Building Migrant Worker Villages from Across the Country (3)

Before the #KaburAjaDulu hashtag hit the internet, residents of Pati Regency had been practicing it for 30 years.

Building Migrant Worker Villages from Across the Country (3)
Gerbang masuk Desa Pasuruhan, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Suar.id/Arif Koes)
Table of Contents

Sebelum tagar #KaburAjaDulu heboh di jagat maya, warga Kabupaten Pati sudah ramai-ramai mempratikkannya sejak 30 tahun lalu. Menjadi pekerja migran, menopang perekonomian desa.

Gapura Desa Pasuruhan, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, boleh jadi seperti kebanyakan gapura desa lain.  Namun memasuki desa yang berada 20 kilometer ke selatan dari pusat Kabupaten Pati itu, suasana berbeda segera terasa. Paling kentara adalah gapura di tiap gang. Dengan warna merah mencolok, gapura-gapura itu dibangun tinggi besar dari keramik.

Memasuki wilayah desa, Rabu 2 Juli 2025 lalu, sebagian besar rumah tampak baru, megah, dan warnanya mencolok. Tak sedikit pula yang sedang membangun atau merenovasi kediamannya. Puncaknya, di tengah desa berdiri megah Masjid Jami’ Baiturrohim dengan warna kuning-coklat dan dilengkapi menara. “Ini renovasinya sekitar satu tahun, termasuk dengan dukungan pekerja migran dari Pasuruhan,” ujar Kepala Desa Pasuruhan, Nurul Huda.

Sejak awal 1990-an, banyak warga Pasuruhan bekerja di luar negeri. Mereka merantau ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Hong Kong (Cina), Taiwan, Korea Selatan, hingga Arab Saudi. “Sekitar 70%-80% persen warga Pasuruhan sedang atau pernah menjadi pekerja migran,” ujar Huda.  

Saat ini tercatat ada 901 kepala keluarga (KK) di Pasuruhan. Pihak desa mengklaim warga Pasuruhan yang terbanyak jadi migran di Kecamatan Kayen, bahkan di Kabupaten Pati. “Waktu pemilu, dari 1.700 orang di daftar pemilih, hanya 800 orang yang nyoblos,” kata Huda.

Dari Luar Pulau Hingga ke Negeri Seberang

Banyaknya warga yang bekerja ke mancanegara dilatari kondisi alam Pasurahan yang berdampak ke taraf ekonomi warga. Pada 1990-an, Pasuruhan kerap dilanda kekeringan. Hasil pertanian tak sesuai harapan.  Saat itu, sejumlah warga pun memutuskan merantau ke luar Jawa, terutama ke Sumatera. Dari pengalaman itu, beberapa orang memutuskan “melebarkan sayap” ke negeri seberang.

Salah satunya adalah Syafii, 66 tahun. Ditemui seusai menanam jagung di ladangnya, ia mengaku sebagai  angkatan kedua warga Pasuruhan yang menjadi migran. Pada 1987, ia pertama kali merantau ke perkebunan sawit di Palembang, lalu ke kawasan Kerinci di Sumatera Barat. Pada tahun–tahun itu, ia menyebut gelombang pertama yang terdiri dari 3-4 orang Pasuruhan berangkat ke Malaysia. “Saya menyusul pada 1990. Waktu itu ada tekongnya,” kata dia  menyebut istilah calo.

Syafii, 66 tahun, mantan pekerja migran generasi ke dua desa Pasuruhan (Suar.id/Arif Koes)

Syafii mengaku merantau hingga 2021. Sempat beberapa kali pulang-berangkat, ia memutuskan berhenti ketika izin tinggalnya habis. “Tapi saya sudah dapat kenang-kenangan, kepala saya diinjak sawit 25 kilogram,” ujarnya mengingat kejadian getir itu seraya tertawa. Hasil dari merantau ia gunakan untuk menyekolahkan anak dan membeli sawah. Dari 2 anak dan 3 cucunya, tak ada yang mengikuti jejaknya sebagai pekerja migran.

