Industry Players Agree to HGBT USD 7 per MMBTU, Increase National Industry Competitiveness

Industrial businesses in Indonesia are asking for a more equitable and affordable price for specific natural gas at the level of USD 7 per MMBTU, in order to increase the competitiveness of the national industry.

Industry Players Agree to HGBT USD 7 per MMBTU, Increase National Industry Competitiveness
Pekerja membaca parameter tekanan di salah satu pipa gas di Stasiun Metering Gas Senipah, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Jumat (26/9/2025). (Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa)

Pelaku usaha industri di Indonesia meminta penetapan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) yang lebih merata dan terjangkau di level USD 7 per MMBTU, tujuannya untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Pemerintah sebelumnya menetapkan HGBT sebesar USD 6 per MMBTU sejak 2016 sebagai insentif bagi tujuh sektor industri strategis, belakangan naik menjadi US$ 7 per MMBTU.

Pelaku industri meminta pemerintah untuk mempertahankan harganya di level US$ 7 Per MMBTU karena sudah ideal, jika masih ada kenaikan harga maka kenaikan yang bisa ditoleransi di angka US$ 10 per MMBTU.

Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan pasokan gas bumi harus dipastikan selalu tersedia karena gas merupakan sumber bahan baku dan energi.

Gas juga menjadi pendukung industri strategis yang digunakan secara luas di industri seperti baja, semen, kaca, dan tekstil untuk menjalankan mesin dan proses produksi. 

“Kami sebagai pelaku industri hanya ingin pasokan dan harga gas tersedia, karena itulah kebutuhan utama,” ujar dia dalam acara Kadin Focus Group Discussion tentang “Keberlanjutan Gas Bumi Untuk Industri” di Menara Kadin, Jakarta (7/10/2025).

Impor Gas untuk Industri

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendesak pemerintah membuka peluang bagi industri nasional untuk mengimpor gas bumi. Langkah ini dinilai penting guna mengatasi minimnya pasokan gas domestik yang saat ini baru memenuhi sekitar 60% dari kebutuhan industri.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Saleh Husin menuturkan pemerintah telah menetapkan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$ 7 per MMBTU untuk tujuh sektor industri melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 255K Tahun 2024, kenyataannya pasokan yang diterima industri masih jauh dari kebutuhan.

“Kawan-kawan industri hanya mendapatkan sekitar 60% suplai gas HGBT,” ujar Saleh. 

Gas bumi merupakan komponen penting dalam proses produksi industri pengolahan, seperti pupuk, baja, semen, farmasi, keramik, tekstil, hingga makanan dan minuman. Kekurangan pasokan ini berpotensi menekan daya saing dan kapasitas produksi industri dalam negeri.

Kadin menilai, impor gas bisa menjadi solusi sementara hingga proyek eksplorasi gas nasional pada 2026–2028 mulai berproduksi. Dengan membuka akses impor, harga gas bagi industri dapat lebih kompetitif, kapasitas produksi meningkat, dan daya saing ekspor produk manufaktur Indonesia terjaga.

“Pemerintah dapat mempertimbangkan impor dalam periode terbatas, sambil menunggu hasil eksplorasi. Setelah suplai dalam negeri mencukupi, impor bisa dihentikan,” kata Saleh.

Kadin juga menyoroti ketimpangan antara wilayah produksi dan konsumsi gas. Pasokan berlebih banyak terdapat di Jawa bagian timur, sementara permintaan tertinggi ada di Jawa bagian barat. Ketidakseimbangan ini menyebabkan inefisiensi distribusi dan biaya logistik tinggi.

Agar kebijakan impor gas berjalan efektif dan tidak menimbulkan distorsi, Kadin meminta pemerintah menyiapkan payung hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang menjamin kepastian pasokan dan distribusi gas bagi industri.

“Sektor industri membutuhkan kepastian kebijakan yang berkelanjutan. PP ini juga harus membuka ruang bagi industri untuk mengimpor gas secara mandiri dan membangun infrastruktur jaringan gas di kawasan industri,” jelas Saleh.

