 di MITEC, Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (19/9/2025). (ANTARA FOTO/RAFIUDDIN ABDUL RAHMAN/YU)
Table of Contents

Sudah beberapa bulan ini Fikri, pemilik merek usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) merasa resah lantaran pemerintah menerapkan tarif pajak penghasilan final sebesar 0,5 persen atas omzet penjualan online dalam rangka memperluas pendapatan negara.

Pemilik merek busana muslim 'Zenitha' ini mengaku selama ini biaya yang harus ditanggung pelaku usaha sudah dalam setiap transaksi di e-commerce tidaklah sedikit.

"Kalau dihitung-hitung, modal dan biaya iklan bisa lebih besar daripada harga jual, ditambah lagi dengan biaya administrasi platform," kata dia kepada SUAR saat peluncuran acara Shopee Jagoan UMKM Naik Kelas pada Senin (29/09/2025).

Namun, kekhawatiran Fikri seketika hilang saat akhir pekan lalu Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menunda penerapan pajak e-commerce. Purbaya mengatakan menunda kebijakan ini karena ingin menjaga daya beli masyarakat di tengah pemulihan ekonomi nasional.

Fikri mengaku senang dengan adanya penundaan kebijakan ini. Menurut Fikri, tanpa adanya tambahan potongan pajak, pelaku usaha akan lebih leluasa merancang keseimbangan keuangan.

Penundaan ini, dalam penilaiannya, tidak hanya berdampak pada profit, melainkan juga pada kesejahteraan karyawan. Pemilik usaha bisa memberikan bonus dan menaikkan kesejahteraan pekerjanya. 

Fikri menekankan ketika karyawan lebih sejahtera, konsumsi masyarakat juga akan meningkat.

“Dengan itu, karyawan jadi bisa belanja, jadi uang yang muter lebih banyak,” ucapnya. 

Ia berpendapat perputaran uang di masyarakat menjadi lebih besar jika pelaku usaha diberi ruang tanpa tambahan pungutan. Menurutnya, pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru mencari penerimaan dari sektor wirausaha kecil.

Saat ditanya apakah lebih baik penarikan pajak ditunda atau tidak ada sama sekali, “nggak usah,” jawab Fikri sembari tertawa.

Tak hanya Fikri, pada kesempatan yang sama, Michael Kwok, pemilik usaha tas bulutangkis Maritim Bag Indonesia, juga menyambut positif penundaan kebijakan pemungutan pajak.

Michael menilai langkah ini menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada UMKM.

"Waktu regulasi ini terbit pertama kali, kami-kami ini sempat kebingungan. Dipotong langsung sama marketplace atau kita sendiri yang nyetor?” ujar mantan guru kelahiran Grobogan ini. 

Michael menganggap keputusan menunda sebagai jalan tengah yang lebih aman bagi pelaku usaha. Jika kelak kebijakan pemungutan pajak ini diterapkan, Michael berharap tidak ada pungutan lain yang justru akan memberatkan pelaku UMKM.

Sebelumnya, PMK Nomor 37 Tahun 2025 ditandatangani oleh Sri Mulyani Indrawati saat masih menjabat Menteri Keuangan pada 11 Juni 2025 dan diundangkan pada 14 Juli 2025. Regulasi itu mengatur penunjukan pihak lain, termasuk platform marketplace, sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pedagang dalam negeri yang bertransaksi secara elektronik.

Dalam aturan itu, tarif pajak ditetapkan sebesar 0,5% dari omzet bruto tahunan. Pedagang dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dikecualikan dari kewajiban pemungutan, dengan syarat menyampaikan deklarasi kepada platform tempat mereka berjualan. Mekanisme pemungutan dirancang agar dilakukan langsung oleh marketplace, sehingga pedagang tidak perlu melakukan setoran mandiri.

