Picking a Path to Energy Independence and Low Emissions (1)

Indonesia needs to find solutions to the threat of a future energy crisis. Increasing fossil energy production is still being done, but innovations such as the use of vegetable energy must also be developed.

Picking a Path to Energy Independence and Low Emissions (1)
Pekerja Pertamina EP Adera Field melakukan pengecekan operasional pengeboran Sumur BNG-070 menggunakan rig PDSI #41.3/N110N0U-E kapasitas 1500HP milik Pertamina Drilling di klaster Benuang, Field Adera, Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan, Rabu (8/10/2025). Foto: Antara/Nova Wahyudi.
Table of Contents

Minyak mentah dari 70 sumur eksplorasi itu mulai mengalir ke fasilitas pengolahan milik PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) pada Juli lalu. Diperkirakan ada potensi sekitar 3.400 barel minyak per hari atau barrel of oil per day (BOPD) yang bisa dihasilkan dari semua sumur tersebut.

Capaian ini menjadi hasil tertinggi dari usaha put on production (POP) atau proses menyambungkan sumur eksplorasi yang telah ditemukan ke fasilitas produksi milik anak usaha PT Pertamina (Persero) yang khusus mengelola lapangan eksplorasi minyak di Zona Rokan, Provinsi Riau ini.

“Hal ini tentunya menjadi motivasi bagi kami untuk terus meningkatkan kinerja dan kontribusi dalam upaya menjaga ketahanan energi nasional. Melalui pelbagai inisiatif dan inovasi, kami terus berupaya meningkatkan produksi di Zona Rokan.” kata GM Zona Rokan, Andre Widjanarko.

Pertamina mendapatkan amanah dari Pemerintah Indonesia untuk mengelola Wilayah Kerja Rokan sejak 9 Agustus 2021. PHR melanjutkan pengelolaan Zona Rokan selama 20 tahun hingga 8 Agustus 2041.

Foto udara area pengeboran sumur migas di Lapangan Rangau 30, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, Rabu (24/9/2025). Pengeboran sumur Pertamina Hulu Rokan (PHR ) dengan kedalaman 6.704 kaki tersebut bertujuan untuk meningkatkan produksi migas di Zona Rokan serta mendukung pencapaian target produksi nasional. Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya.

Di tengah penurunan produksi minyak dalam negeri, seperti di Zona Rokan, Pertamina terus berusaha untuk melakukan eksplorasi dan peremajaan sumur-sumur minyak yang berumur tua demi mempertahankan produksi minyak dalam negeri.

Khusus untuk mempertahankan produksi di sumur-sumur di Zona Rokan, perusahaan ini menerapkan teknologi terkini dan inovasi operasional untuk menjaga efektivitas dan efisiensi pengeboran. Strategi yang digunakan adalah menjaga baseline produksi melalui program revitalisasi fasilitas produksi eksisting, optimisasi produksi sumur melalui kerja ulang dan stimulasi sumur.

Selain itu, PHR juga terus melakukan eksplorasi dalam meningkatkan produksi dengan mencari cadangan minyak baru, baik minyak konvensional maupun non-konvensional. Saat ini, PHR telah menyelesaikan enam sumur eksplorasi konvensional, dua sumur eksplorasi non-konvensional, serta akan menyelesaikan satu sumur eksplorasi konvensional di akhir tahun 2025.

Dongkrak produksi dengan inovasi

Pemerintah menargetkan peningkatan produksi minyak di masa mendatang, termasuk melalui optimalisasi lapangan yang sudah ada dan pengoperasian blok-blok baru. Selain itu, optimalisasi produksi di lapangan yang sudah atau sumur-sumur tua. Usaha ini digulirkan, karena cadangan minyak yang sudah ada semakin menipis.

Produksi minyak Indonesia mengalami penurunan signifikan, dari sekitar 1,6 juta barel per hari pada tahun 1996–1997 menjadi kurang lebih 600.000 barel per hari saat ini, Akibat penurunan ini, Indonesia terpaksa mengimpor sekitar 1 juta barel per hari untuk memenuhi kebutuhan BBM, yang berdampak pada neraca perdagangan dan ketahanan energi nasional.

Kenyataan inilah yang membuat perusahaan migas pelat merah terus berusaha untuk mencari alternatif peningkatan produksinya. Seperti Pertamina Hulu Rokan, tahun ini sudah melakukan upaya peningkatan produksi dengan target pengeboran 560 sumur. 

