Lessons from Cikande (1)

The case of radioactive contamination in the Cikande area is an important reminder of food safety procedures.  

Lessons from Cikande (1)
Warga duduk di teras rumahnya yang berdekatan dengan lokasi ditemukannya cemaran Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Rabu (8/10/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto
Table of Contents

Aktivitas warga di Kawasan Industri Modern Cikande (KIM), Serang, Banten itu  tampak berjalan normal, meskipun wilayah ini beberapa waktu ini ditengarai menjadi pusat paparan radionuklida Cesium-137 yang sangat berbahaya.  Saat SUAR berkunjung ke wilayah itu Jumat 17 Oktober 2025 lalu., tidak terlihat adanya kepanikan dari masyarakat sekitar maupun para pekerja. Pembatasan terhadap mobilitas masyarakat juga tidak ketat.

Warga terlihat melakukan rutinitas seperti tidak ada hal yang mengancam, sejumlah pelajar berseragam terlihat rapi melintas dengan sepeda motor di area yang terpapar radiasi, tanpa mengenakan masker ataupun pelindung lainnya. Dari pinggir jalan zona merah radiasi, terdengar suara mesin peralatan pabrik yang cukup kencang, menandakan bahwa sejumlah pabrik masih tetap beroperasi.

Personel Gegana Brimob Polri melakukan pengawasan terhadap kendaraan yang akan meninggalkan Kawasan Industri Modern Cikande di Kabupaten Serang, Banten, Selasa (7/10/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto

Di pintu keluar kawasan industri, truk-truk besar mengantre untuk menjalani pengecekan satu per satu. Petugas berseragam memeriksa dengan teliti demi memastikan kendaraan pengangkut barang itu tidak membawa kontaminan ke luar. Namun, berbeda dengan truk, kendaraan pribadi seperti mobil dan motor melenggang bebas tanpa pemeriksaan. Arus kendaraan terus mengalir, seperti tak terganggu oleh status darurat yang menyelimuti kawasan tersebut.

Tepat di sebelah lapak besi, titik yang sebelumnya dinyatakan terkontaminasi, terdapat dua warung makan yang masih beroperasi. Beberapa pembeli juga bahkan terlihat tengah berada di dalam warung makan tersebut.

Setelah 10 hari, pada hari itu, plang peringatan tanda bahaya di kawasan tersebut akhirnya dicabut petugas dari Satgas Penanganan Radiasi Radionuklida Cesium-137 (Cs-137). Tanda peringatan itu sebelumnya terpasang di depan lapak besi kawasan kampung Kedung Laban, Desa Barengkok, Kecamatan Kibin, dan pabrik PT Jongka Indonesia Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten. 

Sejak 7 Oktober 2025 lalu, beberapa titi di KIM dinyatakan terkontaminasi radiasi Cesium-137. Namun setelah diadakan dekontaminasi di beberapa titik di wilayah itu, Pemerintah memastikan penanganan kontaminasi Cs-137 di Cikande, Banten, dilakukan secara intensif. 

"Kami memahami kekhawatiran masyarakat dan ingin menegaskan bahwa situasi saat ini terkendali (under control)," kata Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Satgas Penanganan Bahaya Radiasi Radionuklida Cs-137, Bara Krishna Hasibuan, di lokasi.

Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Satgas Penanganan Bahaya Radiasi Radionuklida Cs-137, Bara Krishna Hasibuan (tengah) (Suar.id/Dian Amalia)

Ditemukannya cemaran radionuklida CS-137 di kawasan industri Modern (KIM) Cikande in berawal saat kontainer udang beku asal Indonesia masuk di beberapa pelabuhan Amerika Serikat, sekitar Agustus lalu. Namun pihak Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)-nya negeri Paman Sam langsung menolak kontainer-kontainer  udang dari Indonesia itu, karena alat deteksi mereka menunjukkan adanya kandungan radioaktif di luar ambang batas.

Insiden ini memicu gelombang pemeriksaan di dalam negeri. Badan Pengawas Tenaga Nuklir Nasional (Bapeten), instansi pengawas nuklir Indonesia, bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Badan Riset Nasional (BRIN), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan institusi terkait segera melakukan investigasi. 

