Jalan untuk Menang di Persaingan Global

Persaingan global kian sengit. Perang dagang mengimpit. Dunia usaha perlu panduan untuk memenangkan persaingan di kancah global.

Jalan untuk Menang di Persaingan Global
Foto udara mobil kontainer melintasi deretan peti kemas di Pelabuhan Kendari New Port, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (11/8/2025). ANTARA FOTO/Andry Denisah/rwa.

Papan catur ekonomi dunia tengah berguncang. Dari perang dagang Amerika Serikat–Tiongkok, tarif baru ala Trump, krisis energi dan pangan, hingga disrupsi digital yang mengubah wajah konsumsi dan produksi. Di tengah pusaran itu, Indonesia dituntut tidak sekadar bertahan, tetapi berani menciptakan langkah strategis agar tak terseret arus.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa dunia usaha punya peran sentral dalam menjaga arah pembangunan nasional.

“Dunia usaha kerap kali kehilangan suarnya ketika arah ekonomi berubah begitu cepat dan sulit diprediksi,” ujarnya saat menghadiri peluncuran media SUAR di Jakarta, Kamis (21/8). Tanpa suara kuat dari pelaku usaha, kata Airlangga, produktivitas nasional akan mudah tergerus ketidakpastian.

Menurutnya, optimisme sejatinya masih ada. Sepanjang setahun terakhir, ekonomi Indonesia tumbuh 5,12%, lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya. Inflasi Juli 2025 pada posisi 2,37% masih dalam rentang target 1,5%–3,5%. Neraca perdagangan juga surplus USD 8,62 miliar – sehingga surplus berturut-turut dalam 62 bulan terakhir.

Namun, Indonesia tidak bisa berpangku diri karena persaingan makin ketat. Kita tengok negara tetangga yang juga pesaing kita Vietnam, misalnya.

Vietnam telah meluncurkan roadmap “Vietnam 2.0” dengan deregulasi besar-besaran dan pemangkasan birokrasi. Hasilnya, ekspor Vietnam kini 2,5 kali lipat lebih besar dari Indonesia, padahal dua dekade lalu posisi keduanya relatif setara.

“Negara lain juga berbenah. Indonesia harus merespons cepat agar tidak tertinggal,” ujar Airlangga.

Pemerintah kini menyiapkan langkah deregulasi sektoral dan transformasi digital yang lebih sistematis. Salah satunya melalui ASEAN Digital Economy Framework Agreement (DEFA), yang diyakini bisa menggandakan nilai ekonomi digital ASEAN, dari 1 triliun dolar AS menjadi 2 triliun dolar AS pada 2030.

Indonesia berpotensi menyumbang hingga 40% dari nilai tersebut. “There’s no tariff in digital economy. Itu peluang yang harus kita ambil,” kata Airlangga.

There’s no tariff in digital economy. Itu peluang yang harus kita ambil,” kata Airlangga.

Namun, peran pemerintah hanya separuh dari cerita. Bagian terpenting justru ada pada dunia usaha sendiri. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, mengibaratkan kondisi global ini seperti permainan catur. Ada papan, ada bidak, ada pion, dan ada grand master.

“Pion catur dan the grandmaster adalah keahlian kita. Ekonomi pada akhirnya tidak hanya digerakkan oleh angka dan rumus, tapi oleh animal spirits (teori John Maynard Keynes–read), yaitu keberanian, imajinasi, dan keyakinan dunia usaha. Tanpa itu, strategi hanyalah kertas kosong,” ujarnya.

“Pion catur dan the grandmaster adalah keahlian kita. Ekonomi pada akhirnya tidak hanya digerakkan oleh angka dan rumus, tapi oleh animal spirits," ucap Shinta.

Shinta menekankan, dunia usaha Indonesia harus berani mengatur langkahnya sendiri, membaca papan permainan, dan menciptakan ritme baru dalam percaturan global. Baginya, ada tiga hal krusial yang menentukan: penciptaan nilai (valuation), transformasi, dan kepercayaan.

Digitalisasi dan nilai tambah

Penciptaan nilai selama ini dipahami sebatas hilirisasi komoditas. Padahal, nilai tambah terbesar justru lahir dari digitalisasi. “Digitalization itu bentuk tertinggi penciptaan nilai karena mengonsolidasi efisiensi menjadi inovasi,” kata Shinta.

Data McKinsey mendukung pernyataan ini: adopsi digital dapat menambah kontribusi PDB Indonesia hingga 140 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2.300 triliun pada 2030, atau setara 9% dari total PDB. Artinya, dunia usaha yang mampu mengubah data dan konektivitas menjadi solusi nyata akan berada di barisan depan kompetisi global.

Transformasi berikutnya adalah diversifikasi. Selama ini, pasar ekspor Indonesia masih sangat terkonsentrasi di Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, dan India. Padahal, ada peluang terbuka lebar di Afrika, Timur Tengah, Rusia, dan Amerika Selatan. Nilai ekspor Indonesia ke Afrika, misalnya, baru 1,39% dari total ekspor; ke Amerika Selatan hanya 1,11%.

Trade diplomacy is the new weapon,” ujar Shinta.

Menurutnya, dengan memperkuat rantai pasok dan membangun kemitraan strategis, Indonesia bisa lepas dari ketergantungan pada pasar tradisional.

Diversifikasi juga menyangkut produk. Indonesia tidak bisa terus-menerus menjual komoditas mentah ke pasar yang berbeda. Naik kelas dalam rantai nilai global hanya bisa terjadi jika produk Indonesia semakin sophisticated. Data terbaru OECD menunjukkan bahwa 70% perdagangan global terjadi melalui rantai nilai global (global value chain). 