Selain melakukan pengeboran sumur baru, upaya pengembangan lapangan juga dilakukan dengan memanfaatkan teknologi enhanced oil recovery (EOR) seperti injeksi uap (steamflood) dan injeksi kimia (seperti alkali-surfactant polymer atau ASP), pemanfaatan teknologi digital untuk optimasi aset (digitalization for leveraging assets), dan pengelolaan sumur yang ditingkatkan, termasuk melalui kerja sama yang melibatkan masyarakat lokal, BUMD, dan koperasi. 

Sedangkan upaya pengeboran, baik untuk sumur pengembangan maupun eksplorasi, menggunakan teknologi modern untuk menemukan cadangan baru dan meningkatkan produksi dari lapangan yang sudah ada. 

Contohnya termasuk pengeboran sumur-sumur pengembangan di Lapangan Banyu Urip dan Lapangan Duri yang berkontribusi pada pencapaian target produksi nasional.  Berkat aktivitas pengeboran sumur pengembangan, secara signifikan menopang produksi dan lifting migas nasional sebesar mencapai 608.100 barel per hari, bahkan melampaui target APBN pada bulan Juni 2025 yang sebesar 605.000 barel per hari.

Pertamina juga melakukan eksplorasi di area baru untuk menemukan cadangan migas baru, seperti yang dilakukan di Cekungan Jawa Barat, dengan tujuan menghitung potensi cadangan yang lebih akurat. Pengeboran sumur-sumur baru, termasuk sumur pengembangan, berhasil meningkatkan lifting minyak nasional.

Pertamina juga melakukan eksplorasi di area baru untuk menemukan cadangan migas baru, seperti yang dilakukan di Cekungan Jawa Barat.

Contohnya, Lapangan Banyu Urip, setelah pengeboran, mampu meningkatkan produksinya hingga 180.000 barel per hari. Pertamina menggunakan teknologi canggih, termasuk teknologi optimasi dengan metode pengeboran MaxiDrill, untuk meningkatkan efisiensi dan kecepatan pengeboran. 

Secara umum, untuk bisa memastikan tata kelola energi pada umumnya dan tata kolola bahan bakar domestik tetap terjaga dan berkelanjutan, menurut Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso, Pertamina menggunakan strategi pertumbuhan ganda (dual strategy growth). “Ini sejalan dengan target Asta Cita Pemerintah Indonesia dalam mencapai swasembada energi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," ujarnya.

Ada dua pilar utama yang dilakukan PT Pertamina dalam mewujudkan apa yang jadi cita-cita tersebut. Yaitu pilar pertama adalah dengan memperkuat bisnis warisan (strengthening legacy business). Kemudian pilar yang kedua adalah memperluas bisnis ke sektor energi hijau (expanding into new green business).

Pertamina berkomitmen mengembangkan bisnis energi rendah karbon. ”Di satu sisi Pertamina fokus pada optimalisasi bisnis eksisting, khususnya di sektor hulu migas, tapi juga merintis pengembangan bisnis energi rendah karbon,” kata Fajar.  

Penyediaan BBM di pasar domestik

Indonesia, sebagai negara dengan penduduk 250 juta jiwa, harus selalu menjamin kebutuhan konsumsi bahan bakar warganya. Karena kenaikan permintaan yang selalu naik dari tahun ke tahun, pemerintah perlu memanfaatkan cadangan minyak di dalam negeri, juga melakukan impor. Selain itu, pemerintah pun mendorong adanya peralihan pemakaian energi terbarukan demi kelestarian lingkungan.

Petugas melayani pengisian bahan bakar minyak (BBM) jenis Biosolar di SPBU COCO Jalan Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (10/10/2025). 

Konsumsi minyak Indonesia saat ini diperkirakan mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari, dengan angka spesifik 1,603.769 barel per hari pada 2023. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan konsumsi minyak terbesar di dunia. Konsumsi ini sebagian besar dipenuhi dari impor, yang menyumbang lebih dari 50% total konsumsi nasional pada tahun 2023. 

Sementara kebutuhan anggaran negara untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 ditetapkan sebesar Rp 113,6 triliun. Ini juga termasuk subsidi untuk LPG tabung 3 kg, dengan total anggaran subsidi energi 2025 yang mencapai Rp 203,4 triliun.

Subsidi bahan bakar tidak memicu putaran ekonomi baru.

