Social Security is a Solution for Informal Workers

The contribution of informal workers to the economy is considerable. However, their protection and basic rights are often neglected. Ensuring social security programs is a solution to reduce the vulnerability of informal workers.

Social Security is a Solution for Informal Workers
Pekerja menyelesaikan pembangunan hunian sementara (huntara) tahap empat bagi korban bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Desa Konga, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (22/10/2025). Buruh harian bangunan merupakan salah satu dari jenis pekerjaan informal di sektor konstruksi. (Foto: ANTARA FOTO/Mega Tokan/app/tom)

Bayang-bayang kerentanan dan ketidakpastian menerpa 6 dari 10 pekerja di Indonesia karena status ketenagakerjaan mereka yang informal. Padahal, jika melihat kontribusi mereka terhadap perekonomian, perlindungan dan hak-hak dasar merupakan aspek yang tidak dapat dilalaikan. Memastikan program jaminan sosial lebih inklusif dan mendorong korporatisasi UMKM menjadi dua solusi pilihan guna menanggulangi dampak kerentanan bagi pekerja informal.

Hal itu disampaikan para panelis seminar "Membaca Dinamika Pekerja Informal: Antara Pilihan, Keterpaksaan, dan Tantangan Kebijakan" yang diselenggarakan Pusat Pengembangan Kebijakan Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan secara daring, Jumat (24/10/2025).

Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi menyatakan, sektor informal merupakan fenomena di Indonesia. Pasalnya, dalam upaya mengejar pertumbuhan dan keluar dari middle income trap, Indonesia justru bertumpu pada pekerja sektor informal, terutama sejak pandemi Covid-19 melanda.

"Dengan data Sakernas 2025 yang menunjukkan 86,58 juta atau 59,4% pekerja di Indonesia berstatus informal, ada empat hal yang harus menjadi perhatian: jaminan hal-hak dasar, perlindungan sosial, peningkatan keterampilan, dan ekosistem yang berkeadilan dan berkelanjutan," jelas Anwar.

Di antara keempat aspek tersebut, Anwar menggarisbawahi dua aspek pertama. Selain tidak memperoleh pendapatan secara tetap, tunjangan, dan jaminan hari tua, pekerja informal tidak memiliki jaminan risiko kecelakaan kerja, kematian, maupun jaminan pemutusan hubungan kerja yang dapat menjadi pengaman di saat-saat darurat.

"Kami berharap agar melalui seminar ini, kita bisa melihat dan memecahkan keempat masalah tadi dan apa yang kita lakukan hari ini dapat menjadi sumbangsih kita agar sektor informal menjadi pemain penting yang terlindungi dalam lanskap jaminan sosial ketenagakerjaan," pungkas Anwar.

Gejala informalisasi

Pesatnya perkembangan jumlah pekerja informal tidak dapat dilepaskan dari perubahan karakteristik pasar ketenagakerjaan pascapandemi. Selain perubahan status hubungan kerja, berbagai perusahaan berlomba-lomba untuk menginformalkan status ketenagakerjaan demi menekan biaya produksi dan mengejar daya saing.

Pengajar Departemen Administrasi Publik Universitas Tidar dan peneliti ketenagakerjaan Arif Novianto menjelaskan, dengan penambahan jumlah pekerja informal di Indonesia dari 74,08 juta pekerja pada 2019 menjadi 86,25 juta pekerja pada 2025, informalitas telah berubah dari sebuah pengecualian menjadi kenormalan baru.

"Narasi yang beredar adalah pekerja informal dianggap menciptakan lapangan kerja mandiri tanpa bergantung pada negara, menunjukkan ketangguhan dan menjadi penopang ekonomi. Padahal, pekerja informal menghadapi masalah upah rendah, ketiadaan perlindungan hukum, dan bergantung pada jaringan sosial," ujar Arif.

Dalam penelitiannya, Arif menemukan bahwa gejala informalitas mulai merebak sejak berbagai perusahaan platform transportasi dan ekspedisi mendefinisikan pekerja mereka sebagai "mitra". Label ini membuat perusahaan terbebas dari kewajiban upah, jam kerja, jaminan sosial, dan hanya membayar mitra berdasarkan jumlah barang atau jasa yang mereka selesaikan.

Perusahaan-perusahaan platform membuktikan bahwa berpindahnya risiko dan tanggung jawab dari perusahaan kepada individu pekerja, menurut Arif, efektif menekan biaya produksi dan memacu daya saing di tengah kompetisi global yang semakin ketat.

Tidak hanya dari segi kewajiban upah, perusahaan juga terbebas dari tanggung jawab hukum, dapat merekrut dan memberhentikan mitra kapan saja, serta mampu menekan biaya supervisi dengan memanfaatkan algoritma untuk memberikan suspensi atau memutus kemitraan secara sepihak.

"Walau demikian, formalisasi tidak lantas menciptakan kondisi kerja yang lebih baik. Karyawan tetap pun saat ini mengalami informalisasi, dengan pekerjaan bergaji dan berkontrak mulai mengadopsi pola jam kerja panjang, target tidak manusiawi, dan sarana produksi yang harus ditanggung sendiri oleh pekerja," jelasnya.

Teladan dari negeri jiran

Selain kondisi kerja, pengangkatan status ketenagakerjaan dari informal menjadi formal berlangsung sangat lambat. Dalam penelitian jangka panjang antara 1996-2024, Ketua Klaster Ekonomi dan peneliti senior SMERU Research Institute Palmira Permata Bachtiar menemukan, sekitar 46% pekerja informal kerah biru bertahan dalam pekerjaannya dalam kurun 8-19 tahun.