Setelah dicari, mereka menemukan bahwa sumber kontaminasi berada di kawasan pengolahan besi bekas (scrap metal) di dalam KIM Cikande. Bapeten pun mengamankan logam bekas yang terindikasi mengandung Cesium-137 (Cs-137), salah satu isotop radioaktif buatan yang tidak terjadi secara alami. 

Penemuan ini terjadi di sejumlah titik di lapak besi bekas dan lokasi penimbunan material di sekitar kawasan industri. Seiring penyelidikan, otoritas memperluas radius pemeriksaan hingga radius 2 kilometer di sekitar zona industri. Beberapa titik dengan laju paparan tinggi, yang menunjukkan kadar Cs-137 mencapai 875.000 kali lipat di atas paparan radiasi alamiah itu pun dipasangi garis polisi.

Pada 23 September 2025, Bapeten dan instansi terkait memindahkan sejumlah material terkontaminasi ke tempat pengamanan sementara di dalam kawasan industri. Kegiatan pemindahan tersebut melibatkan tim gabungan dari Bapeten, KLHK, BRIN, dan Satuan Tanggap Darurat (STD) serta tim KBRN Brimob.

Pemerintah kemudian menetapkan KIM Cikande sebagai status kejadian khusus cemaran radiasi Cs-137. Semua aktivitas keluar dan masuk kawasan akan dikontrol ketat lewat sistem monitoring radiasi (Radiation Portal Monitoring).

Paparan belum menyebar ke masyarakat

Pasca ditemukan sumber radiasi pihak berwenang kemudian melakukan dekontaminasi hingga tak ditemukan lagi titik-titik yang terdeteksi memancarkan radiasi. Dari total 22 pabrik di Kawasan Industri Modern Cikande yang terkontaminasi Cs-137, 20 pabrik telah selesai dilakukan dekontaminasi dan dinyatakan clear and clean. Sedangkan 2 pabrik masih dilakukan dekontaminasi.

Kemudian, dari 13 area terkontaminasi, berupa lapak besi dan junkyard yang juga terkontaminasi, 2 lokasi juga telah dinyatakan clear and clean. Sedangkan area terkontaminasi lainnya masih dalam proses intensif dekontaminasi, yang diharapkan selesai dalam waktu secepatnya. "Progres dekontaminasi berjalan cepat. Kami optimistis seluruh area akan bersih dan aman dalam waktu dekat," ungkap Bara Krishna Hasibuan, Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Satuan Tugas (Satgas) Kerawanan Bahaya Radiasi Radionuklida Cs-137.

Selain itu, Satgas melalui Bidang Penegakan Hukum akan melakukan pelepasan PPLH Line pada 1 pabrik (PT Jongka Indonesia) dan 1 area terkontaminasi (lapak besi bekas di Kampung Sadang) yang dinyatakan clear and clean atas verifikasi yang dilakukan otoritas BRIN dan Bapeten.

Ketua Divisi Bidang Diplomasi dan Komunikasi Publik Satgas Penanganan Cesium-137 Bara Krishna Hasibuan (tengah belakang) memberi keterangan bersama Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq (tengah depan), Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan Didit Herdiawan (kanan), Kepala Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus (BAPPISUS) Aris Marsudiyanto (kiri) dan jajaran pejabat terkait memberikan keterangan usai rapat koordinasi penanganan kerawanan bahaya radiasi cemaran Cesium-137 di Jakarta Pusat, Rabu (8/10/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah

Satgas juga melakukan edukasi komprehensif kepada pekerja dan warga setempat. Hal ini terkait dengan penyuluhan, pemberian informasi kesehatan, dan papan informasi di beberapa lokasi serta relokasi warga. "Kami ingin masyarakat mendapat informasi yang benar, bukan dari sumber yang tidak jelas. Jangan ragu untuk bertanya kepada petugas atau mengakses kanal resmi kami," kata Bara.

Ia menambahkan mengaku pihaknya telah berhasil mencegah radiasi tersebar ke luar dari Kawasan Industri Modern Cikande.