Dari sudut pandang pegiat keuangan, besarnya subsidi ini sangat boros dan tidak produktif. Karena, subsidi bahan bakar ini tidak memicu putaran ekonomi baru, namun menguap begitu saja seperti asap knalpot kendaraan. Idealnya subsidi diberikan negara ke sektor-sektor produktif dan ke masyarakat miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Adanya subsidi buat bahan bakar juga memicu terjadinya anggaran salah sasaran yang tidak produktif dan membebani keuangan negara. Karena itu wajar saja jika kemudian Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berharap Pertamina sebagai operator minyak negara melakukan antisipasi optimal agar subsidi energi bisa terkendali.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada 30 September 2025, Purbaya menyuarakan kekecewaannya atas ketergantungan Indonesia yang terus-menerus terhadap impor bahan bakar minyak (BBM), tanpa ada langkah nyata memperbarui infrastruktur kilang nasional. Menurut Purbaya, Indonesia sudah puluhan tahun mengimpor BBM, namun belum pernah membangun kilang baru secara signifikan.

Ia menyebut janji Pertamina untuk membangun tujuh kilang baru tidak pernah terealisasi, bahkan menyebut perusahaan kurang serius dalam hal ini. Kritik ini muncul di tengah kekhawatiran terhadap ketahanan energi nasional dan beban fiskal akibat impor BBM yang tinggi.

Menanggapi kritikan itu, Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, menyatakan apa yang dilontarkan Purbaya ke institusi yang ia pimpin adalah masukan berharga. Namun ia menyatakan bahwa klaim Pertamina tidak membangun kilang tersebut adalah pernyataan yang salah.

Simon pun menyatakan jika Pertamina akan segera mengoperasikan kilang pengembangan yang merupakan bagian dari proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan yang sedang dalam tahap akhir dan dijadwalkan mulai beroperasi pada 10 November 2025, dengan kapasitas pengolahan 90.000 barel per hari.

Bagaimana pun tanpa kilang baru, Indonesia akan terus terjebak dalam siklus impor yang melemahkan posisi fiskal dan ketahanan nasional. Di sisi lain, liberalisasi sektor migas yang masih setengah hati juga membuat tata kelola sektor ini terkadang menghadapi kendala di lapangan.

Seperti masalah stok bahan bakar minyak di SPBU swasta minim sejak akhir Agustus lalu. SPBU swasta seperti Shell, BP-AKR, dan ExxonMobil mengalami kesulitan beroperasi akibat pembatasan kuota impor bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah. Hal ini terjadi di tengah lonjakan permintaan BBM nonsubsidi dari masyarakat yang mulai beralih dari produk Pertamina, menyusul polemik seputar dugaan BBM oplosan.

Petugas menunggu calon konsumen di SPBU BP Minangkabau, Jakarta, Rabu (17/9/2025). ANTARA FOTO/Ika Maryani/

Kuota impor BBM yang dibatasi membuat SPBU swasta kesulitan mendapatkan pasokan bahan bakar. Pemerintah pun menyarankan SPBU swasta membeli BBM murni (base fuel) dari Pertamina, bukan mengimpor sendiri. Namun pengelola SPBU non-Pertamina, yang awalnya setuju untuk membeli bahan baku minyak mentah dari Pertamina, batal melakukannya.

Pengelola SPBU swasta merek Vivo menyatakan, meski saat ini kesepakatan batal, namun Vivo tak menutup kemungkinan untuk bekerja sama kembali jika Pertamina bisa memenuhi kualifikasi yang diinginkan. Sedangkan BP-AKR menegaskan komitmennya terhadap penyediaan bahan bakar berkualitas dengan memastikan setiap langkah kolaborasi terukur dan bertanggung jawab.

Dalam surat pernyataan yang dikirim ke Redaksi SUAR, manajemen BP-AKR menyatakan saat pihaknya ini masih terus melakukan koordinasi intensif dengan seluruh pihak terkait, untuk memastikan terpenuhinya pasokan base fuel yang memenuhi tiga aspek tata kelola yaitu  kepatuhan (compliance), kesesuaian spesifikasi serta standar kualitas, dan komersial.

“Fokus kami tetap sama yaitu memastikan kualitas produk yang konsisten, serta memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan,” tulis manajemen BP-AKR.

Manajemen BP-AKR juga mengapresiasi keterbukaan yang dibangun dalam dialog konstruktif demi tercapainya solusi terbaik untuk semua pihak, khususnya masyarakat. “BP-AKR tetap berkomitmen mempercepat normalisasi pasokan bahan bakar untuk mendukung mobilitas masyarakat,” lanjutnya.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memberikan pemaparan saat menjadi pembicara pada Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 di Jakarta Convention Center (JICC) Senayan, Jakarta, Jumat (10/10/2025). Foto: Antara /Bayu Pratama S.

