A Look at the Closing of Grand Mall Bekasi and How Shopping Center Retailing Can Survive

One of the old malls in Bekasi, Grand Mall Bekasi, has closed its operations since the beginning of this year. Retailers and shopping center entrepreneurs need to anticipate and prepare strategies to survive.

A Look at the Closing of Grand Mall Bekasi and How Shopping Center Retailing Can Survive

One of the old malls in Bekasi, Grand Mall Bekasi, has closed its operations since the beginning of this year. Retailers and shopping center entrepreneurs need to anticipate and prepare strategies to survive.

Sejak 1 Januari 2025, pusat perbelanjaan yang sempat menjadi ikon Bekasi Barat itu resmi tutup sementara. Bagi banyak warga, penutupan ini terasa simbolis, sebuah tanda bahwa era mal sebagai tempat rekreasi keluarga, nongkrong anak muda, dan pusat ekonomi kota sedang berada di persimpangan.

Menurut pihak manajemen, lesunya bisnis ritel pasca pandemi menjadi salah satu penyebab utama. Meski roda ekonomi mulai berputar lagi, daya beli dan perilaku konsumen tampaknya tak kembali ke titik semula.

“Kita terus berbenah, tapi kan di balik itu semua ada beberapa kondisinya memang belum baik secara maksimal,” kata Sufala Handri, Senior Head Department Marketing Communication Grand Mall Bekasi, Jumat (10/10/2025), dikutip dari Kompas.com.

Bagi anak muda Bekasi, Grand Mall bukan sekadar tempat belanja. Ia adalah ruang sosial, tempat nongkrong pertama, tempat nonton film murah, dan tempat di mana banyak kenangan sederhana tumbuh tanpa sadar. Ketika kabar tutupnya Grand Mall mencuat, bagi sebagian warga, itu bukan hanya berita ekonomi, tapi kabar kehilangan.

Tri Subarkah atau yang akrab disapa Akah, warga Kranji berusia 31 tahun, mengingat mall itu seperti mengingat masa kecilnya sendiri. “Sejujurnya gue gak inget kapan terakhir ke sana,” ujarnya sambil tertawa kecil.

“Tapi waktu kecil lumayan sering, paling sampai SMP-an gitu. Terakhir mungkin SMA, sekitar 2011, nonton film di bioskop 21. Bukan XXI ya, 21 yang itu lebih murah. Gue ke sana bukan karena pengen ke Grand Mall, tapi karena pengen nonton film dan tiketnya murah.”

Setelah itu, kunjungannya terhenti. Grand Mall memang mall pertama yang dekat dengan rumahnya, tapi seiring waktu, daya tariknya memudar.

“Tenannya kurang. Jadi malas aja. Apalagi waktu itu udah ada pesaing baru kayak Summarecon Mall Bekasi. Orang-orang, termasuk gue, lebih milih ke sana. Fasilitasnya lengkap, lebih modern, dan ada sensasi lifestyle-nya,” ujarnya.

Kenangan serupa datang dari Lina Perdana (40), generasi yang sedikit lebih tua, tapi punya nostalgia yang sama. “Grand Mall tuh tempat langganan gue sama tante makan bakso di lantai dasar, deket pintu samping. Ada foto artis-artis di dindingnya,” ujarnya sambil tersenyum. “Dulu juga pernah janjian sama pacar di situ, hahaha.”

Bagi Lina, Grand Mall bukan hanya bangunan tempat transaksi, tapi bagian dari rutinitas dan kenangan remaja di masa Bekasi belum seramai sekarang. Kini, ketika deretan pusat perbelanjaan baru tumbuh di setiap sudut kota, kenangan itu terasa seperti potongan masa lalu yang tidak tergantikan.

Inovasi mall

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja, tutupnya Grand Mall Bekasi seharusnya menjadi pengingat bahwa dunia ritel kini bergerak sangat cepat, dan hanya yang mau berinovasi yang bisa bertahan.

“Grand Mall Bekasi sudah tidak beroperasi sejak awal tahun setelah mengalami kemunduran tingkat kunjungan selama beberapa tahun,” ujar Alphonzus kepada awak redaksi Suar melalui keterangan tertulis, Minggu (12/10/2025).

Ia menjelaskan, pesatnya pertumbuhan pusat perbelanjaan baru di wilayah Bekasi membawa tantangan tersendiri bagi pemain lama. Banyak mal baru hadir dengan konsep yang lebih inovatif, menghadirkan customer experience dan customer journey yang unik untuk menarik pengunjung.

