Bila tak ada aral melintang, satu unit kilang terbesar di Indonesia akan segera dioperasikan PT Pertamina (Persero). Itulah kilang pengembangan yang masuk dalam proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan.
"Target untuk penyelesaian RDMP Balikpapan kami usahakan akan mulai start pada 10 November 2025 dan diharapkan pada tanggal 17 November 2025 sudah beroperasi dengan kapasitas minimal," kata Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Kamis, 11 September 2025.
Proyek perluasan Kilang Balikpapan ini memiliki anggaran total mencapai Rp 114,5 triliun. Dananya berasal dari berbagai sumber, termasuk pinjaman dari lembaga keuangan internasional. Sebagian dari anggaran ini berasal dari pinjaman sebesar US$ 3,1 miliar atau sekitar Rp 46,5 triliun, yang didapatkan pada tahun 2023. Dalam penyelesaian project financing, proyek RDMP Balikpapan melibatkan 4 export credit agency (ECA) dan 22 commercial banks.
Project financing ini juga berhasil mendapatkan over-subscribed hingga US$ 4,39 miliar (142%) meskipun di tengah ekonomi dunia yang sedang bergejolak. RDMP Balikpapan merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia yang akan meningkatkan kapasitas kilang Balikpapan dari sekitar 260.000 barel per hari menjadi 360.000 barel per hari. Proyek ini akan membantu memenuhi peningkatan permintaan bahan bakar dan produk petrokimia dalam negeri.
Sebagai salah satu proyek investasi terbesar di Indonesia, proyek Balikpapan akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar impor dan memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi daerah dengan melibatkan perusahaan lokal, menciptakan lapangan kerja lokal, dan menargetkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) sebesar 30%–35%.
Selain itu, dengan penambahan produksi BBM, LPG dan petrokimia nasional, diharapkan dapat menghemat defisit neraca perdagangan Indonesia hingga US$ 2 miliar per tahunnya.
Saat ini, RDMP Balikpapan berada di tahapan persiapan beroperasinya salah satu unit vital, yakni residual fluid catalytic cracking (RFCC). RFCC merupakan unit kilang minyak yang menggunakan teknologi katalis untuk mengkonversi minyak berat atau residu menjadi produk bernilai tinggi, seperti bensin, LPG, dan propilena.
Nantinya saat RDMP Balikpapan tuntas, Kilang Balikpapan akan menjadi kilang minyak terbesar di Indonesia. Pasalnya, kapasitas Kilang Balikpapan akan melampaui kapasitas Kilang Cilacap, yang saat ini menjadi kilang dengan kapasitas terbesar.
Kilang Cilacap mengolah 345.000 barel per hari (bph), sementara Kilang Balikpapan ini nantinya bisa mengolah minyak mentah sebesar 360.000 bph. Selain menaikkan kapasitas pengolahan minyak, nanti akan ada tambahan produksi produk petrokimia hingga 225.000 ton per tahun.
Antara dibutuhkan dan sudah tidak penting
Pengembangan kilang minyak oleh Pertamina didukung penuh oleh pemerintah. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 56 Tahun 2018, sebelumnya terdapat tujuh proyek kilang yang masuk dalam proyek strategis nasional (PSN), yakni lima proyek pengembangan kilang atau refinery development master plan (RDMP) dan dua proyek kilang baru.
Lima proyek RDMP adalah RDMP Refinery Unit (RU) V Balikpapan, RDMP RU IV Cilacap, RDMP RU VI Balongan, RDMP RU II Dumai, dan RDMP RU III Plaju. Sementara itu, dua proyek kilang baru, yakni Grass Root Refinery (GRR) Tuban dan GRR Bontang.
Dalam perjalanannya, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025, proyek kilang yang masuk PSN di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto hanya RDMP RU VI Balongan, RDMP RU IV Cilacap, Biorefinery Cilacap, dan Kilang Minyak Tuban (ekspansi).
Kilang minyak sangat diperlukan untuk menutup impor, karena kapasitas kilang yang ada saat ini tidak mencukupi kebutuhan konsumsi BBM dalam negeri, yang berujung pada ketergantungan impor.
Pembangunan dan peremajaan kilang dapat meningkatkan kapasitas produksi, kualitas produk, serta efisiensi, meskipun biaya investasi untuk membangun kilang baru sangat besar. Selain untuk mengolah minyak mentah, kilang juga dapat menghasilkan produk bernilai tambah lebih tinggi dan meningkatkan ketahanan energi nasional.
