Bertukar pikiran, berbalas gagasan, jika dipantik dengan pikiran jernih, maka akan menjadi sebuah diskusi yang mencerahkan. Namun, terkadang kita berhadapan dengan argumen yang tampak kuat, tetapi sebenarnya rapuh, karena dibangun di atas logical fallacy—kesalahan dalam penalaran yang menyesatkan.
Berdebat dengan orang yang memakai penalaran yang keliru, tak akan pernah menghasilkan kesepakatan. Kita hanya berputar-putar membahas sesuatu tanpa ujung. Penyebab kesesatan berpikir seperti ini berangkat dari pemaksaan prinsip logika tanpa memerhatikan relevansinya.
Memang sudah dari sononya, manusia akan cenderung lebih individualistik dalam mengartikulasikan pendapatnya. Jika perlu, pendapat orang lain yang tidak sama dengan pandangannya adalah keliru.
Menurut filsuf asal Jerman, Arthur Schopenhauer, ada kecenderungan manusia dalam berbalas argumentasi atau berdialektika malah kerap menjadikannya sebagai ajang untuk mengalahkan lawan. Manusia secara tak sadar akan selalu menunjukkan kepuasannya sebagai makhluk arogan. Diskusi, debat, atau dialektika dipahami hanya sebagai keterampilan untuk menang.
Agar bisa memenangkan pendapatnya itu, manusia mampu melakukan berbagai hal yang jauh dari nilai sportivitas. Ia akan melemahkan argumen dengan mendistorsi, menarik kesimpulan yang salah, serta menyalahgunakan bukti atau bahasa.
Lalu bila ada orang dengan sengaja menggunakan logical fallacy dan itu dipaksakan ke orang lain agar dibuat sebuah kebijakan, maka ini sudah di level manipulatif yang merugikan. Orang manipulatif seringkali menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain demi keuntungan pribadi.
Orang manipulatif seringkali menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain demi keuntungan pribadi.
Seringkali, tindakan ini dilakukan secara halus dan sulit dikenali, membuat korbannya merasa bingung, bersalah, atau bahkan tidak sadar bahwa mereka sedang dimanipulasi.
Perlawanan terhadap kesesatan logika
Untuk menghadapi kesesatan logika orang lain, selain perlu tetap tenang, kita perlu mengidentifikasi kekeliruan yang digunakan, dan melakukan cek dan recek atas apa yang menjadi argumen kita. Lalu, siapkan perlawanan untuk menetralkan pola pikir yang salah dari lawan diskusi yang manipulatif.
Perlawanan ini tujuannya bukan mengalahkan, tetapi menunjukkan keterbatasan-keterbatasan dalam argumentasi pihak seberang. Bukan hal yang haram juga, bila dalam mematahkan argumentasi orang tersebut, kita juga menggunakan argumen-argumen sesat pikir. Sepanjang kita bisa mempengaruhinya, mengalahkannya
Siasat perlawanan ini dimaksudkan untuk menunjukkan keterbatasan argumentasi dan kesempitan cara berpikir pihak lawan diskusi. Dengan cara itu, kita memberi pelajaran bahwa argumentasi yang diajukan lawan tadi memiliki banyak lubang, dan bukan satu-satunya kebenaran.
Selain memberikan dua modus meruntuhkan argumen lawan, Schopenhauer juga memberikan dua metode untuk menolak argumen, yakni menolak secara langsung dan menolak secara tidak langsung. Metode langsung dilakukan dengan cara menyerang landasan argumen lawan secara langsung. Sedangkan metode tidak langsung menyerang argumen lawan dengan menelisik konsekuensi-konsekuensi dari argumen tersebut.
Yang harus diingat, saat berargumen dengan serangan pikiran yang sesat logika, jangan mudah terjebak dalam provokasi. Fokuslah pada substansi. Jika seseorang menyerang pribadi, arahkan kembali ke isi argumen, lalu ajukan pertanyaan yang mengundang klarifikasi, dengan membuka ruang dialog.
Yang harus diingat, saat berargumen dengan serangan pikiran yang sesat logika, jangan mudah terjebak dalam provokasi. Fokuslah pada substansi.
Dengan begitu, setiap diskusi adalah ladang. Kita bisa menanam benih kebijaksanaan, atau menyebar duri ego. Ruang publik adalah tempat kita hadir sebagai manusia yang berpikir dan bertindak.
Dialog adalah jalan menuju hikmah. Ketika menghadapi logical fallacy, jangan hanya jadi pembantah, tapi jadilah orang yang menuntun menuju kesimpulan yang bermakna. Jadilah cahaya di tengah gelapnya nalar yang tersesat.