Sementara itu, pusat perbelanjaan yang tidak melakukan pembaruan akan mudah tertinggal. “Kalau pusat perbelanjaan lama hanya diam saja atau tidak berbuat sesuatu, tentu tidak akan menarik lagi bagi masyarakat. Akhirnya pelanggan pergi, penyewa juga ikut pergi,” jelasnya.

Read also:

Retailers Need to Anticipate Sales Decline in the Next 3-6 Months
The August 2025 Retail Sales Survey (SPE) released by Bank Indonesia (BI) revealed that retail business respondents predicted that retail sales would decline in the next 3 months and 6 months. This needs to be anticipated by entrepreneurs.

Menurutnya, Bekasi, sebagai salah satu kota penyangga, disebutnya memiliki karakter konsumen yang sangat dinamis. Gaya hidup, mulai dari tren nongkrong hingga kebutuhan akan ruang kerja fleksibel, cepat sekali berubah, dan pusat belanja yang tidak mampu menyesuaikan diri akan kehilangan relevansinya. “Pusat perbelanjaan sangat identik dengan gaya hidup yang selalu berubah setiap saat. Kalau tidak mampu merespons, ya tidak akan dipilih lagi oleh masyarakat,” katanya.

Menurut Alphonzus, kunci adaptasi mal terletak pada dua hal utama konsep gedung dan tenant mix. Gedung perlu memiliki desain dan suasana yang unik agar memberi pengalaman baru bagi pengunjung, sementara bauran penyewa harus lengkap dan beragam, dari hiburan hingga kuliner. “Kedua hal itu menuntut inovasi dan kreativitas yang jauh lebih penting daripada sekadar biaya,” tegasnya.

Merespon keluhan mengenai pendanaan untuk transformasi, ia berpendapat bahwa inovasi pun tak selalu harus mahal. Ia mencontohkan kawasan Blok M di Jakarta yang mampu berubah menjadi ruang publik yang hidup tanpa investasi besar.

Selain pengelola, para peritel juga dituntut bertransformasi. Menurut Alphonzus, banyak ritel yang terpaksa tutup bukan hanya karena faktor eksternal seperti pandemi, tetapi karena gagal menyesuaikan diri dengan perubahan cara belanja masyarakat.

Dengan kata lain, keberhasilan sebuah mal di era sekarang tidak hanya ditentukan oleh seberapa megah bangunannya, melainkan seberapa jauh ia mampu membaca perubahan dan menjadikannya peluang.

Ketua Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah, mengatakan, tutupnya Grand Mall Bekasi tidak lepas dari perubahan lanskap ritel di wilayah itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, Bekasi menjadi salah satu kawasan dengan pertumbuhan pusat perbelanjaan paling pesat di Jabodetabek.

“Di sana sekarang sudah ada Pakuwon juga, dan beberapa mal baru yang terkoneksi langsung dengan LRT,” ujarnya kepada Suar melalui pesan suara, Minggu (12/10/2025).

Kondisi ini membuat pasar menjadi semakin kompetitif. Karena itu, menurutnya, kunci bertahan bukan hanya soal lokasi atau ukuran, tetapi soal konsep. “Kalau terlalu banyak mal di area yang sama, masing-masing harus punya unique positioning,” kata Budi.

“Misalnya, kalau Pakuwon mall elit, Grand Mall bisa mengambil ceruk sebagai mall dengan brand-brand lokal atau outlet lokal. Jadi tetap punya pelanggan sendiri.”

Bagi Budi, pelajaran dari Grand Mall Bekasi bukan hanya soal kalah bersaing, tapi soal hilangnya identitas di tengah pasar yang semakin homogen. Ketika mal hanya menjadi ruang jual beli tanpa nilai pembeda, maka mereka mudah tergeser oleh pesaing baru, atau bahkan oleh layar gawai di genggaman tangan konsumennya sendiri.

Namun, tidak semua persoalan ritel berhenti di soal inovasi. “Sekarang banyak konsumen bandingkan harga. Di online kok bisa lebih murah? Karena seller online banyak yang enggak bayar pajak,” ujarnya. “Sementara kami di pusat belanja harus bayar PPN, bayar pajak impor. Otomatis harga jadi mahal.”

Akibatnya, banyak pengunjung mal yang datang sekadar window shopping tanpa bertransaksi. “Turunnya pembeli di mal itu bisa terjadi bukan hanya karena daya beli lemah, tapi karena barang di toko enggak lengkap, harganya mahal,” katanya.

Budiharjo menilai, jika dibiarkan, tren ini bisa menimbulkan efek domino: “Begitu belinya pindah ke online, toko di mal tutup, PHK terjadi, pabrik yang memasok juga berhenti produksi. Akhirnya daya beli masyarakat malah ikut menurun.”