Kendati demikian, Indonesia tampak masih tertinggal dalam hal integrasi GVC, terutama di kalangan UMKM. Studi Gonzales tahun 2017 memperlihatkan hanya 4,1 % dari UMKM Indonesia yang turut dalam jaringan global. Padahal di Vietnam angkanya mencapai 24%, menunjukkan jauh lebih banyak peluang dan sinergi di negara tetangga tersebut.

“Hanya dengan meningkatkan sophistication, Indonesia bisa naik kelas dalam global value chain yang terus berubah,” kata Shinta.

Political will dan transformasi

Namun, transformasi sejati tidak hanya soal barang yang bergerak lintas negara, melainkan juga kapasitas tenaga kerja yang bisa mengonversi peluang ekonomi menjadi produktivitas nyata. Shinta menyebut Indonesia membutuhkan sekitar 500.000 talenta digital baru setiap tahun untuk mencapai 12 juta talenta digital pada 2030.

Realitanya, 47% tenaga kerja saat ini akan membutuhkan reskilling dan upskilling. “Investasi terbesar bukan hanya pada mesin dan modal, tetapi pada penciptaan tenaga kerja yang berkualitas,” ujarnya. Bonus demografi hanya akan menjadi kekuatan jika diolah dengan tata kelola yang baik.

Tetapi, dunia usaha tidak akan bisa bergerak optimal tanpa fondasi politik yang stabil dan keinginan politik untuk maju.

Adapun Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini menilai stabilitas politik selama ini sering dipahami secara sempit. “Kita tidak sekadar memahami stabilitas politik itu sekadar tidak ada demo, lalu stabilitas kuat, atau koalisi kuat. Saya rasa itu bukan stabilitas politik yang kita maksud,” katanya.

Menurut Hendri, stabilitas harus didefinisikan ulang: bukan hanya soal elite di pusat, melainkan bagaimana pemerintah pusat, daerah, dan legislatif punya pemahaman yang sama mengenai arah pembangunan. “Kalau tidak ada pemahaman yang sama, bagaimana kita akan menelurkan kebijakan? Isu climate change, pangan, energi, semua membutuhkan konsensus,” ujarnya.

Ia mencontohkan resistensi sejumlah DPRD provinsi terhadap agenda ekonomi hijau. Padahal, tanpa transisi energi dan komitmen iklim yang jelas, produk ekspor Indonesia bisa kena hambatan tarif karbon dari Uni Eropa atau negara maju lainnya. Dunia usaha jelas akan dirugikan jika kebijakan pusat dan daerah tidak sinkron.

“Saya diundang pemda provinsi, lalu DPRD menolak kita mengalah pada green economy. Kalau tidak ada pemahaman yang sama, bagaimana kita bisa menelurkan kebijakan yang sesuai?” ujarnya.

Keyakinan diri

Pada akhirnya, hal ini menunjukkan bahwa memenangkan persaingan global bukan hanya soal strategi ekonomi, namun juga koordinasi politik dan keberanian dunia usaha untuk mengambil peran lebih besar. Yakni, menciptakan ritme baru.

Dengan fondasi nilai tambah industri, transformasi digital, tenaga kerja yang terampil, dan konsensus politik yang matang, Indonesia berpeluang menjadi grand master dalam percaturan global. Bukan sekadar pion yang mengikuti langkah pihak lain seperti kata Shinta.

Di luar berbagai upaya strategis dan teknis untuk mendorong dunia usaha, perlu juga menggerakkan upaya lain. Yakni, membangun keyakinan diri bahwa Indonesia mampu bersaing dalam kancah global.

Hal itu menjadi poin penting dari acara Konvensi Humas Indonesia 2025 bertema Inovasi Bersama untuk Indonesia Berdaya Saing Global, yang diadakan Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas), Sabtu (23/8/2025).

Talkshow Menyebarkan Optimisme Lewat Kampanye #IndonesiaBicaraBaik pada 23/08/2025. Foto: Harits/Suar.id

Ketua Umum Perhumas Boy Kelana Soebroto menegaskan bahwa kampanye Indonesia Bicara Baik masih relevan hingga kini. Menurutnya, inisiatif yang dimulai sejak 2015 itu lahir dari keprihatinan atas maraknya misinformasi dan disinformasi di ruang publik.

“Gerakan ini tidak mudah, tetapi penting untuk terus mengajak masyarakat menyebarkan hal-hal baik tentang Indonesia,” kata Boy.

Ia menekankan, reputasi bangsa dibentuk dari narasi positif yang konsisten. Karena itu, Indonesia Bicara Baik perlu menjadi pengingat kolektif bahwa soft power Indonesia dibangun dari partisipasi warganya sendiri.

Boy menekankan, reputasi bangsa dibentuk dari narasi positif yang konsisten.

Boy menyebut pentingnya kolaborasi “power of five” – pemerintah, dunia usaha, masyarakat, akademisi, dan media – untuk memperkuat visi bersama. “Kalau bukan kita yang bicara baik tentang Indonesia, siapa lagi?” ujarnya.

Boy menambahkan, narasi Indonesia Bicara Baik tidak bisa dilepaskan dari prinsip keterbukaan. Menurutnya, pesan optimisme harus tetap faktual dan transparan, termasuk melalui peran media. “Kami ingin bicara baik ini tidak sekadar retorika, tapi didukung data dan realitas,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk berkolaborasi. Selain pemerintah dan dunia usaha, Perhumas berharap masyarakat luas serta kalangan akademisi dapat terlibat aktif dalam kampanye ini. Dengan begitu, Indonesia Bicara Baik tidak berhenti di ruang diskusi, melainkan mengakar di kehidupan sehari-hari.