Pembangunan kilang membutuhkan biaya investasi yang sangat besar, bahkan bisa mencapai Rp 1.054 triliun hingga Rp 1.125 triliun. Di sisi lain, proyek pembangunan kilang terancam risiko kelebihan kapasitas jika tidak diimbangi dengan peningkatan produksi minyak mentah domestik, ditambah lagi dengan tren global yang bergerak ke arah kendaraan listrik dan hibrida.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, kilang minyak di dunia diproyeksikan akan berhenti beroperasi dalam beberapa tahun mendatang. Menurut Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung, salah satunya disebabkan masifnya adopsi kendaraan listrik di dunia.
Meski demikian, kondisi tersebut kemungkinan tidak akan berdampak pada unit bisnis kilang di dalam negeri. Ini karena kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) Indonesia saat ini mencapai sekitar 1,5 juta barel per hari dan sebagian dipenuhi dari impor. "Jadi kalau ini perkiraan kita, untuk kebutuhan BBM itu satu hari, itu kan masih sekitar 1,5 juta barel per hari. Ini kan ada yang diolah di dalam kilang dalam negeri, ada yang berasal dari impor," kata Yuliot.
Menurut Yuliot, pemerintah terus memantau kinerja kilang minyak dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan BBM nasional. Adapun, apabila produksi kilang dalam negeri tidak mencukupi maka pemenuhan melalui impor menjadi pilihan. "Kalau tidak tercukupi dari kilang dalam negeri, berarti kita harus melakukan impor dari luar negeri. Tapi ini dalam rangka trade balance, ya kita juga harus mengulangi komitmen kita," katanya.
Peningkatan kapasitas di semua divisi
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fadjar Djoko Santoso menyatakan, saat ini, enam kilang Pertamina yang beroperasi telah memenuhi 70% kebutuhan BBM dari produksi dalam negeri, dengan kapasitas pengolahan mencapai 1,05 juta barel per hari. Namun demikian, masih terdapat gap untuk memenuhi seluruh kebutuhan BBM masyarakat. “Sehingga, RDMP menjadi program unggulan yang dijalankan Pertamina sejak tahun 2014,” ujarnya.
Menurut Fadjar, dalam periode 2019-2024, Pertamina melalui PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) telah menyelesaikan 11 proyek kilang strategis yang tersebar di lima lokasi. Yakni, Kilang Cilacap, Kilang Balongan, Kilang Balikpapan, Kilang Dumai, dan Kilang PT Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) di Tuban.
Tahun 2019, Pertamina telah menyelesaikan proyek Pertamina Langit Biru Cilacap. Proyek ini berhasil meningkatkan produksi Gasoline RON 92 dari 23.000 barel per hari menjadi 53.000 barel per hari, meningkatkan kualitas BBM dari setara Euro 2 menjadi setara Euro 5. Kilang Cilacap saat ini juga telah menjadi Green Refinery Cilacap Phase 1, yang menandai langkah awal PT KPI dalam pengolahan bahan bakar berbasis bahan baku nabati.
Proyek ini juga memproduksi hydrotreated vegetable oil (HVO) dan dengan kapasitas 3 kbpd dengan mengolah RBDPO (refined bleached deodorirized palm oil) – minyak sawit yang telah dimurnikan. Kilang ini juga memproduksi sustainable aviation fuel (SAF) atau bahan bakar pesawat terbang dengan mengolah RBDPKO (refined bleached deodorirized palm kernel oil) atau minyak inti sawit yang telah dimurnikan dan minyak jelantah, dengan metode co-processing, 9 kbpd.
Tahun 2022, Pertamina juga telah menyelesaikan RDMP Balongan dan meningkatkan kapasitas pengolahan minyak Kilang Balongan dari 125.000 barel menjadi 150.000 barel per hari.
Kilang Balongan juga menjadi lokasi dengan aktivitas paling intensif pada tahun 2022. Dua proyek onstream pada Mei 2022, yakni proyek Ultra Low Sulfur Diesel (ULSD) dengan kapasitas produksi mencapai 15.000 barel per hari, dengan kualitas sulfur maksimal 10 ppm.
Lalu proyek Revitalisasi Residual Catalytic Cracking (RCC) dengan kapasitas produksi 63.000 barel per hari meningkat jadi 83.000 barel per hari. RCC sendiri merupakan unit yang mampu mengkonversi residue dan menghasilkan produk bernilai tinggi seperti LPG, propilena, dan poly gasoline, yang mendukung sektor petrokimia nasional.
