Empat putaran negosiasi sejak Mei 2024 hingga Agustus 2025 akhirnya menuntun Indonesia dan Peru pada sebuah kesepakatan perdagangan. Pertemuan tatap muka yang diselingi intersessional sessions daring untuk menjembatani jarak geografis ini mencapai titik akhir pada 6 Agustus 2025, hanya beberapa hari sebelum Presiden Peru mendarat di Jakarta.
“Alhamdulillah kita bisa menyelesaikan perundingan ini dengan cepat. Ini bagian dari target 2025 untuk terus memperluas akses pasar produk Indonesia,” ujar Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, saat media briefing di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Lebih lanjut Presiden Prabowo, dalam Siaran Resmi Istana Negara pada Senin (11/8/2025), menegaskan capaian ini sebagai hasil kerja cepat dan solid kedua negara. “Biasanya perundingan seperti ini memakan waktu bertahun-tahun. Kita, Peru dan Indonesia, berhasil menyelesaikannya hanya dalam 14 bulan. Di semua sektor, kita akan bekerja sama untuk meningkatkan perdagangan di antara kedua negara,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, Presiden Peru Dina Boluarte juga menyampaikan optimisme serupa. Ia menilai penandatanganan IP-CEPA akan membawa manfaat nyata bagi pelaku usaha dan masyarakat di kedua negara.
“Ketika berlaku, CEPA akan memperkuat hubungan perdagangan, mendorong pertukaran barang, dan menjadi fondasi bagi perjanjian di bidang investasi, jasa, perdagangan elektronik, dan lainnya. CEPA adalah bukti tekad pemerintah kita untuk mendorong perdagangan yang lebih bebas dan memperkuat perekonomian,” kata Boluarte.
Gagasan CEPA Indonesia–Peru (IP CEPA) pertama kali muncul pada 2023 melalui kesepakatan term of reference antara Menteri Perdagangan kedua negara; lalu diluncurkan resmi pada 15 Agustus 2023 lewat joint ministerial statement virtual.
Setelah hampir dua tahun negosiasi, kedua pemerintah akhirnya menandatangani Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) pada Senin (11/8/2025), bertepatan dengan kunjungan kenegaraan Presiden Peru ke Jakarta. Perjanjian ini menjadikannya CEPA kedua Indonesia di Amerika Latin setelah Chile pada 2019.
Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Perdagangan RI Budi Santoso dan Menteri Perdagangan Luar Negeri Peru, Desilu Leon, disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden Peru.
Perjanjian ini, menurut Djatmiko, akan membuka akses preferensial bagi lebih dari 90% pos tarif kedua negara, lompatan yang diharapkan bisa mendorong nilai perdagangan bilateral menuju target ambisius yakni USD 5 miliar.
“Ini luar biasa. Dengan CEPA ini, daya saing kita akan semakin baik, tidak hanya di Peru, tapi juga di kawasan Amerika Selatan. Ini memperkuat posisi kita di pasar global,” ujar Djatmiko.
Peru memang bukan mitra dagang terbesar Indonesia. Nilai perdagangan kedua negara pada 2023 baru mencapai sekitar USD 331 juta. Namun, potensi pertumbuhannya dinilai besar.
Apalagi, CEPA ini memberikan penghapusan atau penurunan tarif untuk komoditas unggulan Indonesia, seperti otomotif, alas kaki, tekstil, dan produk turunannya. Sebaliknya, Indonesia juga membuka akses bagi produk-produk utama Peru, termasuk perikanan, pertambangan, sitrus, dan beberapa komoditas pertanian khas.
Selain IP-CEPA, ada dua dokumen lainnya yang juga ditandatangani dalam kunjungan kenegaraan tersebut, yakni memorandum saling pengertian antara Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia dan Komisi Nasional untuk Pengembangan dan Hidup tanpa Narkoba Republik Peru tentang kerja sama teknis dalam pemberantasan produksi gelap, persiapan, dan perdagangan gelap narkotika, bahan-bahan psikotropika, dan prekursor.
90% tarif nol, peluang sektor unggulan
Meski berlabel Comprehensive, IP CEPA untuk tahap awal akan difokuskan pada perdagangan barang. Pendekatan bertahap (incremental approach) ini sebelumnya juga diterapkan dalam perundingan dengan Chile, sebelum diperluas ke sektor jasa dan investasi.
Tahap pertama meliputi penghapusan atau pengurangan tarif, ketentuan asal barang (rules of origin), prosedur kepabeanan, pengamanan perdagangan, serta pengaturan terkait hambatan teknis dan standar kesehatan dan keamanan pangan (SPS). Setelah implementasi berjalan, kedua negara akan melanjutkan perundingan ke sektor jasa, investasi, kekayaan intelektual, hingga ekonomi digital.
