Mengukur Kesiapan Pembangunan PLTS 80 GW di 80.000 Koperasi Desa Merah Putih

Pemerintah berencana akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) 80 GW di lebih dari 80.000 koperasi desa merah putih. Siapkah pembangunannya?

Mengukur Kesiapan Pembangunan PLTS 80 GW di 80.000 Koperasi Desa Merah Putih
Petani merawat instalasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) untuk mesin pompa air irigasi di persawahan desa Juntinyuat, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (31/7/2025). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/bar.
Table of Contents

Belum rampung realisasi Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih yang digadang-gadang jadi motor baru kedaulatan ekonomi desa, pemerintah kembali meluncurkan rencana besar: membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di setiap desa, lengkap dengan baterai penyimpanan energi melalui Kopdes. 

Tak tanggung-tanggung, rencananya akan ada 80.000 desa yang mendapatkan satu PLTS berkapasitas 1 megawatt serta baterai sebesar 4 megawatt jam. Totalnya, lebih dari 80 gigawatt (GW) pembangkit surya tersebar akan dibangun, ditambah 20 GW dari pembangkit terpusat. Proyek ini tak sekadar ambisi energi hijau, ia sedang disusun sebagai tulang punggung energi bersih berbasis komunitas.

"Sesuai arahan Bapak Presiden Prabowo, kita harus membangun listrik energi baru terbarukan dari tenaga matahari. Ke depan akan kita bangun kurang lebih sekitar 100 GW," ujar Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) RI pada Selasa (5/8/2025) dikutip Antara.

Selama bertahun-tahun, agenda transisi energi di Indonesia didominasi korporasi besar. Kini, pemerintah mengajukan pendekatan baru: koperasi rakyat. Di atas kertas, ini menjanjikan desentralisasi dan kemandirian.

Namun, proyek raksasa ini tentu tak bisa jalan sendiri. Secara teknis, pengamat menyebut program ini mungkin dilakukan. Lahan sebesar satu hektare di tiap desa bisa dicari. Teknologi PLTS pun kini relatif murah, modular, dan cepat dibangun. Tapi satu hal yang tidak bisa dibeli: kesiapan sumber daya manusia. 

Menurut perhitungan Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam skema ini, setiap desa akan menjadi operator pembangkitnya sendiri, bernaung di bawah koperasi desa. Artinya, dibutuhkan lebih dari 35.000 tenaga teknis baru setiap tahun untuk memastikan PLTS ini dibangun dan dirawat dengan baik.

Fabby menyebut pemerintah harus segera membentuk satuan tugas khusus atau project management unit yang akan menangani perencanaan dan pengawasan proyek ini secara nasional. Tanpa itu, koperasi desa akan kesulitan mengurus hal-hal teknis.

“Desain teknis, pengadaan barang, pemetaan lokasi, itu harus ditangani di level nasional,” kata Fabby kepada SUAR, Jumat (08/08). Sementara itu, koperasi akan berperan seperti “PLN skala desa” yang menjalankan distribusi dan pemeliharaan harian. 

Namun, wacana sebesar ini tidak bisa dibangun di atas angan dan slide presentasi semata.

Potensi besar, tantangan besar

Bagi Fabby, tantangan paling besar bukan pada soal teknologi, melainkan pada manajemen, perencanaan, finansial, dan sumber daya manusia. 

Tiga tahap utama harus diperhatikan secara serius: perencanaan, implementasi, dan operasi. Untuk itu, badan khusus seperti project management unit yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden sangat dibutuhkan, mengelola proses dari hulu ke hilir, dari desain hingga eksekusi. Koperasi baru akan mengambil alih saat pembangkit selesai dan mulai dioperasikan.

Masalah tenaga kerja juga krusial. Membangun satu PLTS per desa saja membutuhkan sekitar 30–50 tenaga kerja dengan keterampilan teknis tertentu. Dengan target 20.000 PLTS per tahun, Indonesia akan membutuhkan puluhan ribu teknisi terlatih. Namun, ini juga merupakan peluang besar untuk menciptakan lapangan kerja hijau di daerah-daerah.

“Terutama jika didukung oleh pelatihan dari lembaga vokasi dan kerja sama dengan SMK atau perguruan tinggi lokal. Anak-anak muda lulusan teknik bisa langsung kerja sebagai teknisi pembangunan atau operator pembangkit di desanya sendiri,” kata Fabby.

“Bayangkan, sarjana teknik bekerja di desa sebagai operator pembangkit. Itu keren,” lanjutnya.

Tak hanya tenaga kerja, aspek manufaktur juga penting. Menurut Fabby, jika proyek ini benar-benar dijalankan, akan terjadi lonjakan besar permintaan modul surya. Untuk itu, pemerintah perlu merangkul industri dalam negeri, mendorong produsen panel surya tier-1 untuk memproduksi dalam skala besar, dan menekan harga melalui mekanisme bulk procurement atau pengadaan massal. Ini tidak hanya akan menekan biaya investasi, tetapi juga menciptakan industri energi bersih dalam negeri yang kuat.

