Majority of Respondents Rate MBG as Unexpected, Correct its Governance (1)

Having only been running for nine months, many people are urging the government to thoroughly evaluate the Free Nutritious Meal Program (MBG). In fact, they demanded an immediate moratorium after thousands of beneficiary children were victimized by food poisoning.

Majority of Respondents Rate MBG as Unexpected, Correct its Governance (1)
Sejumlah siswa mengambil paket makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) saat dibagikan di SMP Negeri 9 Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (9/9/2025). (ANTARA FOTO/Makna Zaezar/foc)
Table of Contents

Tim SUAR menggali pemikiran para pengambil keputusan atau pemimpin di perusahaan serta pengamat ekonomi terkait pelaksanaan program MBG melalui Survei Semesta Dunia Usaha.

Highlights:

  • Mayoritas responden (74,3%) sependapat menyatakan bahwa program MBG belum berjalan sesuai yang diharapkan.
  • Alasan utamanya adalah kualitas makanan buruk (46,2%) dan masih banyak anak belum menerima manfaat (23,1%), terutama yang berlokasi di daerah terpencil.
  • Sebagian kecil responden menyatakan program MBG sudah berjalan dengan baik lantaran melihat dari jumlah penerima manfaat yang semakin bertambah (50%).
  • Responden memahami bahwa tujuan program MBG adalah memperbaiki kondisi gizi anak-anak Indonesia (37,1%) dan meringankan beban keluarga dalam menyajikan makanan bergizi (25,7%).
  • Namun, pelaksanaannya yang berbiaya sangat besar itu belum dianggap berhasil dalam empat hal. Yaitu, mengembangkan UMKM, memberdayakan pangan lokal, menggerakkan koperasi, dan meringankan beban keluarga.
  • Agar berkelanjutan, program MBG harus diawasi dengan ketat, terkait penyediaan bahan makanan, pengolahan makanan, hingga pendistribusian. Evaluasi kegiatan juga perlu dilakukan secara periodik dan menyeluruh untuk memperbaiki celah-celah yang masih kurang. Sebanyak 60% responden menekankan soal pengawasan dan evaluasi ini.
  • Pihak swasta bisa mengambil peran membantu pelaksanaan program MBG dengan menjadi mitra pemerintah dalam menyajikan makanan (SPPG) atau penyuplai bahan makanan. Hanya sedikit responden (8,6%) yang menyarankan pihak swasta ambil bagian dalam hal pembiayaan.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu agenda prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah ingin meningkatkan status gizi peserta didik, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita melalui penyediaan makanan bergizi sesuai standar angka kecukupan gizi (AKG) harian. Harga per porsi MBG dengan gizi yang dianggap cukup itu ditetapkan sebesar Rp 10.000. 

Anggaran sebanyak Rp 71 triliun disiapkan untuk pelaksanaan program MBG tahun 2025 ini. Oleh karena target penerima manfaat dan tenaga pelaksana akan terus ditambah, anggaran tahun 2026 melonjak menjadi Rp 335 triliun. Hingga akhir September ini, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyebutkan jumlah penerima manfaat MBG sudah mencapai 31 juta anak.

Dalam menyajikan makanan langsung ke meja siswa di sekolah, pemerintah membentuk mitra Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Jumlahnya hingga September ini sudah tercatat 9.615 unit SPPG di seluruh Indonesia. Pelaku usaha yang menjadi mitra pemerintah perlu menyediakan lahan untuk membangun dapur berukuran 20 meter x 20 meter.

Petugas SPPG menyiapkan paket Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMAN 1 Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (23/9/2025). (ANTARA FOTO/Jessica Wuysang/foc).

Masih jauh dari harapan

Program MBG yang telah berjalan sejak 6 Januari 2025 ini membuka ruang bagi khalayak umum untuk menilai. Namun, selama 9 bulan berjalan ini, kesan yang diterima masyarakat masih jauh dari rasa puas. Hal itu terutama karena banyaknya pemberitaan mengenai kasus anak keracunan di sekolah setelah menyantap sajian MBG.

Pemerintah terkesan belum siap melaksanakan program MBG jika dilihat dari infrastruktur dan sumber daya manusia pelaksananya. Kondisi ini terpotret dalam Survei Semesta Dunia Usaha yang menjaring pendapat para pengambil keputusan di perusahaan dan sejumlah pengamat ekonomi pada periode 9 September–25 September lalu.