“Kami ingin cepat memberikan manfaat nyata bagi pelaku usaha, sehingga sektor perdagangan barang menjadi prioritas awal,” jelas Djatmiko.
Salah satu sorotan utama dari IP-CEPA ini adalah pemberian preferensi tarif 0% untuk lebih dari 90% pos tarif dari kedua negara. Di sisi Indonesia, ekspor otomotif, alas kaki, tekstil, produk olahan sawit, serta berbagai produk manufaktur dan non-manufaktur akan mendapat keuntungan signifikan. Beberapa komoditas akan langsung menikmati tarif nol sejak perjanjian berlaku, sementara yang lain akan bertahap menuju tarif nol dalam beberapa tahun.

Di sisi Peru, akses pasar Indonesia dibuka untuk produk seperti ikan, moluska, tembaga, sitrus, hingga komoditas agrikultur lainnya. Meski beberapa sektor di Indonesia, seperti perikanan dan pertanian, memiliki produk serupa, pemerintah menilai keterbukaan ini akan memperkuat daya saing domestik dan mendorong diversifikasi produk.
Djatmiko menekankan pentingnya pelaku usaha, terutama UMKM, memanfaatkan peluang ini. “Kami ingin pemain baru ikut terlibat, bukan hanya eksportir besar yang sudah terbiasa. IP CEPA ini harus menjadi jalan bagi UMKM untuk menembus pasar Amerika Latin,” ujarnya.
Membidik peluang IP-CEPA
Peluang strategis ini juga diamini oleh Mohammad Faisal, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CORE Indonesia. Ia menilai kesepakatan dagang Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Peru bukan sekadar urusan tarif perdagangan barang. “Di luar itu, cakupannya lebih luas: jasa, investasi, dan berbagai aspek non-tarif,” ujarnya.
Menurutnya, perjanjian ini menuntut kalkulasi yang lebih tajam dan komprehensif, sejalan dengan luasnya ruang lingkup yang dibahas. “Kita perlu tahu apa yang ingin kita sasar dari sisi ekspor, hambatan apa yang kita harapkan bisa diturunkan, serta target dari investasi dan perdagangan jasa,” kata Faishal.
Hal yang sama berlaku pada impor, barang apa saja yang benar-benar diperlukan untuk produksi dalam negeri, terutama yang selama ini sulit dipenuhi, seperti bahan baku.
Berdasarkan catatannya, perdagangan Indonesia dengan Peru selama ini justru mencatat surplus. Indonesia banyak mengekspor produk manufaktur bernilai tambah tinggi, seperti otomotif, serta produk padat karya seperti alas kaki. Faishal memandang CEPA bisa menjadi pintu untuk penetrasi lebih besar ke pasar Peru, bahkan menjadikannya sebagai “hub” bagi produk manufaktur Indonesia menuju Amerika Latin.
Dari sisi impor, kakao menjadi salah satu komoditas utama yang dibeli Indonesia dari Peru. “Kita memang kekurangan biji kakao. Kebutuhan di dalam negeri terus naik, impornya juga semakin besar,” ujarnya. Menurut Faishal, impor kakao dari Peru seharusnya dimanfaatkan untuk memenuhi kekurangan bahan baku industri domestik. Namun ia mengingatkan, langkah ini tidak boleh mengurangi upaya pemerintah maupun swasta dalam mengembangkan perkebunan kakao di Indonesia.
“Kakao adalah salah satu komoditas perkebunan yang hilirisasinya sudah berkembang, tapi bahan bakunya justru kurang,” katanya. Ia menekankan perlunya peremajaan dan perluasan perkebunan, termasuk memanfaatkan lahan-lahan yang saat ini tidak produktif, agar ketergantungan impor bisa berkurang.
Membuka jalur ke pasar Amerika Latin
Keputusan menggandeng Peru bukan tanpa alasan. Negara di pesisir barat Amerika Selatan itu memiliki ekonomi terbuka dan menjadi anggota berbagai blok perdagangan besar, termasuk Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) dan Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP). Secara geografis, Peru berbatasan dengan Chile, Bolivia, Kolombia, dan Ekuador, memungkinkannya menjadi hub distribusi produk ke berbagai pasar di kawasan tersebut.
Selama ini, sebagian produk Indonesia yang diekspor ke Chile berakhir masuk ke Peru. Dengan CEPA, akses langsung ini diharapkan dapat memangkas biaya distribusi, meningkatkan daya saing, dan membuka pasar baru bagi produk Indonesia seperti alas kaki, tekstil, makanan olahan, furnitur, dan komponen otomotif.
“Amerika Latin itu besar. Kalau kita hanya mengandalkan Chile, potensi yang belum tergarap masih banyak. Peru ini strategis dan punya hubungan dagang yang saling melengkapi dengan kita,” kata Djatmiko.