“Belum ada (masyarakat) yang terpapar, sejauh ini berhasil kita contain, jadi tidak menyebar, kita mengatasi bagaimana agar tidak adanya kontaminasi,” kata Bara.

tidak ada masyarakat yang dilaporkan terkena paparan radiasi, selain 9 orang pekerja yang dilaporkan terpapar dan telah dibawa ke rumah sakit

Bara menegaskan bahwa tidak ada masyarakat yang dilaporkan terkena paparan radiasi, selain 9 orang pekerja yang dilaporkan terpapar dan telah dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut, meski sudah bisa pulang ke rumahnya masing-masing. “Namun pengecekan kesehatan masih terus dilakukan untuk memberikan edukasi,” jelasnya.

 Pihak Satgas bersama dengan seluruh pihak terkait lainnya juga terus melakukan penanganan di lokasi, termasuk melakukan penyelidikan terkait asal-usul penyebaran zat radioaktif tersebut. Bara juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak takut berlebih, namun tetap berwaspada.

“Masyarakat harus tetap tenang, karena kontaminasi ini tidak menyebar, dan kita aktif terus menelusuri mana-mana saja fasilitas yang terkontaminasi. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir, kalau ada yang terpapar kan langsung kita kami kirim ke rumah sakit untuk dirujuk dan dirawat,” ucapnya.

Industri udang terancam

Insiden penolakan udang di Indonesia dampaknya sangat luas. Kejadian ini memicu otoritas pangan Amerika Serikat (FDA) mengeluarkan import alert terhadap produk udang Indonesia. Akibatnya, karena insiden itu, seluruh industri udang terkena imbasnya. 

“Industri udang tidak ada kesalahannya sama sekali. Cuma karena ada salah satu perusahaan yang melakukan kesalahan, terpukul semua industri,” kata salah seorang pengurus organisasi industri udang, Shrimp Club Indonesia (SCI).

Pihak SCI, kata sumber itu, memahami langkah FDA yang mempertanyakan asal-usul kontaminasi radioaktif tersebut, mengingat Cesium-137 biasanya berasal dari aktivitas reaktor nuklir, bukan dari produk pangan. Namun, pihaknya menilai respons pemerintah Indonesia masih kurang cepat dan kurang tepat. “Mungkin karena kurang cekatannya pemerintah jadinya kita kena another import alert 99-52. Yang awalnya hanya kena Import Alert 99-51,” katanya.

Import Alert 99-51 yang dikeluarkan FDA awalnya memang ditujukan ke satu perusahaan yang bertanggung jawab mengirimkan udang beku ke Amerika yaitu PT Bahari Makmur Sejati. Namun dalam perkembangannya, kemudian FDA yang menetapkan pengawasan ketat terhadap produk udang asal Indonesia, khususnya dari wilayah Jawa dan Lampung, untuk memastikan tidak adanya kontaminasi radioaktif Cesium-137. Tentu saja ini bisa merugikan ekosistem industri udang di Indonesia. 

Meski begitu, ia melihat sisi positif dari situasi ini. Menurutnya, FDA masih membuka peluang ekspor dengan syarat tambahan, yaitu setiap pengiriman dari Lampung dan Jawa harus disertai sertifikat khusus dari pemerintah. “Kita bisa jadikan ini peluang untuk branding global, bahwa shrimp stream Indonesia sekarang punya standar tertinggi, pre-antibiotic dan pre-radioactive contamination,” ujarnya.  “Negara lain nggak semuanya punya uji seketat itu. Jadi justru ini bisa jadi nilai jual kita soal food security.”

Tim gabungan Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup bersama Polri dan TNI mencabut papan peringatan radiasi di salah satu pabrik yang telah didekontaminasi dari radiasi Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Jumat (17/10/2025). (Suar.id/Dian Amalia)

Namun, ia juga menyoroti risiko keterlambatan di pihak pemerintah yang bisa berdampak besar pada rantai pasok dan pasar. “Kalau pemerintah lambat, pasarnya juga akan terhambat. Sekarang sudah mulai terasa efeknya,” katanya.

SCI menilai, masalah ini tidak bisa dibiarkan terlalu lama karena menyangkut mata pencaharian ribuan orang di industri udang. Ia mengusulkan agar pemerintah menyediakan solusi sementara, seperti tambahan cold storage dan pembiayaan berbunga rendah agar pabrik tetap bisa beroperasi sambil menunggu penyelesaian dengan FDA. “Jual ke lokal market bukan solusi. Serapan lokal cuma 10%, sedangkan 90% ekspor. Mana mungkin semua orang tiba-tiba makan udang setiap hari?” katanya. 

