Sudah tiga hari berlalu sejak ribuan pengemudi ojek online, taksi online, dan kurir daring memenuhi jalanan di depan Istana Negara Jakarta. Senin (21/7), mereka turun serempak membawa satu pesan yang sama: keadilan yang nyata, bukan janji yang kian kabur.
Aksi yang mereka sebut Aksi 217 digadang-gadang sebagai demonstrasi terbesar pengemudi online sejauh ini. Mereka mogok massal alias offbid dan membawa lima tuntutan utama: negara menghadirkan UU atau Perppu Transportasi Online, skema bagi hasil lebih adil (driver 90%, aplikator 10%), penetapan tarif pengantaran barang dan makanan, audit investigatif ke aplikator, dan penghapusan sistem-sistem yang dianggap memecah solidaritas pengemudi; seperti Aceng, Slot, Hub, dan Multi Order.
Ketua Umum Garda Indonesia, Igun Wicaksono, menyebut demo ini adalah puncak kekecewaan. “Pemerintah, terutama Presiden Prabowo Subianto, tidak tegas dan tak responsif. Bahkan malah ada wacana kenaikan tarif ojol hingga 15 persen, padahal masalah potongan aplikator belum selesai,” kata Igun, mengutip CNN.
Igun menegaskan jika tak ada respons konkret, aksi akan berlanjut bergelombang hingga Desember. Sebagai gambaran, saat ini ada lebih dari 7 juta mitra ojek online yang tersebar di seluruh Indonesia. Di samping pengemudi ojek online, ada pula pelaku UMKM yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem transportasi online.
Kemenhub: masih menampung pertimbangan, belum final
Di sisi lain, pemerintah menyatakan rencana kenaikan tarif ojol belum final. Kemenhub sendiri menggelar focus group discussion (FGD) bertema Transportasi Online yang Adil dan Berkelanjutan, pada Kamis siang (24/07) di Jakarta. Forum ini dibentuk untuk mematangkan aturan transportasi online agar tercipta aturan yang bersifat adil dan berkelanjutan bagi seluruh ekosistem.
"Sebagai regulator di bidang transportasi, kami perlu menyerap berbagai informasi dan data untuk memutuskan suatu kebijakan transportasi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Forum ini bukanlah forum untuk memutuskan tetapi untuk berdiskusi," ungkap Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Aan Suhanan.
Menurut Dirjen Aan, pengaturan terkait ekosistem ini membutuhkan sinergi lintas kementerian, mulai dari Kementerian Komunikasi dan Digital terkait platform aplikasi, Kementerian Ketenagakerjaan terkait dengan sistem tenaga kerja, dan lain sebagainya.
“Maka dari itu, kita perlu melihat seluruh sudut pandang dan penuh kehati-hatian dalam mengambil kebijakan,” ujar Aan.
Perlu aturan hukum yang jelas
Dalam FGD tersebut, analis kebijakan transportasi Azar Tigor Nainggolan menekankan bahwa pijakan hukum mengenai transportasi online harus diperjelas untuk membangun kebijakan yang adil dan berkelanjutan.
"Aturan tersebut menyangkut regulasi sepeda motor sebagai alat transportasi umum, regulasi bisnis transportasi online, stakeholder bisnis transportasi online, pengemudi, perusahaan angkutan umum, serta perusahaan aplikasi itu sendiri," ujarnya.
Hal ini juga disinggung oleh pengamat transportasi Djoko Setiwarno yang menyebutkan bahwa terdapat celah hukum yang menjadi batu kerikil untuk mendapatkan jalan tengah. Saat ini, aplikator swasta tidak diakui sebagai ‘angkutan umum’ resmi, sehingga pemerintah sulit mengatur tarif atau jumlah armada.
“Peraturan itu bilang mereka cuma aplikator, bukan operator transportasi. Akibatnya pemerintah tidak punya kuasa penuh,” kata Djoko kepada Suar melalui telekonferensi daring (24/07).
