Mengantisipasi Perlambatan Ekonomi Triwulan Ketiga

Tak seperti triwulan pertama dan kedua yang didorong belanja Lebaran dan banyaknya libur long weekend, perekonomian triwulan tiga minim dorongan musiman. Ada tantangan perlambatan di ekonomi triwulan ini.

Mengantisipasi Perlambatan Ekonomi Triwulan Ketiga
Foto Udara lokasi pembangunan konstruksi pusat perbelanjaan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (6/8/2025).ANTARA FOTO/Hasrul Said/tom.

Setelah pada triwulan kedua 2025 mencatat pertumbuhan ekonomi di atas ekspektasi, yakni 5,12%, tantangan mengadang di triwulan ketiga.

Tidak ada lagi dorongan konsumsi Lebaran dan banyaknya libur akhir pekan panjang (long weekend) seperti pada triwulan pertama dan kedua. Ini menjadi tantangan bagi Indonesia.

Pada saat yang sama, dari aspek eksternal, tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) mulai berlaku pada Agustus. Ini juga akan menambah tekanan terhadap ekspor di triwulan ini.

Ekonom Lana Soelistianingsih menilai, kuartal ketiga akan cenderung melambat secara siklus. Ia memperkirakan laju pertumbuhan berada di kisaran 4,9% hingga 5%, angka yang menurutnya masih dalam rentang pertumbuhan potensial jangka panjang Indonesia.

“Kalau 4,9% itu masih bagus, karena memang secara historis kuartal III biasanya melambat,” kata Wakil Ketua Lembaga Penjamin Simpanan periode 2020–2025 ini.

Menurut Lana, konsumsi rumah tangga yang kerap diklaim menjadi motor pertumbuhan ekonomi kini melemah. Masyarakat lebih selektif dalam berbelanja karena daya beli sedang menurun, sehingga hanya mengutamakan kebutuhan mendesak. Ditambah lagi, tanpa adanya dorongan musiman seperti libur panjang dan libur keagamaan, belanja domestik sulit menjadi penggerak utama pertumbuhan pada kuartal ketiga.

Harapan lain datang dari investasi yang mulai bergulir setelah komitmen masuk pada kuartal II. Jika pembangunan pabrik dan proyek baru mulai berjalan di kuartal ini, efek pengganda (multiplier effect) dan akselerator akan muncul. Lapangan kerja tercipta, pendapatan meningkat, dan konsumsi ikut terdorong.

Namun Lana mengingatkan, bila realisasi investasi bergeser ke kuartal IV, pengaruhnya ke pertumbuhan kuartal III akan terbatas. Investasi hanya akan menjadi bantalan agar perlambatan tidak terlalu dalam. “Kalau delay, efeknya baru terlihat di akhir tahun,” ujarnya.

Anomali pertumbuhan

Pandangan dari sisi berbeda datang dari Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan. Ia menilai lonjakan investasi secara spesifik dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di kuartal kedua justru merupakan anomali.

Menurutnya, lonjakan itu kemungkinan dipicu oleh front-loading sebelum gonjang-ganjing tarif resiprokal AS atau belanja pemerintah yang sempat ditahan. “Artinya, kita tidak bisa berharap kejutan seperti itu terulang di kuartal ketiga,” ujar Deni.

Deni melihat indikator lain justru menunjukkan tren yang menurun. Ekspor diperkirakan tertekan oleh tarif baru yang dipatok AS, dan pelemahan harga komoditas. Sementara konsumsi memang tumbuh, tapi relatif kecil dan tidak cukup menjadi pengungkit utama.

Senada dengan itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut konsumsi pada kuartal III akan kehilangan dorongan musiman. Pada semester I terdapat 22 hari 10 libur nasional, termasuk Lebaran dan Idul Adha, sementara semester II hanya menyisakan lima hari libur.

“Dengan mobilitas yang lebih terbatas, konsumsi rumah tangga tidak akan setinggi paruh pertama,” ujarnya.