SCI juga menyoroti perlunya kecepatan, kepastian, dan ketepatan dalam respons pemerintah. “Ada menteri minta kita berhati-hati di media, jangan ramai-ramai di publik. Padahal ini kepentingan bersama. Kalau pemerintah terus bilang ‘aman, aman’, padahal di lapangan rantai pasok sudah terganggu, itu namanya bukan solusi,” ungkapnya. 

Meski kecewa dengan penanganan yang kurang responsif, SCI tetap yakin reputasi udang Indonesia bisa dipulihkan dengan baik jika sistem sertifikasi ekspor diperkuat dan dijalankan dengan transparan. “Ini momen yang bagus. Kita bisa tunjukkan ke dunia kalau ekspor udang Indonesia punya standar keamanan yang paling ketat. Kalau regulasinya dijalankan, reputasi kita akan naik,” ujarnya. 

Sedangkan Ketua Shrimp Club Indonesia, Andi Tamsil mengaku selain pasar Amerika, efek domino mulai terasa ke negara lain. “Ada beberapa negara seperti Jepang dan Cina yang juga mulai mempertanyakan kondisi Indonesia. Kalau dengan Amerika ini tidak segera selesai, negara lain bisa ikut ragu,” katanya. 

He considers that international market confidence is the most vulnerable thing to be lost, and it takes a long time to be restored. For this reason, SCI is actively encouraging the government to accelerate negotiations with the FDA. They hope that the new certification will be recognized soon and exports can be reopened by the end of October.

Menurutnya, kasus ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperkuat sistem pengawasan lintas sektor, mulai dari Bapeten, Bea Cukai, hingga aparat keamanan, agar bahan radioaktif tidak lagi masuk ke jalur industri atau ekspor.

Namun, di balik kesulitan itu, ia tetap optimistis petambak udang di Indonesia adalah pekerja tangguh. “Kita cuma butuh kejelasan dan kecepatan dari regulator. Kalau sertifikasi jalan pekan ini, semua bisa bernafas lagi,” ujarnya. Bagi pelaku usaha di sektor ini, penyelamatan rantai pasok udang bukan hanya soal ekonomi ekspor. Ini soal menjaga kehidupan ribuan keluarga yang bekerja di tambak, pabrik es, logistik, hingga pelabuhan. 

Penegakan hukum tetap dijalankan

Semetara itu, Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Irjen Pol Rizal Irawan menegaskan bahwa pemerintah juga akan meminta pertanggungjawaban perusahaan penyebab bencana ini. “Ini namanya strict liability. Pertanggungjawaban mutlak. Itu diatur dalam undang-undang. Polluters pays principle. Siapa yang melakukan polutan, polusi, dialah yang bertanggung jawab. Sehingga itu nanti akan dibebankan kepada mereka sebagai polluters,” jelas Rizal.

Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Irjen Pol Rizal Irawan (Suar.id/Dian Amalia)

Perusahaan yang menyebabkan kontaminasi zat radioaktif ataupun menjadi korban, diharuskan membayar sendiri untuk melakukan proses dekontaminasi. Maka dari itu, biaya dekontaminasi bukan diberikan oleh pemerintah. 

Pertanggungjawaban mutlak itu diatur di Undang-Undang 32 tahun 2009, yang merupakan asas dimana pelaku perusakan atau pencemaran lingkungan bertanggung jawab atas kerugian yang timbul tanpa perlu pembuktian adanya unsur kesalahan. 

Perusahaan-perusahaan ini diperintahkan untuk melakukan dekontaminasi masing-masing. Biayanya mereka yang bayar sendiri. “Jadi tidak ada ke kita. Silahkan mereka mandiri. Jadi meskipun pelaksananya itu dari rekan-rekan baik itu dari Gegana maupun ataupun dari Bapeten,” ungkapnya.

Rizal juga belum bisa memberikan kepastian terkait asal-usul pencemaran zat radioaktif di kawasan tersebut. Namun, PT PMT diduga jadi penyebab persebaran radioaktif.  “Sementara kita fokus ke PMT. Karena dari (perusahaan) yang lain, setelah kita olah TKP kemarin dengan Bareskrim karena ini ditemukan di blower, kemudian di  pintu-pintu angin, exhaust. Sehingga ini masih mengindikasikan bahwa mereka sebenarnya bukan penyebab. Ya pabrik-pabrik lain itu bukan penyebab, beda dengan PMT,” ungkapnya.