Kendati demikian, perwakilan aplikator dalam diskusi mengatakan bahwa biaya potongan aplikator saat ini sudah ada pada titik keseimbangan. Adapun, hal itu diperuntukkan untuk pengembangan teknologi, biaya operasional, program kesejahteraan pengemudi, hingga harga promosi bagi para konsumen.
Dalam kesempatan yang sama, salah satu mitra pengemudi, Reymon Dwi Kusnadi menegaskan aspirasi pengemudi-pengemudi ojol selama rangkaian demi, terkait pentingnya perjanjian kemitraan dengan aplikator yang mengindahkan aspek-aspek hukum sehingga warga negara dapat mendapatkan pekerjaan dan penghidupan dengan layak.
Sikap aplikator: menghormati aksi, tetap beroperasi
Grab Indonesia melalui Chief of Public Affairs, Tirza Munusamy, menyatakan menghargai hak pengemudi untuk menyampaikan aspirasi secara tertib. “Operasional Grab tetap berjalan. Sistem kami otomatis mengalihkan pesanan ke mitra lain jika ada penyesuaian,” jelasnya kepada SUAR (22/07).
Grab juga menyambut baik rencana pemerintah meninjau ulang struktur biaya jasa transportasi daring. “Sudah tiga tahun lebih belum ada penyesuaian signifikan, padahal biaya hidup dan operasional mitra naik,” katanya.
Tirza menekankan pentingnya kajian menyeluruh agar kebijakan baru tak hanya berpihak pada satu pihak, melainkan membangun ekosistem yang adil dan berkelanjutan.
Maxim: kaji ulang, jangan kontraproduktif
Berbeda nada, penyedia layanan transportasi online Maxim justru mengingatkan pemerintah soal risiko kenaikan tarif. Menurut Government Relation Specialist Maxim Indonesia, Muhammad Rafi Assagaf, rencana kenaikan tarif 8%—15% untuk armada roda dua perlu dikaji ulang secara komprehensif.
“Kami melihat bahwa rencana kenaikan tarif harus dikaji ulang secara menyeluruh dengan melibatkan seluruh stakeholder,” kata Rafi dalam keterangan resminya, Rabu (2/7).
Maxim menilai kenaikan tarif bisa memicu efek kontraproduktif: dari sisi konsumen, biaya jadi lebih mahal sehingga permintaan turun, waktu penjemputan bertambah, hingga lonjakan pembatalan. Dari sisi pengemudi, jika permintaan turun drastis, pendapatan harian justru ikut tertekan.
Sebagai contoh, di Kalimantan Timur, kenaikan tarif sempat membuat pembatalan melonjak hingga 37%. Di Makassar dan Palopo, permintaan perjalanan turun 50% hanya dalam dua minggu, dengan lebih dari 30% konsumen berhenti menggunakan layanan.
“Ketidakseimbangan antara permintaan dan sumber daya akibat kenaikan tarif akan membuat perusahaan sulit bertahan di Indonesia,” tegas Rafi. Maxim meminta pemerintah memperhatikan daya beli masyarakat dan kelangsungan mitra pengemudi sebelum memutuskan.
Bukan sekadar aplikasi: mimpi transportasi online yang lebih adil
Di tengah sengkarut polemik tarif ojol ini, Djoko Setiwarno, pengamat transportasi yang sekaligus merupakan dosen di Universitas Katolik Soegijapranata, membayangkan sebuah aplikasi transportasi online di Indonesia yang tidak hanya memudahkan penumpang memesan ojek atau mobil, tetapi juga mampu memastikan kesejahteraan pengemudi, menekan tarif komisi yang tinggi, dan melindungi kepentingan publik.
Bagi Djoko, gagasan itu bukan hanya mimpi. Sudah sejak lama ia mengusulkan agar pemerintah Indonesia punya aplikasinya sendiri, seperti yang sudah dilakukan Korea Selatan.
