Sejarah selalu berulang polanya. Tidak ada siklus yang baru di bawah matahari – segala sesuatu di dunia ini sudah pernah terjadi sebelumnya dan mungkin akan terjadi lagi.
Unjuk rasa akhir Agustus lalu yang berujung kericuhan, penjarahan rumah pribadi pejabat negara, hingga merenggut korban jiwa memicu ingatan kolektif pada trauma bahwa situasi ini bisa memicu krisis ekonomi seperti halnya 1998.
Akankah krisis ekonomi bakal terulang?
Mari kita bandingkan kondisi ekonomi 1998 dengan sekarang. Kita bedah agar kita bisa memetik pelajaran dan mengambil kebijakan yang tepat agar krisis ekonomi bisa dihindari. Pula, agar kita tidak lagi terjebak trauma dan ketakutan berlebih walau tetap harus menyikapi kondisi sekarang dengan hati-hati.

Nilai tukar rupiah 1998 versus saat ini
Krisis moneter atau krismon 1998 dikenal masyarakat secara luas lantaran jebloknya kurs rupiah terhadap dollar AS hingga titik terendah sepanjang sejarah Indonesia. Pada 17 Juni 1998, kurs rupiah di pasar uang spot antarbank Jakarta ditutup pada Rp 16.900 per dollar AS. Bahkan, saat perdagangan pada 22 Januari 1998, rupiah menyentuh level Rp 17.000 per dollar AS (Kompas, 18 Juni 1998).
Mari bandingkan dengan kondisi hari ini. Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) yang dirilis BI nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan Senin (1/9/2025) berada pada level Rp16.463 per dollar AS.
Posisi nilai tukar rupiah saat ini dibandingkan dengan 1998 memang tidak jauh berbeda. Namun, saat ini rupiah hanya terdepresiasi 7,56% ketimbang posisi setahun lalu pada level Rp 15.305 per dollar AS. Sementara pada Juni 1998, rupiah terdepresiasi 690% atau melemah lebih dari enam kali lipat hanya dalam waktu setahun terakhir dibandingkan dengan Juni 1997. Saat itu kurs rupiah di kisaran Rp 2.441 per dollar AS.
Cadangan devisa 1998 vs saat ini
Saat 1998, BI tidak bisa terlalu deras menggelontorkan uang di pasar untuk menstabilkan nilai tukar rupiah lantaran posisi cadangan devisa yang terbatas. Kala itu, devisa BI di kisaran USD 17,4 miliar.
Berbeda dengan kali ini. Per 31 Juli 2025, cadangan devisa Indonesia pada sebesar USD 151,98 miliar. Posisi cadangan devisa itu setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Inflasi 1998 vs saat ini
Geger krisis ekonomi 1998, salah satunya, juga diingat masyarakat karena lonjakan harga barang yang luar biasa. Pada 1998, inflasi mencapai 77,6% secara tahunan atau meroket hampir 20 kali lipat dibanding 1997 yang level inflasinya 4,7% secara tahunan. Artinya, pada saat itu barang yang awalnya seharga Rp 100.000 bisa naik hanya dalam waktu setahun terakhir menjadi Rp 177.600.
Padahal, sebelum tahun 1998, rata-rata inflasi Indonesia pada 1990-an sekitar 9% per tahun dan cenderung menurun. Inflasi tahunan 1996 pada level 6% dan 1997 pada level 5,1%. Artinya, pada saat krisis ekonomi 1998, inflasi melonjak berkali lipat ketimbang normalnya (Ekonomi Indonesia, Budiono, 2016).
Dibandingkan dengan waktu itu, kondisi inflasi terkini jauh lebih kecil dan terkendali. Saat ini, data terakhir yang dirilis BPS, yakni per Agustus 2025, menunjukkan inflasi pada level 2,31% secara tahunan. Tingkat inflasi saat ini ini juga masih dalam target pemerintah dan BI untuk tahun ini, yakni 1,5%–3,5%.
PHK, penggangguran, dan kemiskinan 1998 vs saat ini
Saat krisis moneter 1998, diberitakan sebanyak 20 juta orang atau 20% dari angkatan kerja saat itu menganggur. Angka pengangguran tersebut merupakan yang terbesar sejak 1960-an.
Akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan kenaikan harga-harga dengan cepat ini, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan juga meningkat mencapai sekitar 50% dari total penduduk. Sebanyak dua dari tiga penduduk Indonesia disebut Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999 jika ekonomi tak segera membaik (Kompas, 21 Desember 1998).
Kondisi hari ini pun serupa dengan banyaknya fenomena PHK. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan: 42.385 pekerja di Indonesia mengalami PHK sepanjang Januari–Juni 2025, meningkat 32% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Soal tingkat pengangguran, mengutip Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS termutakhir, yakni Februari 2025, menunjukkan tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,76%. Angka ini mencerminkan tren penurunan yang terjadi selama 4 tahun terakhir, yakni dari angka 6,62% pada 2021; 5,83% pada 2022; 5,45% pada 2023; dan 4,82% pada tahun 2024.