Akibat kelangkaan BBM di SPBU swasta ini, seorang konsumen bahan bakar SPBU  asing bahkan nekat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terkait dengan kelangkaan BBM di SPBU swasta. Penggugat selaku pengguna bahan bakar jenis RON 98 merasa dirugikan karena tidak adanya BBM jenis tersebut di SPBU di Indonesia.

Saat diminta tanggapan soal sidang perdana hari ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut siap menghargai proses hukum yang berlangsung. "Kita hargai, ya, kita hargai semua proses hukum," ungkapnya.

Perlu kebebasan pasar

Mengenai persoalan kelangkaan BBM di SPBU non Pertamina ini, anggota Komisi XII DPR RI Syafruddin menegaskan, Kementerian ESDM dalam membuat kebijakan di sektor ini perlu memiliki dua pola pikir. Yaitu, sebagai institusi pelayanan dan institusi yang memperhatikan bisnis.

Jadi, jika Kementerian ESDM mengeluarkan kebijakan tentang pembelian satu pintu, di mana SPBU swasta wajib membeli BBM dari Pertamina, apakah sudah dilakukan mitigasi. “Kalau ternyata mitigasinya masih sedikit atau masih rendah, harusnya jangan diambil dulu kebijakan untuk satu pintu ini,” kata politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa ini.

Alasannya, di tengah rendahnya kepercayaan rakyat kepada Pertamina mestinya SPBU swasta itu harus diberi ruang juga. Mengingat Indonesia masih perlu impor BBM. “Harusnya pemerintah senang kalau ada pihak lain yang mampu mengimpor sendiri, karena satu juta barel itu kan tidak sedikit,” ujar Syafruddin.

Sedangkan anggota Komisi XII DPR RI Yulian Gunhar dari Fraksi PDI Perjuangan menyarankan agar BBM Swasta juga membangun kilang di daerah tertinggal, terdepan, terluar atau 3T. “Seandainya SPBU swasta bisa membangun di daerah 3T, mungkin harga BBM bisa sama,” katanya.

Rencana pemerintah menerapkan kebijakan impor bahan bakar minyak satu pintu berpotensi menghapus kompetisi sehat di sektor hilir migas.

Yulian juga menegaskan perlunya ada revisi Undang-undang Migas, sebagai payung hukum bagi pemerintah dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan yang strategis. “Tapi faktanya hari ini kita tidak mendapatkan itu, hanya dalam proses-proses, kurang lebih sudah sebelas tahun,” ungkapnya.

Sementara Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, menilai rencana pemerintah menerapkan kebijakan impor bahan bakar minyak satu pintu berpotensi menghapus kompetisi sehat di sektor hilir migas dan memperkuat monopoli Pertamina.

Menurut Fahmy, kebijakan ini akan mengubah wajah tata kelola hilir migas Indonesia dari sistem yang semula liberal menjadi sepenuhnya terkendali pemerintah. “Pemerintah tampaknya akan mengembalikan tata kelola sektor hilir dari liberalisasi kembali ke kebijakan regulated,” ungkapnya.

Fahmy menjelaskan, selama ini perusahaan asing bersedia berinvestasi di bisnis SPBU Indonesia karena mekanismenya yang terbuka. Mereka bebas mendirikan SPBU di berbagai wilayah, bebas mengimpor BBM sesuai kuota yang disetujui, dan bebas menentukan harga jual kepada konsumen berdasarkan mekanisme pasar.

Namun, dengan kebijakan impor BBM satu pintu, kebebasan itu akan hilang. Kondisi ini akan memangkas ruang efisiensi dan keuntungan perusahaan. “Salah satu sumber margin SPBU asing itu dari kemampuan mereka mencari harga impor paling efisien. Kalau semua harus lewat Pertamina, margin mereka akan tergerus habis,” tambahnya.

Fahmy memperingatkan, bila kebijakan ini diterapkan tanpa perhitungan matang, dampaknya bisa fatal. Dalam jangka pendek, margin SPBU asing akan semakin kecil. Dalam jangka menengah, mereka bisa merugi dan memilih hengkang dari pasar Indonesia. “Pada saat seluruh SPBU asing tumbang, tata kelola migas hilir akan sepenuhnya dimonopoli Pertamina,” tegasnya.