Ia menegaskan, pemerintah perlu hadir memberi stimulus bagi sektor ritel yang masih berjuang. “Selama ini belum ada keringanan pajak bagi karyawan ritel. Padahal kalau sektor ini tumbang, dampaknya luas sekali,” ujarnya.

Tutupnya Grand Mall Bekasi bukan sekadar cerita tentang sepinya pengunjung. Menurut Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) fenomena ini bukan kejadian tunggal. Ia mencerminkan tiga perubahan besar yang tengah terjadi yakni pergeseran perilaku belanja, munculnya pesaing dengan konsep baru, dan stagnasi daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Kalau kita lihat, perubahan ini sebenarnya sudah terjadi sejak pandemi COVID-19. Ada pergeseran besar dalam perilaku konsumen,” ujar Tauhid melalui sambungan telepon kepada Suar, Senin (13/10).

“Masyarakat mulai nyaman berbelanja lewat e-commerce: lebih murah, lebih banyak pilihan, dan lebih mudah.” Perubahan itu membuat mall kehilangan sebagian fungsinya sebagai pusat perbelanjaan. Pengunjung kini datang bukan untuk berbelanja, melainkan mencari pengalaman lain: nongkrong, makan, atau sekadar jalan-jalan.

Fenomena ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa jumlah mall di wilayah penyangga Jakarta sudah terlalu banyak sementara daya beli masyarakat stagnan.

“Kelas menengah sekarang cenderung menahan konsumsi, sementara kelas bawah justru turun drastis daya belinya. Jadi mereka lebih selektif, datang ke mall kalau benar-benar ada kebutuhan atau hiburan tertentu.” 

Untuk bisa bertahan, menurutnya, pengelola mall harus beradaptasi dengan pola baru tersebut. Strategi mahal seperti renovasi total belum tentu efektif; justru efisiensi dan diferensiasi menjadi kunci. “Biaya sewa jangan terlalu tinggi, karena akan berimbas pada harga produk. Kalau mahal, konsumen kabur, tenant juga pergi. Jadi efisiensi operasional harus dilakukan,” ujarnya.

Tauhid juga menekankan pentingnya mall berkonsep. “Mall tidak bisa lagi generik. Harus punya tema dan segmentasi yang jelas. Misalnya, satu mall fokus ke brand lokal, satu lagi ke hiburan keluarga, atau ruang kerja bersama. Kalau semua seragam, ya persaingan jadi saling memakan,” katanya.

Prediksi penjualan ritel

Kendati tengah lesu, ada harapan kenaikan penjualan ritel. Menurut Survei Penjualan Eceran (SPE) kinerja penjualan eceran pada September 2025 diprakirakan meningkat secara tahunan.

Indeks Penjualan Riil (IPR) September 2025 diprakirakan tumbuh sebesar 5,8% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 3,5% (yoy).

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso mengatakan, peningkatan penjualan eceran tersebut terutama bersumber dari pertumbuhan penjualan Kelompok Makanan, Minuman dan Tembakau, Perlengkapan Rumah Tangga Lainnya, serta Barang Budaya dan Rekreasi.

Secara bulanan, penjualan eceran pada September 2025 diprakirakan sedikit terkontraksi sebesar 0,3% (mtm) terutama dipengaruhi oleh penurunan pada Subkelompok Sandang.

Merespon hal ini, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, tim riset ekonomi Bank Mandiri memperkirakan kinerja penjualan eceran akan lebih baik pada 2025.

Peningkatan penjualan eceran pada 2025 didorong oleh meningkatnya aktivitas masyarakat saat libur nasional dan banyaknya cuti bersama di sepanjang 2025. Selain itu ekspektasi tekanan inflasi yang diperkirakan menurun akan mendorong belanja masyarakat dan meningkatkan penjualan eceran ke depan.

Namun demikian risiko ketidakpastian global dan nilai tukar dapat mempengaruhi penjualan eceran ke depan. Kami memperkirakan tingkat inflasi pada 2025 akan berada pada level 2,38%, sementara konsumsi rumah tangga pada 2025 akan tumbuh sebesar 4,92%.

Di sisi lain, pengusaha juga perlu mewaspadai tingkat konsumsi yang melemah. Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tercatat sebesar 90,5 pada September 2025. Angka ini turun 3,5 poin dibandingkan bulan sebelumnya dan menandakan tingkat optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi kembali berada di bawah batas netral 100 poin. Penurunan ini menunjukkan kehati-hatian konsumen dalam menghadapi situasi ekonomi dan ketenagakerjaan yang belum pulih sepenuhnya.