“Di Korea, mereka bikin aplikasi sendiri, karena ingin melindungi warganya,” kata Joko dalam wawancara panjang bersama SUAR. Menurutnya, jika negara punya aplikasi sendiri, maka pemerintah bisa langsung mengatur kebijakan tarif, jumlah pengemudi, dan standar pelayanan publik.
“Itu yang sekarang tidak ada di Indonesia. Semua dibiarkan terbuka, siapa saja bisa daftar, tanpa batas. Akhirnya keseimbangannya rusak,” tambahnya.
Kenapa penting?
Saat ini, ekosistem transportasi online di Indonesia didominasi swasta. Perusahaan aplikasi, atau sering disebut aplikator, menjadi pihak yang paling punya kuasa: menentukan komisi yang dipotong dari pengemudi, menaikkan atau menurunkan tarif, hingga memutus kemitraan.
Djoko menilai, tidak adanya kendali langsung dari pemerintah membuat ketimpangan semakin lebar. “Sekarang pengemudi itu sebenarnya cuma ‘numpang hidup’. Semua risiko dibebankan ke mereka,” ujarnya.
Menurutnya, jika negara punya aplikasi sendiri, pemerintah bisa ikut campur mengatur kuota jumlah pengemudi, mengawasi pola kerja agar lebih manusiawi, hingga menentukan batas maksimal potongan komisi.
Salah satu persoalan besar yang sering dikeluhkan pengemudi adalah tingginya potongan komisi. Joko menjelaskan, jika aplikasi dimiliki negara, potongan komisi maksimal bisa diatur hanya 10 persen.
“Kalau swasta kan bisa 20 persen, bahkan lebih. Itu memberatkan,” jelasnya.
Selain soal komisi, aplikasi milik pemerintah juga memungkinkan lahirnya kebijakan lebih adil, misalnya soal jaminan sosial, cuti, atau asuransi kecelakaan. “Karena kalau sekarang, aplikator hanya mikir masuk uang. Mereka tidak wajib mikirin kesejahteraan pengemudi,” katanya.
Tantangan: kekuasaan dan investor
Djoko mengaku sudah menyampaikan ide ini sejak lama, bahkan sempat disarankan langsung kepada Presiden Joko Widodo. Ia mencontohkan, bisa saja prioritas diberikan kepada mereka yang kesulitan mendapat pekerjaan tetap, misalnya karena faktor usia atau pendidikan.
Menurutnya, model seperti ini pernah dilakukan di Korea Selatan, di mana pemerintah kota memiliki aplikasi sendiri sebagai alternatif platform swasta. “Kalau pemerintah punya, mereka bisa kontrol. Tarif, parkir, rute, semua bisa diatur,” jelasnya.
Namun, mewujudkan aplikasi milik negara bukan perkara mudah. Salah satunya, kata Joko, adalah soal keberanian politik. “Kalau pemerintah bikin sendiri, pasti investor protes. Kan aplikator swasta sudah terlanjur besar, sudah banyak masuk modal,” ujarnya.
Djoko tak menampik, ide transportasi online milik negara memang sensitif secara politik. “Pemerintah pasti khawatir dicap mematikan usaha swasta. Apalagi sudah ada investor besar,” kata Joko. “Tapi kalau benar-benar mau melindungi warganya, ya pemerintah harus berani.”
Menurut Djoko, membuat aplikasi sendiri bukan berarti mematikan yang sudah ada. Platform milik negara bisa jadi pilihan tambahan, dan dijalankan dengan standar lebih ketat. “Biar ada saingan sehat. Sekarang kan cuma dua-tiga pemain besar, itu pun swasta,” jelasnya.
Ia berharap, jika pemerintah serius membangun transportasi online yang lebih adil, ini bukan hanya soal teknologi, tetapi soal keberanian menjaga keseimbangan antara kepentingan konsumen, pengemudi, dan ekosistem transportasi. “Karena pada akhirnya, transportasi online itu bukan hanya soal aplikasi. Tapi soal bagaimana kita melindungi orang yang bekerja dan orang yang memakai jasa itu,” pungkasnya.