Ketika perjanjian dagang Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) akhirnya rampung setelah proses panjang, banyak yang menaruh harapan besar pada kesepakatan ini. Menteri Perdagangan, Budi Santoso, menggambarkan perjanjian ini sebagai peluang emas.
"Karena pasar kita terbuka di sana, market-nya besar, jumlah penduduknya 400 juta lebih. Jadi saya pikir ini kesempatan yang bagus," ujarnya dalam acara Kick Off ASEAN Online Sale Day, Kamis (7/8/2025).
Faktanya, sebelum CEPA resmi disepakati pun, Indonesia telah mencatat surplus perdagangan dengan Eropa. Nilai ekspor ke kawasan ini mencapai USD 9,6 miliar untuk periode Januari-Juni 2025, menempatkan Eropa sebagai mitra dagang kedua terbesar setelah ASEAN. Kini, dengan tarif yang lebih ramah dan skema preferensial, potensi ekspor ke Eropa diprediksi melejit.
Namun, Budi mengingatkan bahwa peluang itu tak akan berubah jadi hasil tanpa kesiapan. "Kalau kita punya CEPA tapi kita diam saja, ya enggak bisa jualan. Sekarang tinggal bagaimana utilisasi ini kita optimalkan sebaik mungkin," ujarnya.
Tantangan standar dan solusi kolaboratif
Tantangan terbesar yang kerap dihadapi UMKM bukan pada kualitas produk, tapi pada kecocokan dengan standar teknis negara tujuan. Direktur Eksekutif Kadin Indonesia Institute Mulya Amri menyebut Eropa bersedia membantu peningkatan kapasitas.
"Itu kabar baik bagi UMKM karena banyak produk kita yang punya pasar di Eropa, tapi standarnya masih harus ditingkatkan. Eropa bersedia bantu dari sisi capacity building," ujar Mulya saat diwawancarai SUAR di Menara Kadin usai menghadiri forum Mengupas dan Mengimplementasikan Jalur Perdagangan Bilateral Indonesia–UE dan Indonesia–AS yang diadakan Kadin Indonesia, Senin (4/8).
Mulya menekankan pentingnya traceability, kemampuan melacak asal-usul produk, yang jadi syarat mutlak di pasar Eropa. Kolaborasi antara Eropa, Pemerintah Indonesia, dan Kadin diarahkan untuk menyiapkan pelaku usaha kecil agar siap ekspor.
"Kalau memang itu standar yang diberikan Eropa, bantulah kita untuk meningkatkan kapasitas kita agar sesuai dengan standar itu," tambahnya.
"Kalau memang itu standar yang diberikan Eropa, bantulah kita untuk meningkatkan kapasitas kita agar sesuai dengan standar itu," kata Mulya.
Salah satu sektor yang disorot adalah makanan, minuman, kulit, dan produk pertanian seperti kopi dan kakao, sebagian besar dihasilkan oleh UMKM. Menurut Mulya, sektor-sektor ini bisa mendapat tarif preferensial, asalkan regulasi domestik juga disesuaikan.
Ekosistem usaha dan regulasi yang bersahabat
Namun kesiapan bukan hanya soal sertifikasi dan kualitas produk. "Usaha itu menjadi mudah kalau peraturannya jelas dan tidak memberatkan. Infrastruktur dan logistik juga harus mendukung," kata Mulya.
Kadin berkomitmen mengawal penyusunan regulasi agar lebih pro-UMKM. Menurutnya, tiap sektor dan produk punya regulasi tersendiri, dan perlu dipetakan mana yang mendukung dan mana yang masih menjadi hambatan.
Di balik industri besar, ada UMKM yang menopang. Pakar ekonomi Heri Andreas menyebut bahwa perusahaan besar tak mungkin berdiri sendiri. "Kuatnya sebuah industri besar itu karena ada UMKM yang hebat di baliknya. Pelibatan terhadap UMKM ini merupakan keniscayaan," ujar Heri.
Menurutnya, pemerintah harus menjadi jembatan penghubung antara perusahaan besar dan UMKM. "Kalau perusahaan besar mau menggandeng UMKM, mereka perlu diberi kemudahan, misalnya tax allowance. Tanpa pemerintah, jalan sendiri-sendiri," ujarnya.
Skema kolaborasi seperti B2B dapat menjadi jalan tengah. UMKM tidak perlu menembus pasar ekspor secara langsung, tapi bisa menjadi vendor perusahaan besar yang sudah punya akses. "Secara tidak langsung, UMKM tetap ikut ekspor, karena produknya jadi bagian dari rantai pasok," katanya.
UMKM tak cuma butuh akses, tapi daya saing
David Chalik, pendiri DCP Shoe Factory dan bagian dari Perhimpunan Pengusaha Alas Kaki Nusantara, menyoroti penghalang teknis (technical barrier) yang kerap menghambat ekspor.
"Setiap negara punya technical barrier. Kita harus siapkan bahan, alat, hingga cara produksi yang sesuai standar mereka. Kalau tidak, barang kita akan sulit masuk," ujar David.
Menurutnya, ada empat hal yang harus dibenahi: bahan baku, alat produksi, standar harga upah, dan efisiensi biaya produksi. Semua itu perlu dukungan kebijakan, termasuk dari sisi permodalan dan keringanan pajak.
Ada empat hal yang harus dibenahi: bahan baku, alat produksi, standar harga upah, dan efisiensi biaya produksi.
"Kalau cost production kita sudah tinggi, kita enggak bisa bersaing," katanya lugas. Ia berharap CEPA bukan hanya jadi perjanjian di atas kertas, tapi juga dilengkapi dengan kebijakan pendukung nyata dari pemerintah.
David percaya UMKM Indonesia punya kualitas, hanya saja belum didukung sistem. "Kalau itu bisa didukung, insya Allah produk kita bisa bersaing di pasar dunia," ungkapnya.