Amankan Stok, Produsen Emas Wajib Pasok Pasar Domestik

Indonesia merupakan bagian kekuatan utama dalam peta industri emas global. Sebagai pemilik cadangan emas top 5 dunia, Indonesia menyumbang sekitar 4% dari produksi dunia. Namun, kebutuhan domestik masih bergantung pada impor.

Amankan Stok, Produsen Emas Wajib Pasok Pasar Domestik

Produksi emas Indonesia di tahun 2024 dilaporkan mencapai 100.000 kg (100 ton). Kondisi ini seharusnya membuat stok di dalam negeri cukup aman. Namun, faktanya negara ini masih harus mengimpor untuk memenuhi permintaan domestik yang terus meningkat.

Situasi paradoks ini mendorong pemerintah mewacanakan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) emas bagi produsen tambang di dalam negeri.

Mengikuti perkembangan gejolak global, permintaan emas di pasar global maupun domestik menunjukkan adanya kebutuhan berinvestasi untuk jangka panjang. Saat pandemi Covid-19, permintaan emas domestik sempat menurun. Namun, setahun setelah pandemi permintaan mulai melonjak. Terjadi peningkatan permintaan dari 37,61 ton pada 2020 menjadi 47,33 ton di tahun 2024. 

Peningkatan ini didorong oleh lonjakan minat investasi berupa permintaan untuk emas batangan dan koin mencapai 24,50 ton di 2024, melampaui permintaan untuk emas perhiasan (22,83 ton). Terjadi fenomena gold buying rush di masyarakat yang berlangsung hingga saat ini.

Peningkatan permintaan diproyeksikan terus berlanjut sepanjang 2025 (22,11 ton). Beberapa lembaga seperti J.P. Morgan, Reuters, hingga Goldman Sachs memproyeksikan pertumbuhan harga diprediksi akan meningkat lebih dari 4.000 dollar AS sampai 5.000 dollar AS.

Dengan produksi emas yang tergolong besar (mencapai 100 ton), sementara kebutuhan domestik lebih rendah (berkisar 47 ton, 2024), sebagian besar emas mentah atau hasil olahan awal dari tambang domestik diekspor ke luar negeri. Akibatnya, ketika industri hilir dan pasar domestik membutuhkan pasokan emas olahan untuk dicetak menjadi perhiasan atau instrumen investasi Indonesia lebih besar, impor dari negara lain terpaksa dilakukan. 

Data produksi emas yang besar ini digambarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2025) dengan menyebutkan emas yang diproduksi oleh salah satu tambang emas terbesar di Indonesia, yaitu PT Freeport Indonesia, mampu mengelola 3 juta konsentrat tembaga yang menghasilkan 50-60 juta ton emas. Namun, secara nasional impor tetap terjadi hingga 30 ton emas. 

Pada periode Januari-Agustus 2025 ini BPS mencatat neraca perdagangan ekspor dan impor emas berdasarkan volume defisit 24 ton dengan nilai 2.257,97 juta dollar AS. Selama fenomena lonjakan harga yang terjadi di tahun ini, untuk memenuhi kebutuhan domestik Indonesia mengalami lonjakan impor pada bulan April 2025, yaitu sebesar 13,13 ton dengan nilai 1.346,7 juta dollar AS. 

Oleh karena itu, wacana DMO emas muncul sebagai solusi untuk mengatasi anomali ini. Kebijakan DMO akan mewajibkan produsen-produsen emas raksasa untuk menyalurkan sebagian dari hasil produksi mereka ke pasar domestik sebelum diekspor. Ini mirip dengan kebijakan yang diterapkan pada komoditas energi yang bertujuan untuk mengamankan pasokan dan stabilitas harga di dalam negeri.

Daftar produsen emas terbesar di Indonesia pun menjadi fokus utama untuk penerapan DMO ini, seperti PT Freeport Indonesia, PT Amman Mineral International Tbk, PT Merdeka Copper Gold Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, dan PT Bumi Resources Mineral Tbk.

DMO emas bertujuan mengamankan pasokan untuk industri perhiasan dan pasar investasi, menekan angka impor emas olahan yang menguras devisa, dan mendukung industri hilir dalam negeri. DMO bukan hanya sekadar regulasi, tetapi langkah untuk mewujudkan kedaulatan pasokan, memastikan Indonesia tidak lagi menjadi produsen raksasa yang masih bergantung impor di tengah limpahan kekayaan tambang sendiri.