Soal tingkat kemiskinan, data terkini BPS per Maret 2025 menunjukkan persentase penduduk miskin mencapai 8,47%, menurun 0,10% poin terhadap September 204 dan menurun 0,56% terhadap Maret 2024. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2025 sebesar 23,85 juta orang, menurun 0,21 juta orang terhadap September 2024 dan menurun 1,37 juta orang terhadap Maret 2024.
Pendapatan per kapita 1998 vs saat ini
Merebaknya PHK dan pengangguran kala krisis ekonomi 1998 mengerek turun pendapatan per kapita Indonesia. Pendapatan per kapita per tahun yang mencapai USD 1.155 tahun 1996 dan USD 1.088 dollar AS tahun 1997, lalu menciut jadi USD 610 tahun 1998.
Sementara saat ini, mengutip Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), pendapatan per kapita Indonesia pada 2024 mencapai USD 5.027 atau sekitar Rp 80,43 juta per orang per tahun.
IHSG 1998 vs saat ini
Dari lantai bursa, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok ke titik terendah, yakni menjadi 292,12 poin pada 15 September 1998, dari 467,339 pada awal krisis 1 Juli 1997. Kapitalisasi pasar pun menciut dari Rp 226 triliun menjadi Rp 196 triliun pada awal Juli 1998.
Sementara saat ini, unjuk rasa yang berujung kericuhan itu memang sempat membuat IHSG terperosok pekan lalu. Pada penutupan perdagangan Jumat (29/8/2025) atau sehari setelah pengemudi ojek online Affan Kurniawan meregang nyawa akibat dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob, IHSG sempat merosot 121,59 poin atau 1,53% pada posisi 7.830.
Padahal, pada perdagangan Kamis (28/8/2025), IHSG sempat naik sehingga menembus level psikologis 8.000 dan menggapai titik tertinggi sepanjang sejarah (all time high) meski kemudian perdagangan hari itu ditutup pada level 7.968.
Ketahanan perbankan 1998 vs saat ini
Salah satu pemicu krisis ekonomi pada 1998 adalah adanya kepanikan masyarakat sehingga memicu terjadinya rush atau antrean panjang di sejumlah bank dari nasabah yang ingin menarik uang tunainya (bank run). Ini menimpa sejumlah bank jumbo kala itu seperti misalnya BCA dan Bank Danamon. Modal bagi sebuah bank ibaratnya darah pada tubuh manusia.
Bila permodalan bank dikuras, maka sebesar apa pun banknya pun bisa kolaps, seperti halnya manusia yang kurang darah (Ekonomi Indonesia, Budiono, 2016).
Sementara saat ini, mengutip Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ketahanan perbankan tetap kuat tercermin dari rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) Juli 2025 pada level 25,88%.
CAR menunjukkan seberapa besar modal bank dapat menyerap kerugian. Semakin tinggi rasionya, semakin sehat bank tersebut serta semakin kecil risiko kehilangan dana nasabah. Menurut OJK, besaran CAR ini bisa jadi bantalan mitigasi risiko yang kuat untuk mengantisipasi ketidakpastian.
Pertumbuhan ekonomi 1998 vs saat ini
Merosotnya berbagai indikator ekonomi kala itu juga tampak dalam kacamata ekonomi makro. Tahun 1998, pertumbuhan ekonomi terkontraksi minus 13,1%.
Padahal sebelumnya, pada awal dekade 90-an pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata di atas 7% per tahun. Ini termasuk tertinggi di Asia kala itu. Pada 1996, pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% dan 1997 mencapai 4,7%.
Sementara situasi terkini, mengutip data BPS, pertumbuhan ekonomi triwulan kedua 2025 mencapai 5,12% secara tahunan.
Beda penyebab, gejala hampir sama
Sejumlah indikator tersebut menunjukkan, kondisi perekonomian Indonesia saat ini sudah jauh membaik ketimbang 27 tahun lalu. Tetapi bukan berarti tidak ada jaminan krisis tidak bakal terjadi.
Pada 1997, berbagai indikator ekonomi juga tidak menunjukkan gejala bakal terjadi krisis ekonomi. Namun, dalam waktu hanya setahun semuanya berubah. Seluruh pemangku kepentingan tetap perlu waspada dan berhati-hati agar tidak sampai keliru mengambil langkah.
Seluruh pemangku kepentingan perlu melihat lebih jeli bahwa, walau punya gejala hampir sama, penyebab kegelisahan perekonomian saat ini berbeda dengan 1998. Salah satu pemicu utama kekhawatiran hari ini adalah pengelolaan fiskal yang melenceng dari kondisi kebatinan dan perekonomian masyarakat.