LPS mencatat, pelemahan IKK pada September dipengaruhi oleh beberapa faktor utama. Kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi penyebab dominan, disusul oleh kondisi lapangan kerja yang masih lesu. Selain itu, cuaca ekstrem yang mengganggu sektor pertanian juga memicu kekhawatiran akan risiko gagal panen di sejumlah wilayah, sehingga menekan keyakinan masyarakat terhadap stabilitas ekonomi.

Direktur Group Riset LPS Seto Wardono, menjelaskan kombinasi antara kenaikan harga sembako dan sulitnya lapangan kerja memberi tekanan terhadap kepercayaan konsumen. Mahalnya harga pupuk dan gangguan produksi akibat cuaca yang tidak menentu menjadi faktor tambahan yang memperburuk persepsi masyarakat. Kondisi ini, menurutnya, membuat sebagian rumah tangga lebih berhati-hati dalam mengatur pengeluaran.

Meski kepercayaan konsumen menurun, sebagian masyarakat masih menilai prospek ekonomi ke depan secara positif. Indeks Ekspektasi (IE) tercatat sebesar 109 pada September, atau tetap berada di atas level 100 yang mencerminkan optimisme terhadap kondisi ekonomi dan pendapatan enam bulan mendatang. Sebaliknya, Indeks Situasi Saat Ini (ISSI) turun 5,4 poin menjadi 65,8, menandakan persepsi yang lebih lemah terhadap ekonomi dan ketersediaan lapangan kerja.

Penurunan IKK terjadi di seluruh kelompok rumah tangga. Kelompok berpendapatan di atas Rp7 juta per bulan masih berada di level optimis dengan skor di atas 100, meskipun mengalami penurunan 2,3 poin dibandingkan Agustus. Sementara itu, tiga kelompok pendapatan lainnya turun antara 2,6 hingga 10,4 poin dibandingkan bulan sebelumnya.

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai penurunan IKK lebih mencerminkan kewaspadaan masyarakat daripada penurunan daya beli secara tiba-tiba. Ia menjelaskan, pelemahan terutama terjadi pada ISSI yang turun ke 65,8 akibat tekanan harga kebutuhan pokok dan kondisi kerja, sementara IE masih tinggi di 109. Menurutnya, hal ini menunjukkan persepsi konsumen terhadap ekonomi hari ini melemah, tetapi harapan untuk enam bulan ke depan tetap terjaga.

Josua menambahkan, tekanan harga pangan menjadi penyebab utama turunnya IKK. Tekanan ini paling terasa di rumah tangga menengah bawah yang sebagian besar pengeluarannya dialokasikan untuk pangan, sehingga sedikit kenaikan harga langsung mengurangi ruang konsumsi nonpangan. Ia menyebut pemerintah telah menyiapkan langkah kompensasi seperti bantuan beras dan minyak goreng untuk menahan dampak kenaikan harga di lapangan.

Menurut Josua, kesenjangan antara IE dan ISSI menggambarkan tekanan ekonomi jangka pendek yang belum diimbangi perbaikan nyata, meski optimisme terhadap masa depan tetap tinggi. Ekspektasi terhadap perbaikan pendapatan dan kegiatan usaha masih positif, sejalan dengan penurunan suku bunga simpanan dan kredit yang mulai meningkatkan kemampuan belanja masyarakat.

Dari sisi makroekonomi, Josua memperkirakan konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2025 akan tumbuh lebih moderat. Kelompok menengah bawah kemungkinan masih menahan belanja karena tekanan harga pangan, namun berbagai stimulus pemerintah diperkirakan mampu menahan perlambatan.

Likuiditas perbankan yang tetap longgar dan percepatan penyaluran belanja kementerian maupun daerah, menurut Josua, dapat menjadi penopang utama konsumsi. Dengan demikian, permintaan domestik tidak akan turun tajam, meski tetap bergantung pada stabilisasi harga pangan.

Josua menekankan pentingnya langkah kebijakan yang konkret dan cepat untuk memulihkan kepercayaan konsumen. Stabilisasi pangan, kata dia, perlu dilakukan melalui percepatan operasi pasar dan penguatan logistik komoditas, diikuti penyaluran bantuan sosial yang tepat sasaran.

Selain itu, penurunan suku bunga perlu diteruskan ke sektor konsumsi agar daya beli masyarakat meningkat tanpa menekan arus kas rumah tangga. “Jika stabilisasi harga dan kebijakan pendapatan berjalan serentak, jarak antara harapan dan realitas bisa menyempit, dan IKK berpeluang kembali ke zona optimis,” ujar Josua.