Antara Memipis Independensi BI dan Mengembalikan ke Amanat Awal

DPR kembali berupaya mengusik independensi BI melalui berbagai pasal baru dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK. Terdapat pasal yang dikhawatirkan usik independensi BI.

Antara Memipis Independensi BI dan Mengembalikan ke Amanat Awal
Pekerja berjalan di kawasan Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (3/9/2025). Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.

Setelah bergulirnya reformasi, Bank Indonesia termasuk salah satu di antara institusi strategis di negeri ini yang mendapat status independen. Dalam perjalanannya, beberapa kali independensi bank sentral tersebut digoyang melalui revisi atau amendemen Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999.

Kabar terbaru, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali berupaya mengusik independensi Bank Indonesia (BI) melalui pasal-pasal baru yang ditanamkan di revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Sejumlah pasal yang akan diubah itu dikhawatirkan bisa mengganggu bank sentral dalam menjalankan fungsinya sebagai otoritas moneter secara optimal.

Revisi UU P2SK itu sendiri dirancang sebagai tindak lanjut putusan uji materi (judicial review) Mahkamah Konstitusi atas UU P2SK 2023. Mengacu pada draf yang diterima SUAR pada Kamis (18/9/2025), sedikitnya terdapat tiga pasal yang perlu mendapatkan perhatian.

Pertama, Pasal 9A menyatakan, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Dewan Gubernur BI sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi pengawasan. Hasil evaluasi tersebut bersifat mengikat dan dapat menjadi dasar pimpinan DPR RI untuk melakukan tindakan terhadap Dewan Gubernur BI.

Kedua, Pasal 48 ayat 1 huruf (f) menyatakan, anggota Dewan Gubernur BI dapat diberhentikan berdasarkan hasil evaluasi DPR dalam rangka tindak lanjut pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap Dewan Gubernur. Dengan kata lain, berdasarkan pasal ini, DPR berwenang memberhentikan anggota Dewan Gubernur BI berdasarkan pertimbangan yang sepenuhnya dilakukan secara tertutup.

Ketiga, Pasal 7 ayat 1 dan 2 menegaskan, mandat BI adalah menjaga stabilitas nilai rupiah, stabilitas sistem pembayaran, stabilitas sistem keuangan, serta melaksanakan bauran kebijakan guna menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan sektor riil dan penciptaan lapangan kerja.

Ini artinya, BI mendapat tambahan baru di luar tugasnya selama ini sebagai otoritas moneter, otoritas pembayaran, dan pengawasan makroprudensial. Dengan adanya pasal baru itu nanti, BI bisa mengesampingkan perannya sebagai penjaga stabilitas nilai rupiah karena terlalu terlibat dalam pengelolaan pertumbuhan ekonomi – yang semestinya jadi tugas lembaga eksekutif pemerintahan.

Ini bukan kali pertama DPR ingin "terlibat" dalam dapur BI. Sebelumnya, pada tahap pembahasan sebelum UU P2SK resmi diundangkan, sekitar pertengahan 2022, DPR juga ingin mengusik independensi BI.

Kala itu, pada bagian kelima RUU P2SK tentang BI, Pasal 47 butir c, berbunyi: “Anggota Dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama dilarang untuk menjadi pengurus dan atau anggota partai politik”. Padahal pasal yang tercantum dalam UU 23/1999 tentang BI itu sudah diamendemen UU 3/2004.

Namun, akhirnya RUU itu memuat pasal yang menyebutkan persyaratan Dewan Gubernur bukan pengurus dan/atau anggota partai politik pada saat pencalonan.

Independensi bank sentral juga mulai disenggol ketika muncul aturan yang menyebutkan bahwa BI dapat membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana selama terjadi krisis yang mengguncang stabilitas sistem keuangan dan perekonomian. Aturan ini dapat disalahgunakan jika tidak ada penjelasan mengenai kriteria atas kondisi yang disebut sebagai krisis.

Sampai hari ini, UU P2SK sudah efektif berlaku selama dua tahun. Tiba-tiba muncul wacana untuk merevisi UU P2SK secara terbatas. Lagi-lagi, parlemen yang menginisiasinya. Alasannya, parlemen menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ini merujuk pada putusan uji materi (judicial review) MK atas UU P2SK terkait dengan tata kelola anggaran LPS yang dibacakan pada 3 Januari 2025 dan pasal terkait penyidik OJK yang uji materinya dibacakan pada 2023.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, dalam berbagai kesempatan yang dihadiri Suar.id, menegaskan revisi UU P2SK sama sekali tidak mendesak. Sebaliknya, justru perubahan tersebut arahnya cenderung memperlemah independensi BI.

Kembali ke awal

Meski mengandung sejumlah pasal yang dianggap akan mencederai independensi BI, terdapat juga perspektif alternatif bahwa revisi Undang-Undang P2SK akan mengembalikan amanat BI sebagai bank sentral. Direktur Program dan Kebijakan Prasasti Center for Policy Studies Piter Abdullah menyatakan, ada persepsi keliru jika revisi ini dianggap sebagai rencana manuver DPR "mengendalikan" BI.

"Perubahan UU P2SK dilatarbelakangi arah kebijakan BI yang dianggap seringkali tidak sejalan dengan arah kebijakan pemerintah dan menyebabkan perekonomian tidak bisa tumbuh optimal," ujar Piter kepada SUAR, Kamis (18/9/2025).

Dalam draf yang saat ini beredar, Piter menambahkan, tujuan yang lebih jelas bukanlah mendegradasi independensi BI, melainkan mengembalikan tujuan BI sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Penekanan di situ: BI membantu menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

"Menurut saya, apa yang disampaikan BI dalam konferensi pers RDG (rapat dewan gubernur), misalnya, sudah menyiratkan BI bisa mengambil kebijakan pro-growth tanpa harus khawatir kehilangan independensinya," ucap Piter.

Dihubungi SUAR usai memimpin rapat dengar pendapat Komisi XI DPR dan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ketua Komisi XI Muhammad Misbakhun enggan memberikan pernyataan terbuka karena proses legislasi dan revisi UU P2SK masih dalam proses pembahasan panitia kerja (panja).

"RUU P2SK masih dalam tahap formulasi untuk dilakukan pembahasan dan belum dalam proses finalisasi, sehingga belum ada poin yang harus dibagikan sebagai informasi publik," tukas Misbakhun saat dihubungi SUAR.

Sebelumnya, Misbakhun telah menyampaikan keterangan kepada wartawan bahwa komisinya berharap dapat menyelesaikan revisi Undang-Undang P2SK tersebut secepatnya dan dapat segera dibawa ke rapat paripurna sebelum masa sidang penutupan tahun ini. Diskusi pembahasan saat ini masih dilakukan secara tertutup, tetapi pada waktunya akan ada diskusi secara terbuka.

"Terbukanya pasti ada proses meaningful participation, memanggil ahli, semuanya pasti ada kalau semua formulasinya sudah disepakati," ujarnya.

Senada dengan Misbakhun, Deputi Gubernur BI Destry Damayanti menolak memberikan komentar terkait proses legislasi ini. "Maaf, saya belum bisa komentar tentang ini," jawab Destry singkat saat dihubungi SUAR.

Author

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Macroeconomics, Energy, Environment, Finance, Labor and International Reporters