Sementara itu di Juni 2022, KPI mampu meningkatkan kapasitas pengolahan minyak mentah di Balongan dari 125.000 barel per hari menjadi 150.000 barel per hari. Langkah penting lain di Kilang Balongan, yaitu meningkatkan efisiensi operasionalnya melalui pemakaian gas alam. Selain untuk efisiensi operasional, program pemakaian gas alam ini selaras dengan program dekarbonisasi.
Sedangkan di Sumatra, proyek Platformer 1 Kilang Dumai mulai beroperasi pada Desember 2022. Langkah ini merupakan bagian dari upaya KPI untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi bahan bakar di Kilang Dumai. Dengan proyek ini, kapasitas produksi unit Platformer di kilang Dumai meningkat jadi 14.000 barel per hari.
Kualitas produk yang dihasilkan juga meningkat dari RON 92 menjadi RON 95. Di pesisir utara Jawa Timur, Kilang TPPI Tuban menjalankan dua proyek strategis KPI, yakni Revamp OSBL dan Revamp ISBL yang onstream pada Februari 2024.
Proyek ini merujuk pada dua bagian utama dari proyek peningkatan fasilitas kilang, khususnya dalam proyek Revamping Aromatik yang bertujuan meningkatkan kapasitas produksi petrokimia seperti paraxylene dan benzena.
Di Kalimantan, tiga proyek strategis PT KPI yang menjadi bagian dari proyek besar RDMP Balikpapan telah selesai dilaksanakan, yakni Pipa Senipah Balikpapan yang onstream pada Desember 2023, Crude Distillation Unit (CDU) Balikpapan yang onstream revamp pada Juli 2024, dan Central Crude Oil Terminal (CCOT) Lawe-Lawe yang onstream pada Desember 2024.
Pada November 2025 ini, proyek RDMP Kilang Balikpapan Phase 1 diharapkan dapat mulai beroperasi. Sehingga, produksi pengolahan Pertamina dari seluruh kilang-kilangnya akan meningkat signifikan, dari 1 juta barel per hari menjadi 1,4 juta barel per hari.
Pertamina juga telah menyelesaikan pembangunan tangki Lawe-Lawe yang merupakan tangki terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas total sebesar 2 juta barrel. “Tangki raksasa Lawe-Lawe menjadi salah satu komponen penting proyek RDMP Balikpapan yang bertujuan meningkatkan kapasitas pengolahan kilang dari 260.000 barel per hari menjadi 360.000 barel per hari.” ungkap Fadjar.
Kilang baru, tantangan baru
Meski bisa jadi alternatif solusi pengendalian impor minyak, pembangunan kilang baru dinilai bukan satu-satunya cara untuk mengurangi impor. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa, sebaliknya pembukaan kilang baru malah punya kemungkinan meningkatkan impor minyak mentah, meski di satu sisi impor produk BBM bisa dikurangi.
“Bahkan bisa lebih banyak impor, karena produksi minyak mentah kita itu turun, maka nanti tetap saja harus impor minyak mentah," katanya seperti dikutip IDX Channel.
Dengan menurunnya produksi, sementara kapasitas kilang lebih besar, maka kebutuhan impor minyak juga akan lebih besar. Memang akan lebih murah ketimbang impor BBM, tapi tetap saja Indonesia menjadi importir minyak yang besar.
Fabby juga menyoroti risiko kelebihan kapasitas kilang di tengah tren global menuju transisi energi. Menurutnya, proyeksi kebutuhan BBM Indonesia pada 2030–2050 harus ditinjau ulang, mengingat pertumbuhan kendaraan listrik dan hibrida yang kian pesat.
Jadi harus diperhitungkan, misalnya jika ingin bangun kilang tahun ini dan selesai tahun 2029, maka kilang harus beroperasi minimal 30 tahun untuk balik modal. “Bayangkan kalau dalam periode itu permintaan BBM turun drastis akibat elektrifikasi transportasi. Kalau begitu kan malah rugi," kata dia.
Oleh karena itu, dia menilai strategi pembangunan kilang sebaiknya tidak semata-mata dikaitkan dengan ketahanan energi. Pemerintah juga perlu realistis menilai potensi produksi minyak domestik dan tren konsumsi energi ke depan.
"Ladang minyak baru juga jarang ditemukan, sementara temuan eksplorasi belakangan lebih banyak berupa gas. Jadi harus jujur, apakah memang bangun kilang itu solusi jangka panjang atau justru beban," ungkapnya.
Di sisi lain, pembangunan kilang minyak memerlukan biaya investasi yang sangat besar dan usia pengoperasiannya bisa mencapai puluhan tahun. Karena itu, perlu perhitungan matang apakah proyek tersebut benar-benar akan menguntungkan di masa depan.
Mukhlison, Gema Dzikri, and Dian Amalia