Kolaborasi Atasi Risiko Perubahan Iklim yang Merusak Produksi Kopi dan Kakao

Fluktuasi harga komoditas global terutama kopi dan kakao dipengaruhi oleh perubahan iklim, khususnya fenomena ekstrem seperti El Nino dan La Nina. Data menunjukkan produksi kedua komoditas itu memiliki sensitivitas tinggi terhadap kondisi ekstrem iklim.  

Kolaborasi Atasi Risiko Perubahan Iklim yang Merusak Produksi Kopi dan Kakao

Produksi kakao mengalami titik anjlok terparah pada 2017 mencapai 11% menjadi 585.246 ton. Sebelumnya komoditas kopi juga sempat turun sekitar 1% pada 2015 menjadi (639.355 ton). Tahun-tahun tersebut tercatat sebagai periode yang sangat terdampak langsung oleh fenomena El Nino yang memicu kekeringan parah dan tanaman gagal berbunga.

Selanjutnya, pada periode La Nina (2020-2022) yang membawa curah hujan berlebih juga menekan produksi kakao karena meningkatnya serangan hama dan penyakit. Ancaman perubahan iklim ini memberi pelajaran perlunya memitigasi risiko iklim terhadap produksi perkebunan berbasis data dan kolaborasi dengan intansi yang berwenang

Upaya mitigasi dampak iklim ekstrem pada komoditas perkebunan kini memasuki babak baru dengan adanya kolaborasi strategis antara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka). Inisiatif ini bertujuan mengintegrasikan data iklim presisi ke dalam seluruh rantai pasok perkebunan. 

Dalam kolaborasi itu BMKG bertugas menyediakan Peringatan Dini Iklim (misalnya, prediksi awal El Nino atau La Nina) dan data cuaca dinamis. Sementara Puslitkoka menerjemahkan data tersebut menjadi Rekomendasi Teknis Pertanian yang tepat guna, seperti panduan intensitas penyiraman, waktu pemangkasan, hingga jadwal pengendalian hama. Keterlambatan informasi cuaca terbukti dapat memangkas produktivitas kopi dan kakao nasional hingga 30-60 persen, sehingga kolaborasi ini menjadi kunci dalam mewujudkan tata kelola kebun yang adaptif dan berkelanjutan.

Analisis kerawanan iklim menjadi krusial, terutama di sentra produksi utama. Pada komoditas kopi, mayoritas sentra berada di Sulawesi Tengah (19,6%) dan Sulawesi Tenggara (15%). Kakao terpusat di Sumatera (Sumatera Selatan 21% dan Lampung 12%). Kawasan Sulawesi yang berada di wilayah Indonesia Tengah-Timur sangat rentan terhadap kekeringan parah selama El Nino, berpotensi memicu gugur bunga dan gagal panen. 

Sementara itu, sentra kakao di Sumatera Selatan dan Lampung lebih rentan terhadap banjir dan peningkatan penyakit jamur pada buah (contohnya Phytophthora) dan hama (VSD) akibat curah hujan tinggi yang dibawa La Nina. Sinkronisasi data BMKG dapat memberikan peringatan spesifik per wilayah untuk mengatasi kerawanan yang berbeda ini.

Gagasan utama dari sinergi BMKG-Puslitkoka adalah pembangunan sistem informasi iklim yang dapat diakses petani dan pemangku kepentingan, seperti melalui platform Nusaklim yang mendukung perkebunan sawit. Melalui sistem ini, petani tidak lagi bergantung pada kalender tanam tradisional, melainkan pada outlook produksi yang digabungkan dengan outlook iklim. 

Saat BMKG memprediksi kemarau kering, Puslitkoka dapat merekomendasikan penambahan naungan atau mitigasi hama bubuk buah kopi yang aktif saat suhu tinggi. Sebaliknya, saat La Nina petani di sentra kakao dapat dipandu untuk melakukan sanitasi kebun dan meningkatkan aplikasi pestisida hayati secara dini untuk menekan serangan jamur.

Kolaborasi science to action antara BMKG dan Puslitkoka menawarkan solusi konkret untuk menanggulangi dampak perubahan iklim terhadap volume produksi dan stabilitas harga kopi dan kakao. Dengan menyediakan informasi iklim yang akurat dan berbasis lokasi, risiko gagal panen dapat ditekan. Sehingga efisiensi penggunaan sumber daya (terutama air) dapat ditingkatkan dan serangan hama dapat dikelola secara tepat. Keberhasilan implementasi program ini akan memperkuat ketahanan sektor perkebunan nasional dan memastikan Indonesia tetap menjadi pemain kunci di pasar kopi dan kakao global di tengah kenormalan baru iklim ekstrem.