Membuka Peluang Baru di Pasar Peru dan Amerika Selatan Melalui IP-CEPA

Kunjungan Presiden Peru Dina Boluarte ke Jakarta membuka peluang pasar ekspor ke Peru dan negara Amerika Latin lainnya.

Membuka Peluang Baru di Pasar Peru dan Amerika Selatan Melalui IP-CEPA
Presiden Prabowo Subianto bersama Presiden Republik Peru Dina Ercilia Boluarte Zegarra dalam kunjungan kenegaraannya ke Jakarta, Senin (11/8/2025). Foto: Sekretariat Negara.

Presiden RI Prabowo Subianto menyambut kedatangan Presiden Peru, Dina Ercilia Boluarte Zegarra, dalam pertemuan tatap muka di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (11/8/2025). Pertemuan ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk menembus pasar Amerika Latin melalui komoditas unggulan, seperti produk otomotif, crude palm oil (CPO), dan tekstil.

“Saya sangat menyambut baik, bagaimana kita dapat meningkatkan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia–Peru. Kami juga berharap dukungan Peru pada usaha kami untuk aksesi menjadi anggota OECD,” ungkap Presiden Prabowo dikutip dari keterangan resmi Sekretariat Negara (11/8/2025).

Presiden Dina Boluarte turut mengungkapkan sejumlah langkah konkret untuk memperkuat hubungan perdagangan, termasuk penandatanganan Indonesia-Peru CEPA yang memungkinkan produk bluberi asal Peru memasuki pasar Indonesia, serta proses pembukaan akses pasar bagi buah delima.

“Terima kasih, Bapak Presiden, atas komitmen Bapak, karena hal ini telah mempersingkat proses dan prosedur, dan kini kami dapat mengatakan bahwa hal ini telah terwujud di Peru,” tutur Presiden Dina Boluarte.

Pertemuan bilateral ini menjadi momentum strategis untuk membahas langkah nyata memperluas kerja sama di berbagai bidang. Kedua negara menegaskan komitmennya untuk terus menjalin hubungan erat sebagai sesama negara di kawasan Pasifik yang tengah membangun.

Pelaku industri menilai komoditas seperti komponen otomotif, CPO, dan produk tekstil memiliki potensi besar untuk menembus pasar Amerika Latin.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengatakan, komponen otomotif menjadi komoditas andalan yang sudah diekspor ke Peru dan memiliki potensi untuk ditingkatkan. Selain itu, minyak kelapa sawit mentah (CPO) juga dianggap potensial karena merupakan minyak nabati dengan harga paling kompetitif. Benny menambahkan, produk elektronik, baik dalam bentuk barang jadi maupun komponen, juga memiliki peluang.

“Produk ekspor yang sudah diekspor dan potensial dibesarkan ekspor ke Peru itulah komponen dari otomotif, seperti ban. Selain itu ada CPO tentunya, karena CPO adalah produk minyak nabati yang paling murah dibandingkan minyak nabati yang lainnya. Yang ketiga mungkin produk elektronik," ujarnya kepada SUAR (11/8/2025)

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno. Foto: Dok.Pribadi.

Hal senada juga dikemukakan oleh Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta. Ia mengatakan, produk tekstil, khususnya benang filamen dan benang pintal punya potensi pasar di Peru.

Menurutnya, meski ekspor benang ke Peru saat ini belum terlalu besar, hanya sekitar 2%-3%, namun Peru bisa menjadi pintu masuk ke pasar Amerika Latin yang lebih luas.

"Potensi Peru ini punya potensi untuk masuk pasar Amerika Latin, karena dekat ke sana," ungkapnya kepada SUAR (11/8/2025).

Ia menyebutkan, negara-negara seperti Brazil dan Meksiko memiliki industri garmen yang besar, sehingga Indonesia bisa memasok benang ke sana untuk diolah menjadi kain dan garmen.

Redma menambahkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan pada serat poliester dan rayon, yang merupakan bahan baku benang pintal. Ia menekankan bahwa ekspor produk tekstil ke Peru bisa sangat menguntungkan karena tidak ada persaingan langsung dengan industri sejenis di Peru.

"Secara hitung-hitungan, kita dagang dengan Peru, untuk teksil itu pasti menguntungkan. Karena kan kita tidak head-to-head, ya," jelasnya.

Tantangan ekspor dan jalur perdagangan

Baik Benny maupun Redma sepakat bahwa logistik dan persaingan menjadi tantangan utama. Benny Soetrisno menyoroti jarak yang jauh di seberang Samudra Pasifik sebagai tantangan logistik. Sementara, Redma Wirawasta menyebutkan bahwa persaingan terbesar datang dari Tiongkok dan Turki. Turki, menurutnya, memiliki kedekatan geografis yang menjadi keuntungan.

Benny Soetrisno juga melihat Chile dan Peru sebagai jalur masuk penting untuk menembus pasar negara-negara anggota Mercosur (Brazil, Argentina, Paraguay, dan Uruguay). Ia menyebutkan bahwa meskipun kerjasama dagang dengan Chile sudah terjalin, Indonesia belum memiliki kesepakatan dengan Mercosur.

Redma Wirawasta menyambut baik adanya fasilitas perdagangan antara Indonesia dan Peru. Ia meyakini, kemudahan dan pemotongan tarif yang didapat dari kerjasama tersebut dapat dimanfaatkan oleh industri tekstil untuk meningkatkan ekspor. "Ketika sudah ada fasilitas perdagangan, tentu akan ada kemudahan-kemudahan, akan ada persihan tarif, jadi itu yang bisa dimaksimalkan oleh industri tekstil," tutupnya.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal, menjelaskan lebih lanjut bahwa IP-CEPA lebih dari sekadar perjanjian perdagangan barang. Cakupannya meluas hingga ke sektor jasa, investasi, dan pembahasan non-tariff measure. Oleh karena itu, Faisal menekankan perlunya evaluasi mendalam terhadap berbagai aspek perjanjian ini.

Di sisi lain, Indonesia banyak mengimpor biji kakao dari Peru. Faisal menilai impor ini dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kakao domestik yang terus meningkat.

"Kebutuhan industri kita akan biji kakao semakin tinggi dari tahun ke tahun, dan impor dari Peru dapat menjadi solusi untuk memenuhi kekurangan bahan baku ini," jelas Faisal.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Foto: Dok.Pribadi.

Namun, Faisal juga mengingatkan bahwa kerjasama impor ini tidak boleh mereduksi usaha pemerintah dan swasta untuk meningkatkan produksi kakao di dalam negeri. Ia menekankan pentingnya hilirisasi, sesuai dengan visi Presiden, yang juga merambah sektor perkebunan.

"Industri hilir kakao kita sudah banyak, tetapi seringkali kekurangan bahan baku. Oleh karena itu, kita perlu mendorong produktivitas perkebunan kakao di Indonesia, salah satunya dengan memanfaatkan lahan-lahan tidak produktif," kata Faisal.

Dengan demikian, impor biji kakao dari Peru dapat menjadi solusi jangka pendek. Sementara, pengembangan perkebunan dalam negeri menjadi strategi jangka panjang untuk mengurangi ketergantungan impor dan mewujudkan ketahanan industri pengolahan kakao nasional.