Jejak pekerja migran antar-generasi justru ditempuh Huda (43), si kepala desa sendiri. Setelah lulus SMA tahun 2000,  sebagai anak laki-laki satunya dan tertua--ia punya satu kakak, tapi sudah meninggal, ia dituntut untuk membantu orang tua menghidupi 3 adik perempuannya yang masih kecil.

Huda pun merantau ke Malaysia mengikuti jejak sang ayah. Selama tiga tahun, ia bekerja perkebunan sawit di Perak dan Johor. Setelah itu, perantauannya berlanjut ke Arab Saudi--namun di bidang yang berbeda. 

Kepala Desa Pasuruhan, Nurul Huda (Suar.id/Arif Koes)

Huda menjadi tukang masak di sebuah restoran. “Seharusnya memang punya skill dulu, tapi waktu itu saya nekat. Sampai sana dlongap-dlongop (tidak tahu apa-apa). Tapi di sana ada pelatihan dan kita diajari. Saya dianggap pinter,” tutur bapak tiga anak ini.

Orang Indonesia di perantauan tergolong cepat belajar, adaptif, dan rajin. Ini berbeda dengan perantau dari negeri lain seperti India dan Bangladesh yang butuh waktu lama belajar dan tidak tekun

Huda menyebut, orang Indonesia di perantauan tergolong cepat belajar, adaptif, dan rajin. Ini berbeda dengan perantau dari negeri lain seperti India dan Bangladesh yang butuh waktu lama belajar dan tidak tekun. Menghabiskan tiga tahun di Saudi, Huda pulang pada 2007.  Setelah beberapa tahun di kampung, ia kembali merantau pada 2012. Kali ini ke Korea Selatan untuk bekerja di sebuah pabrik boks aki selama 4 tahun.

“Setelah pulang, main-main kayak gini (di pemerintahan desa), keterusan. Sebenarnya mau balik (merantau) lagi. Tapi ada dorongan dari warga untuk mengabdi,”  ujar Huda yang menjabat kades sejak 2021 ini.

Pulang Merantau Kembali Jadi Petani

Jika pada 1990-an karena kekeringan, kondisi sawah Pasuruhan saat ini justru terdampak banjir. Saat disambangi langsung ke lokasi, beberapa lahan memang terlihat baru ditanami. Sebagian lain masih menyisakan tanah berlumpur yang belum bisa jadi tempat bercocok tanam. Sebagian yang lain justru masih tergenang air. Pada awal 2025 kawasan persawahan ini dilanda banjir dan belum kering di sejumlah petak sawah.  Tahun lalu banjir bahkan berdampak hingga kawasan permukiman.

Desa ini menjadi langganan banjir karena dilalui cabang Sungai Pamali Juwana. Sungai mengalami pendangkalan sehingga mudah meluap saat hujan turun. Upaya normalisasi memang sudah dilakukan, tapi hasilnya tak memuaskan. Apalagi kontur wilayah ini juga berupa cekungan.

“Panen 6-7 ton per hektar di sini sudah bagus banget. Padahal target Pak Bupati baru 10 ton per hektar,” ujar Huda merujuk pernyataan Bupati Pati Sudewo yang baru dilantik awal tahun ini.

Salah satu sudut kampung di Desa Pasuruhan (Suar.id/Arif Koes)

Para petani di kawasan in juga mantan pekerja migran. Nyaris semuanya pernah merantau ke luar negeri.  “Mayoritas mata pencaharian warga Pasuruhan ya pekerja migran, bukan petani,” kata Huda.

Menurutnya, faktor utama pekerja migran untuk terus bekerja di luar negeri adalah gajinya. Tanpa menyebut nominal, minimal proporsi gaji di negara lain adalah 2,5 kali gaji pekerjaan serupa di negeri sendiri. Uang ini tentu dikirim ke kampung untuk menopang ekonomi. Dampak lain ada pada peningkatan sumber daya manusia (SDM).  “Orang tua bisa sekolahkan anaknya, bahkan sampai kuliah. Sekolah dan pesantren di sini juga banyak (dibangun),” kata dia.

Sumbangan juga mengalir untuk berbagai kegiatan sosal  dan keagamaan. Mulai dari pengajian, dana kematian, sedekah bumi, karnaval 17-an, hingga pertunjukan musik horeg, mendapat dukungan dari warga migran. Dana tersebut dikelola secara kolektif.