Tiga lembaga pemikir terkemuka Tanah Air – Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dan The Prakarsa – menyatakan bahwa gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah mencerminkan kegagalan fundamental dalam pengelolaan ekonomi. Ketiga lembaga ini mendesak pemerintah untuk segera melakukan reformasi fiskal yang adil, transparan, dan berpihak pada rakyat.
Mereka menyebut kegagalan tersebut terjadi akibat kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat dan perlindungan pekerja, yang justru memperlebar kesenjangan ekonomi. Ada beberapa indikasi kuat yang menjadi pemicu gelombang protes.
Pertama, pajak yang memberatkan rakyat. Di saat banyak pemerintah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) akibat pemangkasan transfer dari pemerintah pusat, anggota DPR justru dirancang menerima tunjangan perumahan yang sangat besar.
Kedua, prioritas fiskal yang keliru. Sebagai gambaran, anggaran Kepolisian pada 2026 dirancang mencapai Rp 145,65 triliun, naik dari Rp 138,54 triliun pada 2025. Ini bahkan melampaui anggaran Kementerian Kesehatan sebesar Rp 114 triliun yang naik dari Rp 86,08 triliun. Selain itu, alokasi anggaran pendidikan yang dikurangi untuk membiayai program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan rendahnya komitmen pada substansi pendidikan.
Ketiga, krisis di sektor ketenagakerjaan. Tingkat pengangguran Indonesia masih tertinggi di ASEAN (5,2%). Selain itu, 59% pekerja berada di sektor informal tanpa perlindungan memadai. Gelombang PHK juga marak terjadi.
Keempat, gelombang demonstrasi dalam beberapa hari belakangan ini juga lantaran pemerintah memilih respons yang represif terhadap protes, alih-alih membuka dialog dan mengatasi akar masalah struktural ekonomi. Pendekatan semacam ini hanya akan memperburuk citra pemerintah.

Hal senada juga dikemukakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Dalam media briefing bertajuk Wake Up Call dari Jalanan: Ujian Demokrasi dan Ekonomi Kita di kantor CSIS, Jakarta Pusat, Selasa (2/9/2025), Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan berpendapat, risiko krisis ekonomi berpotensi terjadi bila pemerintah tidak segera mengatasi akar permasalahan demonstrasi.
CSIS menilai permasalahan saat ini juga bersumber dari ironi kebijakan yang lebih menguntungkan elite dan malah membebani rakyat. Misalnya, belanja bantuan dan perlindungan sosial terus mengecil, sementara iuran BPJS direncanakan naik tahun depan.
Belanja negara pun efisien di satu sisi tapi boros di sisi lainnya. Anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) naik dari Rp 107 triliun menjadi Rp 335 triliun pada 2026 dan menguasai 44% dari anggaran pendidikan. Ada juga gaji dan tunjangan pejabat DPR yang naik dari Rp 6,69 triliun menjadi Rp 9,9 triliun untuk 2026.
Jika permasalahan dibiarkan, CSIS memperingatkan risiko terulangnya krisis multidimensional seperti yang terjadi pada 1997–1998.
“Ketimpangan, kesulitan ekonomi, korupsi, dan lemahnya penegakan hukum dapat mengakibatkan krisis multidimensional yang parah dan berlangsung lama,” kata Deni.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menegaskan, dunia usaha membutuhkan jaminan keamanan dan ketertiban. Ini pada akhirnya bisa menggerakkan roda perekonomian.
“Dunia usaha dan masyarakat pada dasarnya membutuhkan rasa aman dan stabilitas untuk bisa terus berkontribusi pada kegiatan ekonomi,” ujarnya kepada SUAR (31/8/2025).
“Dunia usaha dan masyarakat pada dasarnya membutuhkan rasa aman dan stabilitas untuk bisa terus berkontribusi pada kegiatan ekonomi,” ujar Shinta.
Kalangan pengusaha memahami keresahan masyarakat yang melatarbelakangi aksi demonstrasi. Namun, mereka juga menekankan pentingnya cara penyampaian aspirasi yang tidak menambah luka sosial. Shinta mengingatkan, ketegangan yang berkepanjangan justru berpotensi memperdalam polarisasi.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anindya Novyan Bakrie pun mengimbau semua pihak untuk tenang. Kondisi ekonomi yang sedang sulit harus dihadapi bersama dengan menjaga sutuasi keamaman agar semua orang bisa kembali bekerja dan melakukan aktivitas.
“Selama situasi keamanan tidak kondusif, kegiatan ekonomi akan terganggu dan dampak buruk akan dialami juga oleh masyarakat,” ujar Anindya, Sabtu (30/8/2025).
Ia menambahkan, Kadin mendukung sepenuhnya pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa situasi kacau tidak menguntungkan masyarakat dan bangsa Indonesia yang sedang membangun.