Dari sisi ekspor, Josua senada dengan Deni. Ia menjelaskan bahwa kinerja kuartal II yang melonjak karena adanya front-loading sebelum tarif resiprokal tidak bisa berulang di kuartal III, apalagi di sektor tekstil, alas kaki, dan elektronik sangat rentan terhadap tarif baru. Menurutnya, kontraksi ekspor bisa saja terjadi jika permintaan global juga melemah.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet juga menilai surplus perdagangan berpotensi tertekan bila ekspor ke AS melemah sementara impor meningkat. Ia menjelaskan, impor berpotensi naik karena pelaku usaha menyiapkan stok bahan baku dan barang modal untuk kuartal IV. Negosiasi tarif juga bisa membuat produk-produk dari AS lebih dulu masuk pada kuartal III.

Moneter, fiskal, dan belanja pemerintah

Selain faktor perdagangan, arah kebijakan moneter ikut memberi pengaruh terhadap prospek kuartal III. Bank Indonesia pada rapat dewan gubernur Agustus memangkas suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 5,00%, dengan mempertimbangkan inflasi yang rendah dan stabilitas rupiah. Bank sentral juga memberi sinyal ruang pelonggaran lanjutan bila kondisi mendukung.

Yusuf menilai keputusan itu membuka ruang konsolidasi kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal. Sementara, Josua menambahkan, pemangkasan suku bunga sejalan dengan ekspektasi pemangkasan The Fed, sehingga menjaga diferensial tetap aman. Menurutnya, biaya pinjaman yang lebih rendah memang baru terasa bertahap, tetapi bisa mendukung konsumsi kredit properti dan otomotif menjelang akhir kuartal.

Pemerintah memang telah mengalokasikan stimulus Rp 10,8 triliun untuk kuartal III. Toh, para ekonom menilai manfaatnya terbatas.

Yusuf menekankan, stimulus akan efektif bila cepat dicairkan kepada kelompok masyarakat yang langsung membelanjakan bantuan. Lana menilai, alokasi sebaiknya diprioritaskan pada sektor dengan multiplier tinggi seperti konstruksi dan properti. Sementara, Josua menekankan nilai stimulus relatif kecil dibanding dengan PDB kuartalan sekitar Rp 6.000 triliun, sehingga lebih sebagai penahan konsumsi ketimbang pendorong besar.

Untuk menjaga pertumbuhan ke depan, Yusuf menekankan percepatan belanja pemerintah yang pada kuartal II masih tumbuh negatif. Menurutnya, efek belanja pemerintah baik di pusat maupun daerah akan cepat terasa di masyarakat.

Meskipun demikian, Deni menambahkan bahwa belanja pemerintah perlu diarahkan pada sektor produktif dengan multiplier effect besar. Ia menegaskan dukungan sisi permintaan saja tidak cukup, melainkan harus diiringi dorongan sisi penawaran agar kapasitas produksi meningkat.

Dengan demikian, para ekonom sepakat perlambatan pada kuartal III tak terelakkan, tetapi kebijakan moneter yang longgar, stimulus fiskal yang tepat sasaran, serta belanja produktif pemerintah dapat menjadi penopang agar pertumbuhan ekonomi pada kuartal berikutnya tetap terjaga.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani melihat, pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua tentu memberikan optimisme bagi dunia usaha, tetapi jangan sampai membuat kita terlena dengan catatan di lapangan.

Daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih, konsumsi rumah tangga masih di bawah rata-rata historis, dan sektor manufaktur masih dalam fase kontraksi. Karena itu, sangat diperlukan langkah lanjutan pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat, mempercepat realisasi belanja, memperkuat ekspor, dan memastikan iklim usaha tetap kondusif untuk peningkatan investasi.

Sebagai upaya untuk menjawab tantangan tersebut, kaum pengusaha menggaungkan kembali semangat Indonesia Incorporated sebagai kolaborasi aktif antara dunia usaha dan pemerintah untuk memanfaatkan peluang, dan menjembatani strategi pusat dan daerah dalam satu visi ekonomi yang terintegrasi.

Apindo telah melakukan sejumlah advokasi strategis dengan melakukan dialog dan koordinasi bersama pemerintah, mengupayakan advokasi berbasis data di lapangan, menyusun peta jalan, memberikan masukan teknis dan membangun sinergi lintas sektor. Apindo juga terlibat aktif dalam tiga Satuan Tugas Nasional: Peningkatan Ekspor, Kemudahan Perizinan dan Daya Saing, serta Perluasan Kesempatan Kerja dan Mitigasi PHK.