Quelling the Silent Rebellion

Quiet quitting arises not only because of dissatisfaction with the existing workload. It is also a response to a work environment that is considered less supportive of mental well-being and work-life balance.

Quelling the Silent Rebellion
Photo by Marvin Meyer / Unsplash

It is common knowledge that today's young generation, especially Generation Z and Alfa, have a 180-degree different behavior from their parents' age. They tend to prioritize their mental health, rather than catering to the whims of others. They are also more focused on being involved in situations that make them happy at work.  

Today's generation is not interested in getting more, if it means sacrificing their precious time. Therefore, don't be surprised if today's workforce is less likely to want to work overtime or engage in work outside of their existing responsibilities.

Maka, bukan sebuah kebetulan, akibat pandemi Covid-19, yang membuat budaya kerja menjadi lebih fleksibel, generasi muda saat ini juga lebih memilih bekerja dengan kemudahan waktu serta kebebasan untuk memilih yang terbaik buat diri mereka sendiri. Dari kecenderungan itulah muncul konsep quiet quitting, hasil dari gerakan para karyawan yang memang terlibat dalam protes kerja seperti menolak untuk bekerja lembur, dan sebagainya. 

Quiet quitting muncul bukan hanya karena ketidakpuasan terhadap beban kerja yang ada. Melainkan juga sebagai respons terhadap lingkungan kerja yang dianggap kurang mendukung kesejahteraan mental dan work life balance. Fenomena ini sebenarnya menyoroti kurangnya dukungan psikologis dari organisasi, baik dalam bentuk pengembangan karier maupun penghargaan bagi upaya yang sudah dilakukan. 

Mereka yang memiliki konsep kerja  quiet quitting biasanya menjalankan tugas secara mekanis, sesuai deskripsi pekerjaan. Tidak ada usaha lebih, tidak ada inisiatif, bahkan menghindari keterlibatan dalam proyek tambahan. Jika biasanya seorang staf aktif ikut brainstorming atau jadi sukarelawan panitia acara kantor, mereka yang quiet quitting akan berkata, "Maaf, itu di luar jobdesc saya." 

Pekerja dengan sikap quiet quitting hanya melakukan apa yang tertulis di kontrak. Hal ini bisa terlihat dari interaksi sehari-hari. Misalnya, seorang pegawai administrasi hanya merekap data, tanpa mau membantu bagian lain, atau enggan menerima tugas dadakan di luar jam kerja. 

Fenomena ini bukan sekadar tren Gen Z, melainkan refleksi dari kelelahan kolektif dan pencarian makna dalam dunia kerja yang semakin menuntut namun sering kali tidak memberi ruang bagi kemanusiaan.

Secara filosofis, quiet quitting adalah bentuk kontemplatif dari sebuah perlawanan sunyi. Ia bukan pemberontakan yang gaduh, melainkan penarikan diri yang sadar dari sistem yang menuntut lebih, tanpa memberi cukup. 

Karyawan yang melakukan quiet quitting tidak malas, mereka hanya menolak untuk mengorbankan kesehatan mental dan spiritual demi ambisi yang tidak mereka yakini. Mereka memilih untuk hadir secara utuh, namun tidak larut dalam arus yang mengikis jati diri.

Dalam ajaran Karl Marx, yang mengkritik sistem kapitalisme, pekerja di perusahaan-perusahaan kapitalis kerap teralienasi dari hasil kerjanya, dari proses kerja, dan dari sesama manusia. Lalu ketika karyawan hanya bekerja secukupnya, itu bisa menjadi bentuk penolakan terhadap sistem yang membuat mereka merasa seperti roda produksi.

Tentu saja, untuk mengatasi masalah ini, penting bagi organisasi meningkatkan engagement dengan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan karyawannya secara holistik. 

Strategi yang dapat diterapkan yaitu memberikan fleksibilitas dalam bekerja, membangun budaya kerja yang inklusif serta kolaboratif, dan meningkatkan komunikasi antara atasan dan bawahan untuk memastikan bahwa ekspektasi kinerja dan kebutuhan pribadi karyawannya sejalan. 

Bagaimanapun quiet quitting bukan sekadar tren, tapi sinyal. Ia menunjukkan bahwa banyak pekerja merasa tidak didengar, tidak dihargai, dan tidak terhubung dengan makna kerja mereka. Filosofinya bukan tentang kemalasan, tapi tentang pencarian makna dan keadilan dalam dunia kerja yang semakin mekanistik.

Manajemen yang bijak tidak akan memadamkan sunyi ini dengan kebisingan aturan, tetapi akan mendengarkannya, memaknainya, dan menjadikannya titik tolak perubahan budaya kerja.