Kadin, lanjut Anindya, mengimbau para penyelenggara negara agar semua kebijakan, pernyataan, dan tindakan sungguh memperhatikan kondisi riil yang dihadapi masyarakat saat ini. Kondisi psikologi masyarakat yang sedang diimpit kesulitan ekonomi, pendapatan yang minim, biaya hidup yang meningkat, kondisi ketenagakerjaan yang sedang sulit, dan kesenjangan sosial yang masih cukup lebar. Dalam menghadapi situasi ini, para penyelenggara negara perlu memiliki kepekaan.
Kondisi psikologi masyarakat yang sedang diimpit kesulitan ekonomi, pendapatan yang minim, biaya hidup yang meningkat, kondisi ketenagakerjaan yang sedang sulit, dan kesenjangan sosial yang masih cukup lebar. Dalam menghadapi situasi ini, para penyelenggara negara perlu memiliki kepekaan.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, perekonomian Indonesia masih dalam kondisi baik. Ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang masih tumbuh lebih dari 5% dan inflasi terkendali.
Untuk menenangkan pasar dan dunia usaha, pemerintah pun menelurkan tiga stimulus perekonomian untuk jaga pertumbuhan ekonomi triwulan tiga.
- Pertama, revitalisasi kredit untuk industri padat karya yang meliputi tekstil dan produk tekstil (TPT), furnitur, serta makanan dan minuman (F&B) seperti merevitalisasi mesin produksi. Hal ini diharapkan bisa mendorong daya beli masyarakat.
- Kedua, kredit usaha rakyat untuk sektor perumahan dengan peningkatan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari 220.000 menjadi 350.000 unit rumah, penerapan PPN DTP 100%, serta bantuan stimulan perumahan swadaya bagi 41.000 rumah.
- Ketiga, akselerasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan menargetkan 25.000 unit satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) dengan 75 juta penerima di November 2025.

Ekonomi dan politik
Gubernur Bank Indonesia 1993-1998 Soedradjad Djiwandono, dalam artikel ”Kecil Itu Indah: Pendekatan Eklektik untuk Memerangi Inersia”, yang tertulis dalam buku 80 Tahun Mohammad Sadli: Ekonomi Indonesia di Era Politik Baru (2002), mengatakan, krisis 1998 awalnya dari persoalan ekonomi lalu itu menular ke bidang lain dan menjadi krisis nasional.
”Melalui suatu proses dengan dampak penularan kejutan finansial meluas, melanda perbankan, kemudian kegiatan investasi, produksi, perdagangan, konsumsi sektor riil, sehingga seluruh perekonomian nasional mengalami krisis. Akhirnya, krisis ekonomi ini berlanjut mengenai sektor sosial, politik, sehingga proses ini menimbulkan krisis menyeluruh dan multidimensi,” ujar Djiwandono.

Pakar ekonomi dunia Joseph E. Stiglitz, dalam bukunya The Great Divide, mengatakan, dengan kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang dan amanat demokrasi, pemangku kebijakan publik punya peran besar membawa pemerataan ekonomi atau malah menciptakan kesenjangan.
Pemenang nobel ekonomi tahun 2001 ini menganjurkan kebijakan fiskal dan regulasi yang lebih kuat untuk mengatasi ketidaksetaraan, mendorong kemakmuran yang lebih luas, serta memastikan bahwa ekonomi melayani martabat manusia dan kebebasan masyarakat.
Ekonom kawakan yang juga wakil presiden 2009-2014 Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia mengatakan, dari sejarah, kita mencatat bahwa sasaran politik pada suatu masa tidak selalu sejalan atau sinergis dengan sasaran ekonomi pada waktu yang sama.
Tetapi pada masa-masa tertentu, misalnya, krisis ekonomi, sasaran ekonomi menempati urgensi tinggi dan mensubordinasikan sasaran politik. Ini paling tidak dalam jangka pendek sampai krisis diatasi.
Sejarah menunjukkan, apabila kesenjangan atau gap antara sasaran politik dan sasaran ekonomi terlalu lebar, kesulitan menanti negara. Penyesuaian keduanya harus terjadi dan itu bisa menyakitkan. “Tugas pengelola negara adalah menjaga agar setiap saat kedua sasaran itu tidak melenceng terlalu jauh satu sama lain,” ujar Gubernur BI 2008-2009 ini.
Setelah baru saja berulang tahun ke-80 pada 17 Agustus lalu, Indonesia perlu terus belajar dari sejarah agar tidak terjerumus pada kesalahan yang sama. “Jika sejarah berulang dan hal yang tidak diharapkan selalu terjadi, (menunjukkan) betapa tidak mampunya manusia belajar dari pengalaman." Demikian ucapan sastrawan kenamaan Irlandia, George Bernard Shaw.