Sebagai contoh, Huda pernah menggagas paguyuban Pasuruhan di Korea Selatan. Setiap orang memberi iuran 10 ribu Won per bulan. Dari 20-30 migran di sana dapat terkumpul sekitar Rp25 juta per tahun. “Ini untuk santunan warga duafa, yatim, piatu dan jompo. Disalurkan tiap tahun jelang hari raya Idulfitri door to door sampai sekarang. Itu belum dari negara lain,” katanya.

Faktor lain adalah karena gengsi. Imam Buchori, warga setempat yang merantau ke Arab Saudi untuk bekerja di bidang otomotif, misalnya. Selepas SMA, ia tergoda jadi pekerja migran setelah melihat gaya hidup rekannya. “Mereka sudah nasi (sepeda motor Honda )  PCX, masak kita masih naik (Astrea) Grand,” katanya.

Tak Gentar Cerita Buruk Hidup di Negeri Orang

Huda tak memiliki data detail terkait aktivitas migran. Yang jelas, di mejanya sudah masuk puluhan permohonan dokumen sebagai syarat bekerja di luar negeri. “Kalau perputaran uang dari kiriman, wah sudah besar sekali. Di sini banyak pahlawan devisa yang membantu negara,” katanya.

Kendati demikian, Huda menyatakan, tak ada fasilitasi dari pemerintah dan pihak swasta terkait aktivitas migran di Pasuruhan. “Semua keberangkatan itu atas inisiatif sendiri-sendiri. Cari agen sendiri, ikut pelatihan sendiri,” ujarnya.

Menurutnya, selama warga Pasuruhan menjadi migran, tak ada kejadian buruk yang terjadi. Warga juga tak khawatir di perantauan karena biasanya sudah ada kerabat yang berada di sana. Migran yang mengalami kekerasan memang, tapi kata dia tidak banyak.  Ada pula yang jadi korban penipuan, tapi kebanyakan warga tak kapok.

“Yang meninggal di Arab ada, tapi sudah lama sekali. Total yang mengalami kecelakaan kerja dan sakit sampai meninggal sekitar 20-an orang. Yang ke Kamboja karena iming-iming gaji besar (di usaha judi online) enggak ada,” kata dia.

Menurutnya, penanganan migran makin baik, terutama sejak di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Waktu itu pernah warga Pasuruhan diantar satu bus sampai ke rumah. Karena sebelumnya, ramai soal TKI yang disandera oknum di Medan,” imbuh Huda.

Yang menjadi keprihatinan saat ini, justru dampak sosial dan psikologis pada keluarga yang ditinggal merantau. Budaya negatif dari luar, seperti menenggak minuman keras, ikut masuk ke desa, bahkan turut merembet ke anak-anak. “Anak-anak yang ditinggal orang tua juga belajarnya tidak fokus. Banyak yang nakal,” katanya.

Untuk itu, ia setuju adanya program-program pemberdayaan supaya warga tak terus-terusan merantau. Dalam gambarannya, warga migran yang sukses adalah yang mampu mengelola keuangannya, seperti membuat usaha yang produktif. Segelintir contoh sudah ada, seperti peternakan ayam atau usaha toko. “Migran yang sukses itu biasanya punya rumah dan usaha. Kalau belum ada usaha, belum sukses. Kalau ada rumah tapi menganggur, nanti balik lagi ke rantau,” ungkapnya.

Desa Peduli Pekerja Migran

Pada 2017, Pasuruhan bersama sejumlah desa di Kabupaten Pati menjadi sasaran program Desa Migran Produktif (Desmigratif) dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Program ini memberi pelatihan pada mantan migran atau keluarganya supaya memiliki keterampilan, berdaya, dan tak lagi pergi keluar negeri.

Tahun 2020, Desa Pasuruhan mendapat penghargaan Kemenaker sebagai Desa Peduli Pekerja Migran Indonesia. Sertifikatnya, yang ditandangani Menaker Ida Fauziyah, terpajang di lemari di belakang meja kerja Huda. Namun selama menjabat kades sejak 2021, ia merasa tak ada tindak lanjut program tersebut di Pasuruhan.  