Mayoritas responden (74,3%) menyatakan bahwa program MBG belum berjalan sesuai yang diharapkan. Hanya 17,1% yang menyatakan sebaliknya.

Alasan MBG belum berjalan sesuai yang diharapkan antara lain karena kualitas makanan yang buruk, yang disampaikan oleh 46,2% respponden. Alih-alih memperbaiki gizi, anak didik malah harus dirawat dan waktu belajarnya di sekolah pun jadi terganggu.

Alasan lainnya adalah persebaran anak didik penerima manfaat belum merata (23,1%) alias masih banyak yang belum menerima manfaat, terutama anak-anak di daerah terpencil. Program MBG sebenarnya diproyeksikan dapat menjangkau penerima manfaat di seluruh daerah, termasuk daerah terpencil, terdepan, terluar atau 3T.

Program MBG menjangkau berbagai kelompok sasaran, mulai dari PAUD/TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK, santri pesantren, peserta PKBM dan SLB, seminari, hingga ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.

Selain itu, responden juga menilai program MBG belum tepat sasaran kepada anak-anak yang benar-benar membutuhkan (15,4%). Hal ini lantaran setiap anak di sekolah mendapatkan jatah MBG tanpa memandang status gizinya.

Dari keterangan Badan Gizi Nasional, program MBG menjangkau berbagai kelompok sasaran, mulai dari PAUD/TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK, santri pesantren, peserta PKBM dan SLB, seminari, hingga ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.

Adapun responden yang menilai program MBG sudah berjalan sesuai dengan yang diharapkan dikarenakan jumlah penerima manfaat yang terus bertambah (50%). Hal ini menunjukkan pemerintah benar-benar bekerja untuk mencapai target sasaran.

Selain itu, program ini pun didukung oleh banyak pihak (33,3%). Di samping dukungan dari sekolah, juga dari pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, petani, nelayan, dan sebagainya.

Responden memahami bahwa tujuan program MBG ini mulia. Yakni, memperbaiki kondisi gizi anak-anak Indonesia (37,1%), yang berarti pula mempersiapkan masa depan anak-anak Indonesia menjadi lebih baik. Dengan memberi makanan anak-anak di sekolah, program ini juga sekaligus diharapkan dapat meringankan beban keluarga dalam menyajikan makanan bergizi (25,7%).

Banyak laporan menyebutkan bahwa anak yang mendapat makanan bergizi cukup pada saat mengikuti proses belajar memiliki tingkat konsentrasi yang lebih baik, bisa lebih berenergi, bersemangat, hingga berperilaku lebih baik. Hal ini dapat meningkatkan prestasi akademik dan secara jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas nasional dan daya saing sebagai bangsa.

Secara ekonomi, penyediaan MBG akan meningkatkan permintaan bahan makanan sehingga akan mendorong tumbuhnya pasokan. Penyediaan pasokan bahan makanan ini akan menggerakkan perekonomian.

Selain itu, sebanyak 22,9% responden menyatakan program MBG dapat menggerakkan perekonomian. Secara ekonomi, penyediaan MBG akan meningkatkan permintaan bahan makanan sehingga akan mendorong tumbuhnya pasokan. Penyediaan pasokan bahan makanan ini akan menggerakkan perekonomian.

Meningkatnya permintaan dan pasokan ini pada akhirnya akan menciptakan lapangan kerja. Ini menjadi peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah memperkirakan tambahan Rp 71 triliun untuk program MBG pada tahun 2025 akan menyumbang 0,86 persen terhadap produk domestik bruto.

Oleh karena itu, program MBG memiliki arti penting sehingga harus dijalankan dengan baik dan berkelanjutan. Sayangnya, responden juga melihat sejumlah kelemahan pada pelaksanaan program MBG ini.

Kelemahan itu antara lain mekanisme distribusi makanan yang masih buruk (28,6%) yang berujung pada hampir 6.000 anak didik mengalami keracunan setelah menyantap menu MBG. Biang persoalan disinyalir karena jarak antara waktu memasak menu dengan waktu distribusi dan waktu disantap oleh siswa yang terlalu lama. Untuk itu, perlu memperpendek rantai distribusi.

