Undercover Gen Z in the Workspace

Gen Z is twice as likely as the boomer generation to disguise their flaws.

Table of Contents

Pasar tenaga kerja sekarang ini mulai dibanjiri generasi yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, yang lebih dikenal sebagai Generasi Z, atau Gen Z. Berbeda dari generasi sebelumnya, Gen Z memiliki karakteristik unik.

Gen Z yang tumbuh dengan internet, media sosial, dan teknologi, menggunakan komunikasi digital sebagai bahasa ibu mereka. Mereka terbiasa dengan kemudahan akses informasi, platform yang efisien, dan teknologi yang canggih dalam setiap aspek pekerjaan.

Sehingga dengan arakteristik yang berbeda itu, dalam dunia kerja, departemen sumber daya manusia perlu melakukan setting ulang standar kerja, agar Gen Z bisa beradaptasi, berinovasi, dan merumuskan strategi keterlibatan yang lebih efektif.

Mengabaikan karakteristik kaum Gen Z dapat berdampak signifikan pada retensi, produktivitas, dan budaya perusahaan. Karena Gen Z cenderung menginginkan pekerjaan yang memiliki makna, selaras dengan nilai-nilai pribadi mereka, yang memberikan dampak positif bagi masyarakat atau lingkungan. Perusahaan dengan visi dan misi yang jelas akan lebih menarik bagi mereka.

Namun di balik keistimewaannya, Gen Z juga memiliki karakteristik negatif yang lebih banyak ditemui di generasi mereka, daripada generasi sebelumnya. Berdasarkan berbagai studi, ternyata pekerja Gen Z dua kali lebih mungkin menyamarkan kekurangan diri mereka dibandingkan generasi boomer. Bahkan 56% di antaranya melakukan hal tersebut kepada atasan atau divisi HRD.

Hampir setengah dari Gen Z cenderung menyembunyikan kesehatan mental, kebiasaan perawatan diri, atau pengalaman masa lalu untuk memproyeksikan citra profesional yang kuat sehingga mereka lebih mudah dipromosikan.

Perilaku seperti ini lazim disebut sebagai quiet covering. Yaitu tindakan karyawan menyembunyikan atribut personal tertentu, seperti usia, etnis, orientasi seksual, atau kondisi kesehatan, agar diterima di tempat kerja, terlihat profesional, dan memiliki peluang karier yang lebih baik.

Fenomena ini mencerminkan dilema antara keaslian diri dan kebutuhan untuk diterima di lingkungannya, sekaligus menyoroti isu ketidaknyamanan psikologis dan tekanan untuk tampil sempurna dalam budaya kerja yang obsesif.

Di balik kecenderungan Gen Z menyembunyikan kekurangannya, fenomena  ini sekaligus menyingkap persoalan ontologis tentang identitas dalam konteks modern, terutama di lingkungan profesional. Individu dihadapkan pada pertanyaan filosofis: "Siapa saya sebenarnya dalam peran di korporasi?" dan "Bagaimana saya menjaga keaslian diri di dunia yang menghargai keberagaman?"

Karenanya, quiet covering bertentangan dengan konsep etika kemandirian dan otonomi, di mana individu seharusnya memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri mereka secara autentik. Individu yang melakukan quiet covering terpaksa menekan aspek diri mereka demi diterima, mengorbankan otonomi demi keselamatan dan penerimaan sosial. 

Secara sosial, quiet covering adalah manifestasi dari stigma dan stereotip yang ada dalam masyarakat, khususnya terhadap Gen Z. Sebagai individu, ia merasa perlu menutupi atribut pribadi mereka untuk menghindari diskriminasi dan ketidakadilan. 

Dari sudut pandang pragmatis, quiet covering dapat dilihat sebagai strategi untuk bertahan hidup dan mencapai tujuan di lingkungan kerja yang kompetitif. Sebagai individu, mereka menerapkan tindakan kamuflase untuk mencapai keuntungan pragmatis, seperti promosi dan penerimaan sosial. 

Namun dampaknya, dengan menutupi sebagian identitas, individu kehilangan separuh dari kemanusiaannya, yang berdampak pada kesehatan mental, keterlibatan, dan kesejahteraan. 

Karyawan yang tidak merasa aman untuk menunjukkan ide autentik mereka akan terhambat dalam pengajuan ide-ide inovasi, sebuah konsep penting dalam filsafat sosial yang mempromosikan kebebasan berpikir. 

Adanya fenomena ini menunjukkan bahwa perusahaan juga perlu melakukan mitigasi dengan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan suportif. Yang sejalan dengan nilai-nilai keadilan dan penghargaan terhadap keberagaman.

Seorang pimpinan juga perlu menciptakan lingkungan kerja yang aman dan mendukung, di mana karyawan merasa nyaman untuk mengekspresikan diri tanpa takut penilaian negatif, diskriminasi, atau hambatan karier. 

Seorang pemimpin dapat memperkuat komunikasi terbuka, menggelar sesi one-on-one untuk memahami masalah anak buahnya, menciptakan budaya inklusif, dan menetapkan kebijakan yang melindungi keragaman. 

Ia juga perlu proaktif dalam memonitor tingkat kepuasan karyawan, menanggapi feedback, dan mengidentifikasi tanda-tanda masalah. Lakukan tindakan yang diperlukan, dengan menyodorkan solusi dan dukungan yang tepat untuk menangani akar masalah quiet covering.