“Makanya dibuat yang namanya mekanisme bulk procurement, dengan harga yang relatif seragam gitu,” ujar Faby. Jika dijalankan dengan baik, Fabby percaya koperasi bisa menjadi “PLN skala desa” yang mandiri dan berkelanjutan.

Namun, proyek sebesar ini memerlukan biaya yang sangat besar. Pemerintah memperkirakan total kebutuhan dana mencapai US$ 100 miliar. Fabby tak menampik bahwa sebagian akan bersumber dari APBN, namun menurutnya dana ini tak harus sepenuhnya ditanggung negara.

"Membangunnya itu juga butuh dana. Pastinya untuk awal itu dari APBN. Tapi tidak semuanya. Kalau ini dikelola dengan benar, pemerintah juga bisa memobilisasi pendanaan dari pihak lain," ungkap Fabby.

Ia juga menyarankan skema pembiayaan campuran atau blended finance: APBN lewat Danantara atau PT SMI, ditambah pinjaman dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), hingga Bank Eurasia (EDB). Tapi tak kalah penting, Fabby menekankan bahwa masyarakat desa bisa ikut memiliki PLTS melalui koperasi, bukan sekadar menjadi penerima manfaat.

“Masyarakat ikut jadi pemilik saham. Di akhir, mereka akan dapat return dari beroperasinya PLTS ini,” tandasnya.

Keadilan energi tak bisa dipukul rata

Zaky Amali, peneliti Trend Asia, juga menyambut positif pendekatan PLTS sebagai pionir demokratisasi energi. Namun, ia mengingatkan bahwa proyek sebesar ini tak bisa dibangun dengan pendekatan satu resep untuk semua. “Kita tak bisa memukul rata semua desa harus pakai PLTS,” ujarnya. 

Indonesia adalah negara kepulauan dengan topografi, iklim, dan potensi energi terbarukan yang sangat beragam. Daerah yang lembap atau sering mendung, misalnya, lebih cocok dengan pembangkit mikrohidro ketimbang PLTS. “Kalau semua dipukul rata pakai PLTS, itu justru bertentangan dengan semangat transisi yang adil,” ujar Zaky. 

Apalagi dalam dokumen resmi pemerintah sendiri, seperti RUPTL 2025–2034,  target pembangunan PLTS nasional hingga 2035 hanya 17,1 GW – jauh dari angka 100 GW yang belakangan dilontarkan oleh pejabat publik.

Lebih dari soal teknis, Zaky mengingatkan pentingnya mendengarkan kehendak warga desa. “Apakah masyarakat setuju dengan PLTS? Kalau tidak, apa solusi alternatifnya?” katanya.

Transisi energi tak boleh berhenti di teknologi. Ia harus adil, partisipatif, dan membawa manfaat nyata.

Hijau atau sekadar etiket?

Kecurigaan terhadap proyek ini tak lepas dari sejarah panjang proyek hijau yang berakhir sebagai greenwashing. Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia, mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar: siapa sebenarnya yang akan diuntungkan? 

“Bungkus 'desa' dan 'koperasi' bisa saja menimbulkan kesan akar rumput, tapi siapa yang mengendalikan hulunya?” tukasnya.

Jika yang bermain tetap pelaku industri besar, dari tambang nikel, pasir kuarsa, smelter, hingga pemasok komponen, maka yang terjadi bukan desentralisasi, tapi sentralisasi dengan wajah baru. Menurut Yuyun, proyek ini bisa menjadi gula-gula energi terbarukan yang dibungkus sentralisasi baru.

Masalah utamanya bukan hanya teknologi dan dana, tetapi tata kelola. Tanpa akuntabilitas dan partisipasi publik yang kuat, desa bisa jadi objek eksploitasi baru, bukan oleh tambang, tapi oleh “potensi surya”. 

“Kalau tidak dirancang dengan benar, PLTS-nya jadi bangunan mati,” ujar Fabby. Banyak proyek EBT mangkrak karena tak sesuai kebutuhan, pengelolaan lemah, atau kualitas buruk.

Banyak proyek EBT mangkrak karena perencanaan tak matang, pengelolaan lemah, atau kualitas buruk. Maka, diperlukan standardisasi teknis sejak awal, termasuk desain pembangkit yang kompatibel dengan jaringan PLN (on grid).

Yuyun menyebut pentingnya pembangunan safeguards: perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat terdampak, termasuk hak atas informasi, persetujuan, dan keterlibatan penuh sejak tahap desain hingga operasional. Maka, diperlukan standardisasi teknis sejak awal, termasuk desain pembangkit yang kompatibel dengan jaringan PLN (on grid).

Siapa yang pegang saklar?

Mada Ayu Habsari dari Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menyambut baik segala usaha percepatan pembangkitan energi. Menurutnya, PLTS sangat cocok untuk desa-desa 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Namun ia mengingatkan potensi “konsumtif” warga setelah teraliri listrik. “Apakah listrik akan mendorong produktivitas, atau justru konsumsi berlebih?” tanyanya.

