Pasar karbon Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan. Namun, untuk itu perlu penguatan kapabilitas seluruh pemangku kepentingan dan kolaborasi yang erat antara sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat sipil.
Hal ini menjadi benang merah dalam diskusi mengenai inisiatif pasar karbon Indonesia, sebagaimana disampaikan oleh para praktisi dan ahli dalam acara Sosialisasi Indonesia Carbon Market Academy (ICMA), Jakarta, (24/7/2025)
William Sabandar, Chief Operating Officer (COO) Indonesian Business Council (IBC), menyoroti perjalanan panjang Indonesia dalam agenda iklim, yang sudah dimulai sejak menjadi tuan rumah COP 13 di Bali pada tahun 2007.
Namun, setelah hampir dua dekade, belum ada perubahan berarti. "Kita kok masih putar-putar di sini saja gitu. Enggak maju-maju gitu," ujarnya.
Wiliam mengatakan, hal ini mengindikasikan adanya hambatan dalam kemajuan agenda ini. Ia menekankan bahwa agenda keberlanjutan hanya bisa dicapai jika perhatian terhadap lingkungan terintegrasi dalam proses pembangunan.
Menurutnya, IBC didirikan dengan konsep keberlanjutan sebagai salah satu pilarnya. Ia melihat adanya kesenjangan dalam komunikasi antar sektor, di mana inisitif pemerintah sering kali berjalan sendiri tanpa banyak berdiskusi dengan sektor swasta atau masyarakat sipil.
Padahal, dunia usaha sudah serius terlibat dalam isu keberlanjutan, terutama dengan tren Environmental, Social, and Governance (ESG) yang kini menjadi tolok ukur valuasi korporasi. "Hari-hari ini korporasi itu value-nya akan tinggi hanya kalau dia apply dengan prinsip-prinsip keberlanjutan," ujarnya.

Untuk menjembatani kesenjangan ini, Ia mendorong kolaborasi. "Private sector harus lebih proaktif bicara. Begitu bicara sama-sama dengan civil society dan bicara sama-sama dengan government, we need to sit together. Karena ini agenda besar, enggak bisa diselesaikan oleh satu," tegasnya.
IBC pun mulai menginisiasi dan mendokumentasikan inisiatif baik yang dilakukan sektor swasta, mendekatkannya dengan program pemerintah dan masyarakat sipil.
Peran kualitas dan inklusivitas dalam pasar karbon
Pakar dan praktisi karbon Paul Butar Butar menyoroti isu kualitas karbon kredit yang menjadi perhatian global. Ia merujuk pada laporan Guardian yang menuduh adanya "overestimated" dalam klaim penurunan emisi beberapa proyek, menyebabkan penurunan signifikan dalam permintaan karbon kredit, terutama untuk proyek-proyek lama. Pembeli kini mencari "high quality carbon credit" yang dihasilkan dari proses yang sangat terperinci dan mempertimbangkan aspek sosial.
Salah satu inisiatif baik yang berhasil menjawab tuntutan ini adalah penerapan Gold Standard. Standar ini, menurutnya, memastikan bahwa sebuah proyek karbon dibangun dengan melibatkan masyarakat secara penuh dan transparan.
"Kalau ada perusahaan atau ada proyek karbon yang mendapatkan gold standard, itu memastikan bahwa proses untuk mendapatkan proyek karbon itu, itu sudah benar-benar high quality mempertimbangkan aspek masyarakat. Hal ini juga berdampak pada harga karbon kredit yang cenderung premium,” ujarnya.

Natalia Ralucky Marsudi, Founder dan Chief Executive Officer (CEO) Fairatmos, sependapat dengan pentingnya kualitas dan integritas. Ia melihat potensi besar hutan di Asia Tenggara sebagai penyerap emisi, namun hanya sebagian kecil yang telah merealisasikan nilai ekonomi dari karbon kredit.
Ia menjelaskan cita-cita dibangun Fairatmos demi mewujudkan fairness dan inclusive dalam restorasi atmosfer, dengan memanfaatkan teknologi untuk mempermudah aksesibilitas semua pihak, termasuk hutan desa, hutan sosial, bahkan individu, untuk berpartisipasi dalam proyek karbon.
Ia juga menekankan pentingnya agenda perubahan dalam setiap proyek karbon. Proyek harus memberikan nilai ekonomi kepada komunitas yang terlibat dalam menjaga dan merestorasi hutan atau mangrove. "Diharapkan ada nilai ekonomi yang tersatukan dengan kegiatan yang baru," katanya, merujuk pada mekanisme pembagian hasil yang jelas bagi masyarakat, perusahaan, investor, dan pemerintah proyek.

Aspirasi untuk masa depan pasar karbon Indonesia
Melihat ke depan, para pembicara memiliki aspirasi tinggi untuk pasar karbon Indonesia. Natalia Ralucky Marsudi berharap adanya pasar karbon mampu menyalurkan nilai ekonomi kepada seluruh lapisan masyarakat.
Ia menegaskan untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan "Koloborasi, pikiran terbuka, dan benar-benar menerima aspirasi dari seluruh pihak bahwa ini adalah sektor yang sangat dinamis."
Paul Butar Butar ingin Indonesia menjadi pemain utama dalam pasar karbon global, bukan sekadar slogan.
Sementara itu, William Sabandar percaya bahwa Indonesia dapat keluar dari jebakan pendapatan menengah jika pembangunan berkelanjutan, termasuk pasar karbon, sepenuhnya diintegrasikan dalam praktik pemerintahan dan negara. "Kalau kita mau be a reachable, we need to build our own carbon market yang credible and internationally recognized," pungkasnya.
Intinya, keberhasilan pasar karbon Indonesia di masa depan akan sangat bergantung pada kemampuan kita untuk terus memperkuat kapasitas, mendorong kolaborasi antar sektor, serta memastikan bahwa inisiatif yang dijalankan adalah inisiatif yang berkualitas tinggi dan memberikan manfaat inklusif bagi seluruh masyarakat.