Juga soal keamanan dan higienitas makanan belum terjamin (25,7%). Pemerintah dinilai belum siap melaksanakan program MBG (20%) terutama dalam menyiapkan tenaga pelaksana yang terampil dan mengerti standar keamanan makanan dan gizi.

Selain itu, program ini juga dikhawatirkan dapat membebani keuangan negara karena alokasi anggarannya yang terlalu besar (8,6%). Dana yang besar ini juga memiliki celah terjadinya penyelewengan atau korupsi.

Dalam pelaksanaannya yang masih terbilang singkat ini, program MBG yang diharapkan dapat memberi dampak berganda yang besar belum sepenuhnya terealisasi. Responden menilai penyediaan makanan untuk program MBG belum memberdayakan pelaku UMKM (48,6%) dan belum pula memanfaatkan pangan lokal (42,9%).

Selain itu, program MBG juga belum sepenuhnya menggerakkan koperasi (57,1%) terkait penyediaan bahan makanan. Bahkan, program ini juga belum dianggap bisa meringankan beban keluarga (48,6%). Hal itu karena nilai makan gratis di sekolah ini sebesar Rp 10.000 per porsi sekali makan. Sementara biaya pemulihan kesehatan jika terjadi masalah kesehatan justru lebih besar.

Faktor yang harus diperhatikan

Program MBG akan bisa berjalan dengan baik jika pemerintah berdasarkan pengalaman pelaksanaan selama 9 bulan ini melakukan pengawasan dan evaluasi menyeluruh (60%). Tujuannya tentu saja agar masalah-masalah yang terjadi selama ini bisa lebih diminimalisir dan target dampak berganda program ini secara ekonomi dapat tercapai.

Standar operasional prosedur (SOP) terkait pengadaan dan distribusi makanan harus dibuat untuk standardisasi pelaksanaan di seluruh Indonesia. Pun, vendor atau mitra SPPG harus memiliki sertifikat kelayakan dalam beroperasi.

Selain itu, ketersediaan anggaran untuk kesinambungan program ini juga perlu diperhatikan (8,6%). Termasuk menjaga kualitas dan gizi makanan bagi anak didik (8,6%).

Dalam kondisi program MBG yang belum berjalan sesuai yang diharapkan ini, pihak swasta bisa berperan lebih besar. Pihak swasta bisa terlibat dalam setiap rantai pasok penyediaan bahan makanan dan memperpendek rentang distribusi makanan ke sekolah. Dengan demikian, dampak berganda ekonomi MBG bisa lebih besar hingga menciptakan lapangan kerja.

Sebanyak  45,7% responden menyatakan swasta bisa menjadi mitra pemerintah sebagai SPPG atau sebagai penyuplai bahan baku makanan (20%). Soal keterlibatan swasta dalam pembiayaan belum sepenuhnya disetujui oleh responden. Hanya sebagian kecil saja (8,6%) yang menyarankan pihak swasta ikut dalam pembiayaan program MBG atau dengan menjadikan program ini sebagai tujuan atau wujud dari tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (5,7%).

Banyak yang harus dibenahi jika program MBG bisa berjalan dengan baik dan berkelanjutan hingga menciptakan generasi Indonesia yang sehat dan cerdas. Pemerintah tidak bisa hanya fokus pada kuantitas, tapi juga kualitas. Tidak pula hanya fokus pada anak didik penerima manfaat, tapi juga pada tenaga pelaksana yang menyajikan menu makanan.

Evaluasi harus dilakukan terhadap semua aspek dan semua pemangku kepentingan. Keselamatan anak harus menjadi prioritas.

Pelajar membawa paket makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Negeri 42, Banda Aceh, Aceh, Kamis (11/9/2025). (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra).

Metodologi dan Profil Narasumber

Survei Semesta Dunia Usaha dilakukan pada 9 September–25 September 2025. Sebanyak 35 narasumber (responden) dipilih secara purpossive sampling dari kalangan dunia usaha dan pengamat ekonomi.

Dari kalangan dunia usaha, posisi narasumber beragam, mulai dari direktur, direktur utama, hingga owner. Usia narasumber berada di rentang 25–75 tahun. Tingkat pendidikan narasumber didominasi oleh S1 (48,6%) dan S2/S3 (45,7%).

Author: Gianie

Author

Read more