Pasca pandemi Covoid-19, Kementerian Keuangan melakukan kajian terkait insentif yang bisa diberikan kepada masyarakat sembari mendorong gairah perekonomian. Sebuah tim lalu membuat analisis, dan memilih salah satu sektor yang paling punya dampak pada pertumbuhan ekonomi jika dirangsang dengan insentif yang tepat. Yaitu, sektor perumahan karena memiliki multiplier effect besar.
“Waktu itu kita mencari-cari, cara apa saja yang bisa meredam dampak pelemahan ekonomi dan menjaga pertumbuhan di sekitar 5%,” cerita Immanuel Bekti, Analisis Kebijakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, yang kini berganti menjadi Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF), dalam sebuah diskusi pertengahan tahun lalu.
Kini, insentif yang sama juga kemudian diberlakukan di saat perekonomian global mengalami ketidakpastian. Sektor perumahan mendapatkan insentif yang dinamakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP). Kementerian Keuangan menyimpulkan saat itu, pengenaan insentif ini dengan menanggung PPN hingga 100% setidaknya bisa menyumbang 0,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF) Febrio Kacaribu, kebijakan PPN DTP tidak hanya meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli rumah, tapi juga mendorong pertumbuhan sektor konstruksi.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), kinerja sektor konstruksi mencatat pertumbuhan di atas 7% sepanjang tahun 2024, dengan pertumbuhan sebesar 7,59% pada triwulan I dan 7,29% pada triwulan II (year on year).
Dorong penyerapan rumah dengan PPN DTP
Sebelumnya, insentif bebas pajak yang ditanggung pemerintah ini sudah berjalan selama dua periode. Periode pertama, PPN DTP sebesar 100 persen diberlakukan Januari sampai Juni 2024, lalu untuk Juli–Desember 2024 diberikan 50 persen. PPN DTP untuk rumah siap huni diumumkan pada November 2023, serta ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan pada 12 Februari 2024.
Pemerintah memberikan insentif pajak untuk pembelian rumah primer seharga maksimum Rp5 miliar, dengan besaran PPN yang ditanggung untuk rumah dengan harga hingga Rp2 miliar.
Selama Januari–Juni 2024, insentif PPN DTP 100 persen dinilai telah mendorong serapan rumah rata-rata Rp160 miliar–Rp170 miliar per bulan. Namun, sewaktu besaran PPN DTP diturunkan menjadi 50 persen pada Juli-Agustus 2024, serapan rumah komersial mengalami perlambatan. Realisasi penyerapan rumah komersial itu turun 33% menjadi rata-rata Rp 100 miliar per bulan.
Namun, sewaktu besaran PPN DTP diturunkan menjadi 50 persen pada Juli-Agustus 2024, serapan rumah komersial mengalami perlambatan.
Insentif PPN DTP paling banyak diserap untuk rumah komersial dengan harga kurang dari Rp1 miliar per unit, yakni berkontribusi sekitar 70%. Perpanjangan insentif PPN DTP sebesar 100 persen diyakini mampu mendorong kembali pasar perumahan, khususnya dengan harga di bawah Rp1 miliar.
Sebelumnya, insentif PPN atas rumah tapak dan satuan rumah susun pernah digulirkan pemerintah pada 2021–2022. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103/PMK.010/2021 yang memberikan PPN DTP sebesar 100 persen untuk rumah dengan harga sampai Rp2 miliar, serta PPN DTP 50 persen untuk harga di atas Rp2 miliar hingga Rp5 miliar.
Sektor properti kudu diprioritaskan
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto menegaskan, sektor properti sebagai salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi perlu diprioritaskan, karena setiap investasi properti sebesar Rp112 triliun dapat memberikan kontribusi sebesar 0,56% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
“Sektor ini juga memiliki keterkaitan dengan hampir 185 industri lainnya di sektor riil, sehingga membawa dampak besar bagi bergeraknya perekonomian,” ungkapnya.

Tak hanya itu, Joko menyampaikan, sektor perumahan juga telah memberi kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Di antaranya, kontribusi produk domestik bruto (PDB) nasional sebesar 14%, berkontribusi terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar 9%, pendapatan asli daerah (PAD) antara 35%–55%, hingga mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 14 juta–17 juta orang.
“Sektor ini juga berperan dalam menurunkan angka kemiskinan sebesar 8%, serta menekan stunting, seperti yang dicita-citakan Presiden Prabowo Subianto,” tutur dia.
Joko menambahkan, sektor perumahan bisa membuka ketersediaan lapangan pekerjaan hingga 9 juta. Selain itu, bisa menumbuhkan setidaknya 400.000 pelaku industri baru di seluruh Indonesia.
Meningkatnya permintaan masyarakat akan perumahan menjadikan sektor perumahan sebagai mesin utama penggerak perekonomian. Dalam perkembangan perekonomian di Indonesia, sektor perumahan menempati posisi penting. Sektor ini merupakan sektor strategis seperti sektor lain yakni pertanian, industri, perdagangan dan jasa.
Pertumbuhan sektor perumahan memiliki peluang besar untuk mempercepat pemulihan perekonomian. Hal ini dikarenakan sektor perumahan memiliki kemampuan untuk mendorong sektor lain supaya dapat lebih berkembang (backward and forward linkage).
Salah satu faktor yang membuat sektor perumahan mampu menyokong pertumbuhan perekonomian adalah karena sektor perumahan merupakan industri padat modal dan padat karya, serta 90% sumber daya pembangunan perumahan juga berasal dari dalam negeri.
Sektor perumahan yang fokus di bidang pembangunan perumahan merupakan salah satu sektor yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Sekitar 50.000 pekerja akan terserap untuk setiap 100.000 pembangunan rumah.
Skema KPR paling banyak
Dengan berbagai kebijakan ini, memang dampak dari sisi ekonomi masih belum signifikan. Seperti ditunjukkan dari Hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR), Bank Indonesia (BI) yang menunjukkan harga properti residensial di pasar primer pada triwulan I–2025 turun.
Hal ini tercermin dari Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) pada triwulan I–2025 yang tumbuh sebesar 1,07% (yoy) atau lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan triwulan IV–2024 sebesar 1,39% (yoy).
Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) pada triwulan I–2025 tumbuh sebesar 1,07% (yoy)
"Perkembangan harga properti tersebut dipengaruhi oleh penjualan properti residensial di pasar primer pada triwulan I–2025 yang meningkat, terutama rumah tipe kecil, di tengah penurunan penjualan rumah tipe menengah dan besar," ujar Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso.
Pada kuartal I–2025, penjualan rumah tipe kecil melesat 21,75% yoy. Namun, penjualan tumah tipe menengah dan besar anjlok masing-masing 35,76% yoy dan 11,69% yoy. Secara keseluruhan, penjualan properti residensial tercatat tumbuh sebesar 0,73 persen (yoy), meningkat dari triwulan sebelumnya yang tercatat kontraksi sebesar 15,09 persen (yoy).
Sementara dari sisi pembiayaan, survei menunjukkan bahwa sumber utama pendanaan untuk pembangunan properti residensial masih berasal dari dana internal pengembang, dengan pangsa mencapai 77,28%.
"Dari sisi konsumen, sebagian besar pembelian rumah di pasar primer dilakukan melalui skema pembiayaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dengan pangsa sebesar 70,68% dari total pembiayaan," ujarnya.
Mukhlison