PT PMT diduga kuat menjadi penyebab persebaran radioaktif berdasarkan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) yang telah dilakukan.  “Kalau PMT, itu kita lakukan olah TKP. Itu memang ada di tungku proses, tungku produksinya. Kemudian ada di area bahan baku. Kemudian kita lakukan penelitian bahwa ada indikasi kuat. Penyebab polusi ataupun kontaminasi di area ini adalah penyebabnya dari PMT.

PT Jongka Indonesia yang berada di kawasan tersebut, yang sempat dinyatakan clean and clear, disebut olehnya sebagai korban, bukan menjadi tempat utama penyebaran bahan radioaktif. Ia juga belum bisa menjelaskan dari mana asal bahan zat radioaktif yang kemudian tersebar di kawasan tersebut. 

Ia meminta semua pihak menunggu penjelasan dari Badan Reserse dan Kriminal Polri yang melakukan penyidikan potensi pidana atas kasus ini. “Karena bukan saya yang menangani. Saya tidak mau kalah, karena kalau dari data kita, sementara ini, PT PMT itu tidak impor,” ungkapnya. 

Langkah mitigasi dan penyelesaian masalah

Terkait kekhawatiran adanya dampak pencemaran radionuklida Cs-137 ini ke sektor industri, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memastikan bahwa keamanan masyarakat dan keberlanjutan kegiatan industri tetap menjadi prioritas utama setelah adanya kasus ini.

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menegaskan, pemerintah telah melakukan langkah mitigasi dan penanganan secara terkoordinasi lintas kementerian agar isu tersebut tidak menimbulkan dampak terhadap kesehatan publik maupun iklim investasi.

“Isu radiasi ini harus ditangani secara cepat, ilmiah, dan transparan agar tidak mengganggu kepercayaan publik terhadap produk manufaktur dalam negeri,” ujar Agus. 

Personel Gegana Brimob Polri melakukan dekontaminasi terhadap kendaraan yang terkontaminasi cemaran Cesium-137 di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (7/10/2025). ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto

Menurut Agus, koordinasi telah dilakukan bersama Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Bapeten juga pemerintah daerah untuk menginventarisasi serta mengendalikan potensi kontaminasi dari sumber radiasi yang ditemukan. Tim gabungan lintas kementerian/lembaga juga telah melakukan pemantauan langsung di lapangan.

Agus menambahkan, isu keselamatan publik juga berkaitan erat dengan kepercayaan pasar ekspor terhadap produk nasional. Karena itu, Kemenperin terus berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memastikan penanganan isu radiasi tidak berdampak pada reputasi industri Indonesia di kancah global.

“Kami menjamin bahwa kawasan industri Indonesia, termasuk Cikande, tetap menjadi tempat yang aman dan kompetitif bagi investasi. Isu ini akan menjadi momentum untuk memperkuat sistem industrial safety management dan environmental governance di kawasan industri kita,” ujarnya.

Selain itu, Kemenperin tengah menyiapkan pedoman penguatan tata kelola lingkungan industri yang lebih komprehensif. Sistem pemantauan terpadu antara pengelola kawasan, pemerintah daerah, dan kementerian teknis akan dikembangkan untuk mencegah risiko serupa di masa depan.

Berkat kerja kompak ini, penyelesaian masalah ini juga mulai mendapatkan titik terang, setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendapat pengakuan dari Pemerintah Amerika Serikat (AS) sebagai Certifying Entity (CE) untuk ekspor udang ke Amerika Serikat. 

Dengan adanya pengakuan ini, produk udang yang bisa masuk pasar AS harus memiliki Sertifikat Mutu yang diterbitkan oleh KKP. "Untuk dapat masuk ke AS wajib menggunakan Sertifikat Mutu yang diterbitkan oleh KKP terutama untuk ekspor dari Jawa dan Lampung,” jelas Ishartini, Kepala Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan atau Badan Mutu KKP.