Padahal, keberadaan SPBU asing selama ini memberi dampak positif bagi konsumen, mulai dari peningkatan layanan, standar kualitas bahan bakar, hingga efisiensi harga di pasar. “Hilangnya kompetisi berarti hilangnya tekanan bagi Pertamina untuk berinovasi. Ini bisa berdampak pada kualitas layanan dan harga BBM yang tidak efisien,” tambahnya.

Beralih ke energi terbarukan

Selain melakukan upaya peningkatan produksi dan menekan impor dengan pembangunan kilang, pemerintah juga mulai mendorong penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan. Indonesia menargetkan 35% energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada tahun 2034.

Salah satu program yang dilakukan selain fokus utama pada penggunaan tenaga surya, hidro, dan panas bumi, khusus untuk bahan bakar, Pemerintah juga mendorong tahun 2025, Indonesia bisa  menerapkan kebijakan B40, yaitu campuran 40% biodiesel dalam solar, dengan alokasi mencapai 15,6 juta kiloliter.

Beberapa sektor bahkan mulai menguji coba B50, seperti yang dilakukan oleh PT ASDP Indonesia Ferry pada armada pelayaran Merak–Bakauheni. Biodiesel adalah bahan bakar nabati yang dihasilkan dari minyak kelapa sawit dan dicampur dengan solar fosil dalam berbagai konsentrasi, seperti B30 (30% biodiesel), B40, hingga B100.

Petani menggunakan perahunya melintas di dekat panel surya yang terpasang di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Rawa Pening, Desa Kesongo, Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Minggu (12/10/2025). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/

Di tengah krisis iklim dan ketergantungan pada energi fosil, biodiesel menjadi solusi strategis untuk mengurangi emisi karbon, meningkatkan ketahanan energi nasional, dan mendorong nilai tambah industri sawit dalam negeri.

Yang terbaru, pemerintah juga akan mewajibkan pencampuran bio etanol di bahan bakar yang dijual di Indonesia. Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan mandatori penggunaan campuran etanol dalam bahan bakar bensin (E10) sebagai langkah menuju kemandirian energi nasional dan pengurangan impor minyak.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan, kebijakan ini telah dibahas bersama Presiden Prabowo Subianto dan akan segera diterapkan dalam waktu dekat. “Ini bukan sekadar uji coba. Kita akan jalankan secara nasional. Campuran bensin dengan etanol 10% (E10) sudah jadi kesepakatan,” ujar Bahlil.

Menurut Bahlil, ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar minyak masih tinggi. Dari total kebutuhan bensin sekitar 42 juta barel per tahun, sekitar 27 juta barel masih harus dipenuhi dari impor. “Itu artinya, hampir 70% bensin kita masih bergantung pada luar negeri. Kalau ini terus dibiarkan, kita tidak akan pernah mandiri di sektor energi,” katanya.

Melalui penerapan E10, pemerintah berharap dapat menekan impor sekaligus mengoptimalkan sumber daya alam dalam negeri. Salah satunya, dengan memanfaatkan etanol dari tebu dan singkong sebagai bahan baku campuran bensin. “Indonesia punya tebu dan singkong dalam jumlah besar. Jadi, etanol ini bukan barang asing. Ini potensi yang selama ini belum dimaksimalkan,” jelasnya.

Selain untuk menekan defisit energi, Bahlil juga menilai kebijakan E10 akan membuka peluang ekonomi baru di sektor pertanian. “Dengan etanol, petani tebu dan singkong akan mendapat pasar baru. Kita bicara soal energi bersih sekaligus pemerataan ekonomi,” ujarnya.

Ia menepis anggapan bahwa kebijakan etanol hanya akan menambah beban industri migas. Menurutnya, negara-negara lain telah lama memanfaatkan etanol sebagai campuran bahan bakar dan berhasil mengurangi ketergantungan terhadap minyak. 

“Tidak benar kalau dibilang etanol itu tidak bagus. Coba lihat Brasil, mereka pakai E27, bahkan E100 di beberapa wilayah. Amerika Serikat sudah lama pakai E10 sampai E85, India E20, Thailand E20, Argentina E12. Jadi kita ini justru tertinggal,” tegas Bahlil.

Bahlil memastikan, pemerintah akan menyiapkan peta jalan dan infrastruktur pendukung agar penerapan E10 berjalan lancar. “Kami akan pastikan kesiapan teknis dan pasokan. Ini bukan proyek instan, tapi bagian dari transisi menuju energi bersih yang berkelanjutan,” katanya.

Mukhlison, Gema Dzikri, and Dian Amalia