Sementara itu, 54% memiliki kesempatan berganti pekerjaan sesudah 5-7 tahun, tetapi hanya 8% di antara mereka yang berkesempatan menjadi pekerja formal kerah putih. Di luar itu, status formalitas tidak membantu para pekerja untuk bertransformasi, terutama karena keterampilan, pendidikan, dan jaringan untuk berkembang.

"Transformasi terjadi perlahan-lahan dan krisis kecil bisa membalikkan transformasi tersebut. Agar pekerja informal low-tier dapat berpindah, pemerintah harus mendesain kebijakan yang memperbanyak pekerjaan formal. Transformasi akan sulit terjadi tanpa lapangan kerja formal yang memadai," jelas Palmira.

Dalam situasi seperti itu, sistem jaminan sosial yang sangat dibutuhkan pekerja informal di Indonesia masih jauh dari inklusif. Akses jaminan sosial bagi pekerja informal masih rendah karena pemberi kerja yang tidak terdaftar dan sulit diidentifikasi. Keikutsertaan pun mensyaratkan iuran bulanan tetap seperti halnya pekerja formal.

"Padahal, dengan membiasakan pekerja informal menabung, jaminan sosial berkelanjutan akan tercipta sehingga mengurangi beban pemerintah memberikan bantuan sosial di hari tua mereka. Syaratnya, harus ada insentif yang memotivasi mereka menabung, di samping kemudahan persyaratan dan prosedur," katanya.

Read also:

Businesses need a resilient and adaptive workforce
Relying solely on superior human resources is not enough to face the future of the fast-changing business world.

Guna mengatasi kerentanan dan memungkinkan pekerja informal memiliki akses kesejahteraan yang lebih baik, Palmira mengambil contoh dari negeri jiran, Malaysia, yang meluncurkan jaminan sosial inklusif untuk pekerja informal bernama i-Saraan EPF pada 2010. Berbeda dengan sistem BPJS Ketenagakerjaan di Indonesia, i-Saraan memberikan keleluasaan akses sangat mudah bagi pekerja informal.

Dengan insentif RM500 per orang per tahun, pemerintah Malaysia berhasil memfasilitasi 640.000 pekerja informal untuk mengumpulkan tabungan hari tua yang dapat disetorkan kapanpun dan berapapun jumlahnya, sesuai pemasukan mereka. Hasilnya, i-Saraan berhasil mengelola tabungan hari tua pekerja informal hingga RM3,64 miliar dan menyalurkan insentif sebesar RM138 juta.

"Faktor pendukung keberhasilan i-Saraan adalah komitmen politik yang mendorong tabungan pensiun bagi pekerja informal. Skema jaminan itu sesuai karakteristik pekerja: nominal tabungan bebas, dapat disetorkan harian, dan tersedia insentif dari pemerintah yang memotivasi mereka untuk memiliki kebiasaan menabung sejak muda," ujar Palmira.

Usaha berdaya

Selain pekerja informal berbasis platform, pekerja informal di sektor UMKM juga perlu mendapatkan perhatian, dengan solusi yang tidak cukup menekankan jaminan sosial, melainkan juga peningkatan kapasitas. Sebab, dari 59,5 juta UMKM di Indonesia, baru 17% atau sekitar 10 juta yang memiliki Nomor Induk Berusaha dan mempunyai tenaga kerja formal.

Deputi Direktur Ekonomi Keuangan Inklusif dan Hijau Bank Indonesia Sri Noerhidajati mengungkapkan, dengan kontribusi bagi PDB sebesar 57,14%, informalitas UMKM membutuhkan dorongan agar mampu meningkatkan produktivitas, kemudahan akses pembiayaan, integrasi dalam rantai nilai, serta perlindungan sosial yang memadai.

"Bauran kebijakan utama BI menyasar inflasi pangan yang terkendali dan dukungan kontribusi ekspor UMKM, peningkatan literasi keuangan digital, serta inklusi ekonomi. Penguatan dilakukan dari sisi kebijakan, implementasi, dan sinergi dengan UMKM Pangan, UMKM Ekspor, UMKM Hijau, UMKM Pariwisata, dan UMKM Manufaktur," jelas Sri.

Implementasi penguatan kapasitas yang ditempuh BI untuk mengangkat UMKM informal adalah menggerakkan korporatisasi, yaitu pembentukan kelompok atau badan usaha, termasuk melalui integrasi suatu rangkaian nilai bisnis untuk mencapai skala ekonomi dan memperluas akses pasar.

Secara horizontal, praktik ini menggabungkan beberapa UMKM dari satu sektor usaha, sementara secara vertikal, korporatisasi dilakukan dengan mengintegrasikan pada industri besar untuk mencapai skalabilitas dan lebih mudah berhubungan dengan buyer mancanegara maupun dengan bank.

Dua contoh UMKM binaan kantor cabang BI di Yogyakarta dan Malang menjadi contoh. Di Yogyakarta, BI membina asosiasi petani hortikultura yang mengembangkan pemasaran melalui pasar lelang dan aplikasi Panenin.id yang meningkatkan kerja sama rantai produksi. Sementara itu, klaster Hortikultura Gemah Ripah II di Malang mengembangkan manajemen budidaya cabai yang bekerja sama dengan Indofood.

"Seluruh aksi strategis yang dijalankan, kami berkolaborasi dengan kementerian/lembaga, universitas, industri, asosiasi, dan komunitas itu sendiri. Dengan cara ini, UMKM dapat terhubung dengan pasar tidak secara individual, tetapi bersama-sama dengan kelembagaan yang kuat dan tata kelola yang berkelanjutan," ucap Sri.

Author

Chris Wibisana
Chris Wibisana

Macroeconomics, Energy, Environment, Finance, Labor and International Reporters