Adanya penetapan CE bagi ekspor udang Indonesia erat kaitannya dengan pemberlakuan regulasi pengetatan impor oleh AS melalui Import Alert 99-52 yang memberlakukan adanya persyaratan tambahan, yaitu sertifikasi bebas cemaran Cesium 137 pada produk udang oleh otoritas kompeten negara asal yang diakui secara resmi oleh FDA.

Menurut Ishartini, aturan Import Alert 99-52 bagi udang Indonesia oleh Pemerintah Amerika Serikat bukan merupakan red list atau penolakan, tetapi hanya tambahan persyaratan bagi shipment yang berasal dari UPI (perusahaan perikanan-red) udang berlokasi di Jawa dan Lampung yaitu harus disertai Sertifikat Mutu Bebas Cemaran Cesium 137. “Sementara itu ekspor udang ke AS selain dari dua wilayah tetap berlaku seperti biasa,” tambah Ishartini.

Ishartini menjelaskan, bahwa KKP sebagai CE menjadi satu - satunya instansi yang menerbitkan sertifikat mutu bebas dari cemaran Cesium 137 pada produk udang melalui serangkaian kegiatan sertifikasi yang melibatkan otoritas nuklir Indonesia yaitu Bapeten dan Badan Riset & Inovasi Nasional atau BRIN. 

Koordinasi dan data jadi kunci mitigasi 

Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Angga Dheta Shirajjudin Aji, yang meneliti waste treatment dan environmental chemistry menjelaskan bahwa kontaminasi Cs-137 lebih sering ditemukan di sedimen dan debu padat dibanding air. Itu sebabnya, penanganan tidak cukup hanya dengan pengolahan limbah cair. “Fokus harus ke residu padat industri, termasuk sistem ventilasi dan penyimpanan abu,” ujarnya.

Ia juga menyoroti risiko jangka panjang terhadap rantai pangan dan perdagangan. “Kalau kontaminasi ini masuk ke lahan pertanian atau perairan, tanaman dan ikan bisa menyerapnya. Dampaknya bukan hanya kesehatan, tapi juga reputasi ekspor kita. Negara lain bisa langsung menolak komoditas dari wilayah terdampak,” katanya.

Sebagai pembanding, Angga menyinggung langkah Jepang setelah bencana Fukushima. “Mereka memasang radiation portal monitor di pelabuhan dan kawasan industri. Jadi setiap barang atau kendaraan yang keluar masuk bisa langsung terdeteksi bila mengandung radioaktif. Sistem pelaporannya juga terbuka dan berbasis data publik. Indonesia bisa meniru itu,” sarannya.

Namun, menurut Angga, masalah terbesar Indonesia justru ada di koordinasi. “Kita punya banyak lembaga tapi data mereka tidak saling terhubung. Tidak ada sistem terpadu yang bisa melacak sumber radioaktif dari awal sampai akhir,” katanya.

Ia mendorong penerapan sistem cradle-to-grave tracking bagi bahan radioaktif: dari pembelian, pemakaian, sampai pembuangan. “Idealnya setiap sumber radioaktif punya identitas digital, entah lewat QR code atau NFC tag, agar bisa dipantau terus,” jelasnya.

Dalam jangka panjang, ia menilai Indonesia bisa mengembangkan sertifikasi “radiation-free” bagi produk dari kawasan industri berisiko tinggi seperti Cikande. “Itu bukan hanya soal keselamatan, tapi juga kepercayaan publik. Dunia usaha akan lebih tenang, dan masyarakat tahu produk mereka aman,” kata Angga.

Ia juga menyoroti tantangan lingkungan tropis. “Curah hujan tinggi membuat partikel Cs-137 lebih mudah terbawa air ke sungai dan sawah. Jadi pengelolaan drainase tertutup dan pemantauan hidrologi jadi kunci,” ujarnya.

Angga juga mengingatkan jika upaya ini tak akan efektif tanpa investasi pada laboratorium dan SDM. “Kapasitas laboratorium radiologi kita masih terbatas, terutama di daerah. Padahal deteksi cepat sangat penting untuk mencegah dampak lebih luas. Indonesia perlu memperkuat riset radiokimia dan ekotoksikologi agar bisa bergerak cepat ketika kasus seperti ini muncul lagi,” ungkapnya.

Mukhlison, Dian Amalia, and Gema Dzikri