Program tersebut dikelola pemerintahan desa sebelumnya.  “Sebenarnya dulu itu biar warga ndak ke luar (negeri) lagi. Ada pelatihan dulu di dinas. Ngelas, bengkel, PKK. Walau seperti itu belum ada efeknya. Masih tetap ke luar (negeri).  Setelah itu ilang sendiri,” ujar Huda.

Pihaknya pernah mengajukan pendirian Balai Latihan Kerja  (BLK) di Pasuruhan. Tapi permohonan tak membuahkan hasil. Dua BLK di bidang komputer dan penjahitan justru dibuka di desa tetangga. “Ibaratnya kami tidur nunggu hujan saja,” kata Huda.

Layanan Terpadu Satu Atap Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Disnaker Kabupaten Pati (Suar.id/Arif Koes)

Eko wahyu Anggoro, staf Layanan Terpadu Satu Atap Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, Disnaker Kabupaten Pati, menjelaskan Desmigratif memang digencar Kemenaker RI pada 2017-2021. Saat itu enam desa di Pati, termasuk Pasuruhan, menjadi targetnya dan didukung pelatihan beserta sarana prasarana. “Ini ditujukan untuk purna pekerja migran dan keluarganya,” kata Wahyu yang terjun langsung mengurusi program pemberdayaan eks migran di desa-desa di Pati.

Namun setelah periode itu program Desmigratif tak berlanjut. Tahun lalu,  program tersebut diadakan lagi dengan menyasar dua desa, yakni di Sitiluhur dan Sugihrejo, berupa pelatihan boga. Itu pun pendanaan bukan dari pusat, melainkan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemkab Pati.  

Kabupaten Pati menempati posisi keempat se-Jawa Tengah dalam hal jumlah pekerja migran—dengan sentra di Kecamatan Kayen dan Sukolilo.

Sasaran program, adalah desa yang dinilai jadi kantong migran di Pati berdasar data Kemenaker RI. Adapun Kabupaten Pati menempati posisi keempat se-Jawa Tengah dalam hal jumlah pekerja migran—dengan sentra di Kecamatan Kayen dan Sukolilo. Hingga Juni tahun ini, sudah ada 1000-an warga Pati yang secara resmi mendaftar kerja ke luar negeri.

Program Terdampak Efisiensi Anggaran

Tahun ini, program pemberdayaan eks migran tak diagendakan lagi lantaran adanya efisiensi anggaran. “Dulu program itu mendapat bantuan alat seperti komputer, ada ruangan khusus, dan untuk jangka panjang. Cuman realitanya sekarang enggak ada, program enggak jalan, apalagi wilayah-wilayah Desmigratif bergeser dari data Kementerian,” ujar Wahyu.

Tentu ini sangat disayangkan. Karena program penempatan PMI apalagi yang memiliki kompetensi tinggi akan berdampak kepada ekonomi daerah di mana para pekerja migran ini berasal.

Dana remitansi, selalu mengalir ke ekonomi lokal melalui pengeluaran untuk kebutuhan dasar, pendidikan, dan bahkan investasi usaha kecil setelah PMI kembali pulang. Pada tahun 2023, Bank Indonesia melaporkan remitansi sebesar $14,2 miliar — jumlah yang sebanding dengan seluruh kontribusi PDB dari sektor layanan kesehatan dan pekerjaan sosial.

Sementara remitansi memberikan bantuan keuangan langsung, dampak jangka panjangnya terhadap mobilitas ekonomi berkelanjutan dari hasil penelitian yang dilakukan Indonesia Business Council menunjukkan bahwa peningkatan remitansi sebesar 1% dikaitkan dengan peningkatan PDB provinsi (PDRB) sebesar 0,01%. 

Potensi manfaat ekonomi dari remitansi dapat ditingkatkan secara signifikan ditingkatkan dengan meningkatkan penempatan PMI dan meningkatkan keterampilan pekerja untuk peran yang membutuhkan keterampilan lebih tinggi.

Peningkatan keterampilan sangat penting karena tidak hanya meningkatkan jumlah kiriman uang tetapi juga membekali para migran yang kembali dengan keterampilan yang lebih berharga. 

Arif Koes Hermawan (Pati)