AESI juga menyoroti pentingnya partisipasi masyarakat dan kemampuan membayar. Sementara dari sisi industri, PLTS dan Battery Energy Storage System (BESS) dapat membuka pasar baru dan menarik investor.

Energi surya tak cukup sekadar pasang panel

Bagi Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), gagasan mendorong kemandirian energi di desa melalui koperasi seperti Kopdes Merah Putih pada dasarnya adalah langkah progresif. Namun, ia menegaskan, semangat besar saja tidak cukup. Proyek sebesar ini membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, bukan hanya dari sisi teknologi, tapi juga ekosistem pendukungnya.

“Panel surya bisa dipasang di banyak tempat, tapi yang sering dilupakan adalah SDM dan pendampingannya,” ujar Bhima. Pemasangan hanyalah tahap awal. Perawatan, pengoperasian harian, hingga respons cepat saat ada gangguan tetap membutuhkan tenaga teknis dari desa itu sendiri.

Senada dengan Fabby, Bhima menyebut, keberhasilan proyek semacam ini akan sangat bergantung pada keberadaan sekolah vokasi, pelatihan berbasis komunitas, dan dukungan jangka panjang. Jika tidak, PLTS hanya akan jadi instalasi mangkrak, seperti banyak proyek EBT (energi baru terbarukan) sebelumnya yang gagal beroperasi karena tak ada yang mengelola.

Bhima juga menggarisbawahi pentingnya membangun rantai pasok domestik. “Kalau semua komponen masih impor, kita hanya memindahkan ketergantungan energi dari fosil ke manufaktur luar negeri,” katanya. Indonesia perlu mengembangkan industri panel surya, baterai penyimpanan, dan komponen pendukung lainnya agar proyek ini benar-benar berdampak ekonomi.

Selain soal teknis dan SDM, pemanfaatan lahan menjadi isu penting lain. Panel surya, dalam skala besar, membutuhkan ruang. Tapi desa-desa tak selalu punya lahan menganggur. Maka, pendekatan kreatif dibutuhkan: apakah itu lewat pemasangan atap rumah warga, pemanfaatan lahan pertanian ganda, atau model agrovoltaic seperti di Eropa, di mana atasnya terpasang panel, dan bawahnya tetap bisa digunakan untuk peternakan.

“Ini bukan hal baru. Di luar negeri, peternakan sapi atau domba bisa jalan berdampingan dengan PLTS,” kata Bhima. Tapi di Indonesia, pendekatan seperti ini nyaris belum dijamah dalam kebijakan publik.

Lebih lanjut, Bhima mengingatkan agar semangat transisi energi ini tidak justru memusat pada satu model kelembagaan. “Energi terbarukan berbasis komunitas tidak harus dimonopoli oleh Kopdes Merah Putih,” ujarnya. Ia mencontohkan banyak komunitas yang sudah lebih dulu mengembangkan mikrohidro atau biomassa secara swadaya.

“Kenapa mereka tidak yang dibantu, difasilitasi, lalu dikembangkan skalanya? Itu bisa lebih cepat dan efektif dibanding membangun dari nol,” tegasnya.

Siapa pegang uang, siapa punya akses?

Isu pembiayaan juga jadi ganjalan besar. Menurut Bhima, pendanaan proyek semacam ini tidak bisa hanya mengandalkan pinjaman dari Bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara), karena plafonnya terbatas dan kebijakan sektor keuangan Indonesia belum ramah terhadap proyek energi terbarukan, apalagi skala komunitas.

“Bank Himbara porsinya ke energi terbarukan masih sangat kecil. Perlu reformasi kebijakan perbankan agar bisa menyalurkan pinjaman secara aktif,” katanya. Bahkan idealnya, koperasi energi desa juga diberi akses langsung ke skema internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), agar tidak melulu menunggu intermediasi dari pusat.

Bhima menyarankan agar skema pendanaan diperluas dan tidak eksklusif. “Kalau aksesnya hanya untuk koperasi baru bentukan pemerintah, itu tidak inklusif. Harusnya semua komunitas energi bisa mengakses pendanaan hijau, baik dalam negeri maupun hibah luar negeri,” katanya.

Namun, menurut Bhima, semua mimpi besar ini tak akan berarti banyak jika aturan dasarnya tak diubah. Salah satu hambatan utama adalah sistem kelistrikan Indonesia yang sentralistik. “Komunitas tidak bisa menjual listrik ke desa tetangga karena tidak ada power wheeling,” ujar Bhima.

Power wheeling adalah mekanisme berbagi transmisi atau menjual listrik lewat jaringan milik negara. Tanpa kebijakan ini, listrik yang dihasilkan komunitas hanya bisa digunakan sendiri. Artinya, potensi bisnis dan skala ekonominya terbatas.

Saat ini, transmisi listrik dipegang penuh oleh PLN, dan komunitas tidak punya akses untuk memanfaatkan jaringan itu. “Ini yang harus direformasi. Kalau mau sungguh-sungguh mendorong energi terbarukan komunitas, regulasinya harus berpihak ke masyarakat, bukan hanya korporasi besar,” tegas Bhima.

Read more