Kemenangan Indonesia atas sengketa dagang biodiesel melawan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) menggambarkan bahwa Indonesia tidak pernah melanggar prinsip ekonomi berkelanjutan. Harapannya, ke depan, produk sawit, biodiesel, dan turunannya ini dapat terjamin kepastiannya untuk ekspor ke Eropa.
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, putusan WTO yang berpihak kepada Indonesia sudah membuktikan bahwa posisi Indonesia kuat. Indonesia selalu menjalankan prinsip berkelanjutan, dan pengolahan sawit di Tanah Air sudah ramah lingkungan.
“Kemenangan ini memberikan sinyal positif bahwa tidak ada lagi ke depannya yang memperdebatkan produk sawit Indonesia dan turunannya,”ujar dia kepada SUAR di Jakarta (28/8/2025).
Tapi Eko juga mengingatkan, Indonesia harus tetap waspada dan terus memantau perkembangan. Karena, bisa jadi Uni Eropa mengambil sikap menuntut atau melayangkan gugatan lain.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Catra de Thouars menilai putusan panel WTO yang memenangkan Indonesia atas sengketa ini merupakan perjuangan panjang yang patut dirayakan.
Sengketa ini bermula dari kebijakan Uni Eropa yang mengenakan bea imbalan atau countervailing duties terhadap produk biodiesel Indonesia periode 2018–2019. Menanggapi hal tersebut, pemerintah bersama pelaku industri biofuel, sawit, serta pakar hukum menempuh jalur gugatan ke WTO.
Hampir dua tahun pelaku usaha berjuang mati-matian melawan Uni Eropa. Dan akhirnya, perjuangan tersebut tidak sia-sia karena membuahkan hasil yang manis di tahun ini, berupa kemenangan Indonesia.
Kemenangan ini menjadi nafas segar bagi industri untuk terus berjuang. Namun, Uni Eropa kemungkinan tidak akan tinggal diam. Mereka bisa mengambil langkah baru untuk menahan masuknya biodiesel asal Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah bersama pelaku industri diminta tetap waspada dan menyiapkan strategi lanjutan.
"Kita harus siap untuk langkah selanjutnya dari EU," ujar Catra kepada SUAR di Jakarta (28/8).
Keputusan WTO memang membuka peluang pasar baru bagi biodiesel Indonesia di Eropa. Namun, saat ini fokus utama pemerintah dan industri masih pada program energi terbarukan di dalam negeri. Seperti, implementasi B40 atau campuran biodiesel 40 persen pada BBM jenis solar, dan rencana uji coba B50.

Pertimbangkan adopsi putusan panel
Indonesia melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) meminta Uni Eropa mempertimbangkan opsi adopsi putusan panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait sengketa biodiesel atau DS618.
“Pemerintah harus memastikan ini bisa ditindaklanjuti dengan skenario yang berpihak pada Indonesia, karena masih ada beberapa situasi yang harus dicermati (terkait putusan panel WTO),” kata Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Djatmiko Bris Witjaksono di Jakarta (28/8).
Djatmiko mengatakan, terdapat setidaknya tiga opsi yang dapat dilakukan oleh Indonesia dan Uni Eropa untuk menanggapi putusan WTO.
Pertama, Indonesia dan Uni Eropa memiliki waktu 20 hari–60 hari, yaitu pada periode 22 Agustus–22 Oktober 2025, untuk mempertimbangkan menerima/mengadopsi putusan panel atau menempuh upaya banding.
Opsi kedua, Uni Eropa melakukan banding melalui Badan Banding (AB) WTO. Putusan Panel belum dapat diadopsi sehingga belum mengikat, dan pengenaan countervailing duties (CVD) terhadap produk biodiesel Indonesia akan berlanjut.
Lebih lanjut, opsi ketiga adalah Uni Eropa dan Indonesia menempuh banding melalui Badan Ad-Hoc.
“Pemerintah Republik Indonesia harus menyusun modalitas banding setelah UE mengajukan penundaan adopsi putusan Panel. Oleh karena itu, Pemerintah RI harus memastikan kesiapan stakeholders dan konsultan hukum,” kata Djatmiko.
Kemendag sendiri memproyeksikan ekspor biodiesel ke Uni Eropa (UE) stabil di angka 6,7% menyusul kemenangan sengketa DS618 terkait penerapan bea imbalan atau countervailing duties (CVD) di Panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Berdasarkan data yang dibagikan oleh Kemendag, ekspor biodiesel Indonesia cukup fluktuatif selama 10 tahun terakhir. Tercatat adanya penurunan pada kurun waktu 2020-2021 setelah pengenaan CVD (2019) yang dipengaruhi faktor-faktor, antara lain, pandemi Covid-19 dan penurunan volume ekspor biodiesel ke dunia.
Selama masa pengenaan CVD (2020–2024), ekspor biodiesel Indonesia ke UE tetap tumbuh sebesar 6,7% dengan rata-rata nilai ekspor US$ 319,7 juta.