Selama ini, Indonesia sudah memiliki perjanjian perdagangan dengan negara-negara di Asia, Eropa, hingga Australia. Namun, penetrasi ke Amerika Latin masih terbatas. Peru diharapkan menjadi pintu masuk strategis ke kawasan Amerika Latin yang terhubung ke pasar Amerika Utara.
“Dengan CEPA ini, kita memperkuat kehadiran di Amerika Selatan. Di Amerika Utara kita sudah punya, di Eropa kita makin kuat, di Asia sudah sangat solid. Jadi ini melengkapi peta kemitraan perdagangan global kita,” kata Djatmiko.
Tahap berikutnya: jasa dan investasi
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan tren perdagangan Indonesia–Peru terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Nilai perdagangan bilateral tumbuh rata-rata 15% per tahun, dengan surplus bagi Indonesia mencapai 15,7%. Pada periode Januari–Juni 2025, perdagangan kedua negara sudah mencapai US$264,8 juta, naik 34,3% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Pemerintah optimistis IP-CEPA akan mempercepat tren positif ini. “Belum ada CEPA saja peningkatannya sudah 34%, apalagi setelah CEPA berlaku,” ujar Djatmiko.
Meski fokus awal IP-CEPA adalah perdagangan barang, kesepakatan ini juga membuka jalan bagi pembahasan perdagangan jasa dan investasi. Sesuai kesepakatan, negosiasi untuk sektor jasa dan investasi akan dimulai dua tahun setelah implementasi IP CEPA. Potensinya meliputi pariwisata, logistik, transportasi, pendidikan, layanan kesehatan, sektor keuangan, hingga teknologi digital.
Presiden Peru Dina Boluarte bahkan secara terbuka mendorong peningkatan investasi Indonesia di Peru. Di sisi lain, pemerintah Indonesia melihat peluang untuk meningkatkan ekspor jasa ke Peru, khususnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan teknologi.
Langkah Selanjutnya: ratifikasi dan implementasi
Sesuai UU Nomor 7 Tahun 2014, CEPA Indonesia–Peru harus diratifikasi oleh DPR sebelum dapat berlaku. Pemerintah berharap proses ratifikasi berjalan cepat, sehingga manfaat langsung dapat dirasakan pelaku usaha.
“Kami akan berkoordinasi dengan DPR agar ini bisa segera di-entry into force,” kata Djatmiko.
Proses ratifikasi IP CEPA diperkirakan memakan waktu sekitar 12 bulan, termasuk pembahasan di DPR. Setelah disahkan, tahap implementasi akan diikuti dengan evaluasi berkala. Pemerintah akan memantau tingkat pemanfaatan fasilitas perdagangan ini, antara lain melalui data penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) Indonesia–Peru.
“Evaluasi rutin penting untuk memastikan perjanjian ini benar-benar dimanfaatkan. Kalau ekspor kita naik, tapi utilisasi SKA rendah, berarti ada yang perlu kita perbaiki,” jelas Djatmiko.
Selain itu, pemerintah berencana mengintensifkan sosialisasi melalui pameran dagang, pelatihan, dan pendampingan bagi pelaku usaha. Fasilitas ini akan diberikan di berbagai kota besar melalui Indonesian Trade Promotion Center dan dinas perdagangan daerah.
Menatap pasar yang lebih luas
Dengan berlakunya IP-CEPA ini, Indonesia akan memiliki tiga perjanjian perdagangan komprehensif di benua Amerika: Chile, Peru, dan (dalam waktu dekat) Kanada. Strategi ini diharapkan memperluas jaringan pasar Indonesia di Amerika Latin dan Amerika Utara.
Di saat bersamaan, Indonesia tengah menjajaki perjanjian perdagangan dengan Uni Ekonomi Eurasia (Rusia, Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Armenia) dan melanjutkan pembahasan preferensial trade agreement dengan Tunisia.
Namun, Djatmiko mengakui, sumber daya negosiasi pemerintah terbatas. Karena itu, strategi prioritas menjadi penting. “Peru datang belakangan, tapi prosesnya cepat. Itu yang perlu kita apresiasi,” katanya.
Bagi pelaku usaha, peluang terbuka lebar. Tidak hanya untuk komoditas primer, tetapi juga produk bernilai tambah tinggi yang bisa bersaing di pasar yang menuntut kualitas.
Dengan semakin banyak perjanjian perdagangan bebas yang dimiliki, tantangan terbesar adalah memastikan pelaku usaha memahami dan memanfaatkan fasilitas yang ada. “CEPA ini dua arah. Tidak hanya untuk ekspor kita ke Peru, tapi juga untuk impor dari Peru ke Indonesia. Kuncinya ada di pemahaman dan kesiapan pelaku usaha,” tutup Djatmiko.