Purbaya mengatakan secara teknis sistem pemungutan sudah siap dijalankan. Namun, pelaksanaannya ditunda karena pemerintah ingin menunggu kondisi daya beli masyarakat membaik. Selain itu, pemerintah juga tengah menyalurkan stimulus fiskal sekitar Rp200 triliun ke perbankan dan ingin melihat dampaknya terhadap perekonomian sebelum menambah beban pajak baru pada sektor digital.

Efektif tanpa membebani

Sekretaris Jenderal Indonesia E-commerce Association (idEA), Budi Primawan, menyatakan pihaknya menghargai keputusan Menteri Purbaya untuk menunda penerapan PPh Pasal 22 atas transaksi e-commerce.

Menurutnya, langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mendengar masukan dari pelaku usaha serta memastikan kebijakan perpajakan berjalan efektif tanpa menimbulkan beban berlebihan, khususnya bagi pihak yang masih membutuhkan ruang beradaptasi.

Budi menekankan pentingnya perancangan kebijakan fiskal yang saling melengkapi. Ia menyebut kebijakan seharusnya mampu mendorong konsumsi masyarakat sekaligus menjaga penerimaan negara, dengan tetap memperhatikan momentum penerapan yang tepat.

Ke depan, menurut Budi, proses perumusan implementasi kebijakan ini masih akan terus berjalan. Ia berharap pemerintah tetap membuka ruang dialog bersama pelaku usaha agar kebijakan pajak yang dihasilkan dapat lebih proporsional, berkeadilan, dan mendukung UMKM digital sebagai tulang punggung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, Head of Corporate Affairs Shopee Indonesia, Satrya Pinandita, memilih tidak banyak berkomentar mengenai penundaan kebijakan pemungutan pajak e-commerce.

Berlaku adil

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies, Nailul Huda, menegaskan dukungannya terhadap penerapan pajak e-commerce bagi pedagang yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak.

Ia menilai kewajiban membayar pajak seharusnya berlaku adil, baik untuk pedagang daring maupun luring.

“Saya secara pribadi mendukung penerapan pajak 0,5% dari omzet bruto bagi merchant e-commerce yang memang layak dan masuk kategori pembayar pajak,” ujarnya.

Menurut perhitungannya, potensi penerimaan negara dari kebijakan ini hanya sekitar Rp500 miliar hingga Rp1,5 triliun. Meski kecil, aturan itu justru krusial demi kesetaraan di antara penjual.

Huda juga memperkirakan mayoritas pedagang e-commerce, sekitar 90%, beromzet di bawah Rp500 juta sehingga tidak akan terkena pungutan.

Ia melihat penundaan kebijakan ini bisa dilatarbelakangi dua hal. Pertama, pemerintah berusaha menarik simpati publik dengan menunda kebijakan yang nilainya relatif kecil tetapi memberi citra positif. Kedua, sistem pemungutan pajak belum siap karena masih bergantung pada pernyataan omzet dari pelaku usaha.

“Artinya memang ini sifatnya adalah self assessment dan akan sangat tergantung dari kesadaran pelaku usaha,” katanya.

Sebagai solusi, Huda menekankan perlunya pendataan yang lebih lengkap. Ia menyebut data transaksi lintas marketplace bisa dimanfaatkan untuk mencegah pemilik usaha melakukan praktik pemecahan omzet ke berbagai toko untuk menghindari pajak.

Pencantuman identitas seperti NIK pada setiap akun toko, Huda mencontohkan, dapat jadi langkah penting untuk memperkuat kebijakan perpajakan di e-commerce ke depan.

Huda menilai penundaan tidak akan berdampak besar pada ekosistem digital maupun ekspor UMKM. Menurutnya, faktor yang lebih menentukan daya saing bukan hanya perpajakan saja, melainkan juga kepastian aturan yang menjamin transaksi dan investasi di sektor e-commerce dapat dilakukan dengan jelas dan aman. 

Chris Wibisana turut berkontribusi dalam tulisan ini

Author

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Macroeconomics, Energy, Environment, Finance, Labor and International Reporters