Kadin juga mengusulkan agar Domestic Market Obligation (DMO) gas bumi lebih berpihak kepada industri manufaktur nasional, agar perluasan dan ketahanan industri dapat berjalan optimal. Saat ini utilisasi industri masih berada pada kisaran 60–65%.

Risiko Deindustrialisasi

Saleh mengingatkan, harga gas yang terlalu tinggi dapat membuat industri nasional kehilangan daya saing. Jika harga gas mencapai US$ 16,77 per MMBTU, banyak pelaku industri berisiko menutup operasi atau memindahkan pabrik ke negara tetangga yang menawarkan harga energi lebih murah.

Hal ini, lanjutnya, akan memicu lonjakan impor produk jadi, mengancam industri dalam negeri, serta menurunkan kontribusi sektor manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Read also:

Agar Kembali Bergairah, Industri Butuh Harga Gas Terjangkau dan Jaminan Pasokan
Industri yang tengah lesu membutuhkan suntikan tenaga dari harga gas yang terjangkau dan pasokan yang terjamin.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan industri nasional dengan nilai tambah hingga Rp 496,5 triliun.

Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kemenperin Sri Bimo Pratomo mengatakan nilai tambah tersebut berdasarkan evaluasi yang dilakukan pihaknya sepanjang 2020–2024.

Dampak itu terdiri atas peningkatan ekspor Rp191,84 triliun, kenaikan penerimaan pajak Rp31,27 triliun, tambahan investasi hingga Rp 272,4 triliun, serta penurunan subsidi pupuk Rp 950 miliar.

Pelaksanaan kebijakan tersebut masih menghadapi sejumlah kendala. Kuota gas yang diterima industri seringkali lebih kecil dibandingkan alokasi yang ditetapkan terutama akibat ketidakseimbangan antara pasokan hulu dan kebutuhan hilir.

“Kemenperin menegaskan keberlanjutan kebijakan HGBT perlu dijaga dengan memastikan pasokan gas dalam negeri dan harga tetap kompetitif agar industri nasional mampu bersaing di pasar global,” ujar dia.

Pasokan Dalam Negeri Cukup

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Laode Sulaiman, menerima usulan impor dari pengusaha, namun opsi tersebut belum bisa diberikan pemerintah.

"Kita menghormati masukan dari kawan-kawan industri. Namun pada saat ini, memang kebijakan pemerintah memandang ketahanan energi itu sedapat mungkin kita menahan impor saat ini. Tapi masukan tadi kita tampung dulu," tegas Laode.

Laode mengatakan, krisis pasokan gas yang terjadi bulan lalu disebabkan masalah pipa penyaluran, bukan tersendatnya pasokan gas. Dia memastikan masalah itu tidak akan terjadi lagi.

Solusinya yakni dengan peralihan atau swap alokasi LNG yang diekspor untuk kebutuhan dalam negeri, jika sewaktu-waktu penyaluran gas bumi lewat pipa bermasalah kembali.

Pasokan Gas PGN Terus Membaik

PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) terus memperkuat komitmennya dalam menjaga keandalan pasokan gas nasional melalui optimalisasi infrastruktur dan dukungan penuh dari pemerintah serta para pemangku kepentingan. 

Saat ini, tekanan gas dalam jaringan pipa telah normal dan dijaga stabilitasnya. Seiring dengan stabilisasi tersebut, pelanggan di sejumlah wilayah Jawa Bagian Barat yang sebelumnya terdampak telah kembali beroperasi. 

Corporate Secretary PGN Fajriyah Usman menyampaikan bahwa seluruh Direksi PGN secara aktif memantau perkembangan operasional di wilayah Jawa Bagian Barat dan sebagian Sumatera secara real-time melalui Integrated Monitoring Center yang berbasis digital di Jakarta. Pemantauan ini menjadi bagian dari upaya PGN dalam memastikan kelancaran distribusi gas. 

PGN juga terus konsisten melakukan langkah-langkah strategis untuk memastikan keandalan penyaluran energi bagi pelanggan. 

“Alhamdulillah, kami bersyukur atas dukungan yang telah diberikan oleh Kementerian ESDM, SKK Migas, PT Pertamina (Persero), serta seluruh pemangku kepentingan,” ujar dia.

Read more